Perlindungan sosial yang
transformatif merupakan wujud perluasan dari perlindungan sosial yang sedang
diterapkan di Indonesia. Program perlindungan
sosial yang berlangsung sekarang diyakini masih belum menyentuh akar kebutuhan
hidup rakyat Indonesia dan menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Semua bentuk perlindungan sosial
tersebut lebih bersifat bantuan sosial yang hanya menciptakan ketergantungan
terhadap bantuan yang diberikan oleh negara tanpa ada solusi untuk meningkatkan
kesejahteraan warga negara. Perlindungan
sosial yang transformatif diharapkan menjadi sebuah gagasan yang muncul untuk
melampaui kelemahan dari perlindungan sosial sebelumnya.
Oleh: Rozi Hariansyah & Dadan Abdullah*
Perlindungan sosial yang transformatif sendiri merupakan gagasan yang muncul dari makna
demokrasi. Partisipasi dari
masyarakat menjadi kata kunci dari kehidupan demokrasi, begitu juga dalam
penyelenggaraan perlindungan sosial yang mensyaratkan adanya partisipasi
masyarakat.
Menurut Wasi Gede, peneliti dari lembaga riset Inkrispena, mengatakan bahwa
makna gagasan tersebut menyaratkan adanya metode penyelenggaraan yang bersifat partisipasi
dari setiap masyarakat. Bentuk partisipasi dalam wujud perlindungan sosial yang
transformatif ini mengikuti proses demokratik, yaitu menentukan apa yang
dibutuhkan, mengetahui apa yang dibutuhkan, dan adanya jaminan kebutuhan hidup
masyarakat yang diakomodir oleh Negara.
Namun
pada prakteknya, perlindungan sosial yang transformatif harus memiliki
pengertian yang lebih luas dari kebijakan perlindungan sosial sekarang. Ruth
Indiah Rahayu, aktifis dan peneliti dari lembaga riset yang sama, menjelaskan bahwa
perlindungan sosial transformatif dalam skema kebutuhan rakyat secara luas merupakan
alternatif dari skema jaminan sosial menurut kebijakan pemerintah yang diterapkan
sekarang. Perlindungan sosial tersebut dirumuskan dalam UU Sistem Jaminan
Sosial Negara (SJSN) tahun 2004, UU Kesejahteraan Sosial No 11 Tahun 2009 dan
UU BPJS Tahun 2011, yang lebih didominasi oleh kepentingan elit politik yang
berkuasa.
Masih
menurut Ruth Indiah Rahayu, perlindungan sosial yang transformatif harus
bersifat “bottom up”, maka untuk merumuskan gagasan transformatif perlu adanya serangkaian
lokakarya dan diskusi dengan basis-basis rakyat di gerakan sosial dan melahirkan
solusi gagasan nyata untuk mengabarkan nya ke masyarakat secara luas.
Mohammad Zaki, dari
Partai Rakyat Pekerja (PRP) mencontoh kan perlindungan sosial yang bersifat “bottom up” melalui proses penentuan
anggaran yang bersifat partisipatoris di negara Brazil. Di setiap distrik,
dimana memiliki dewan anggaran yang memiliki perencanaan anggaran. Jadi
anggaran dibutuhkan dan dirumuskan oleh kebutuhan masyarakat sesuai lapisan
struktur politik paling bawah. Bila dicontohkan di Indonesia, mencakup wilayah
kelurahan, rukun warga atau rukun tetangga. Metode penyelenggaraan partisipasi
masyarakat secara luas , diyakini dapat mengetahui kebutuhan masyarakat itu sendiri
bukan hanya oleh segelintir elit atau ahli.
Merdeka.com
Berkesadaran Warga Negara
Turut
serta nya masyarakat secara kolektif ikut menentukan rencana kebutuhan hidup, yang
melahirkan perlindungan sosial alternatif juga diamini oleh Sapei Rusin,
Koordinator Majelis Pengarah Organisasi (MPO) Konfederasi Pergerakan Rakyat
Indonesia (KPRI), yang mengatakan bahwa mewujud kan perlindungan sosial yang
transformatif dapat dimulai dari sisi masyarakat. Cara nya dengan membangun
kesadaran bekerja secara kolektif dalam membangun sistem perlindungan sosial sehari-hari,
berbasis kemandirian dan keswadayaan masyarakat seperti dengan penyelenggaraan
ekonomi bersama, pemilikan tanah komunal, dan membiasakan kegiatan berbudaya
lokal. Hal tersebut dapat membangun masyarakat untuk selalu bergotong-royong.
Praktek
tersebut nyatanya masih mendapat hambatan. Misalnya mengenai kehidupan petani di
sektor wilayah pedesaan. Menurut Yayan, ketua KPRI Wilayah Jawa Barat
mengatakan bahwa yang terjadi hari ini sarat dengan kepentingan kekuasaan dan kepentingan
politik praktis. Untuk mewujudkan perlindungan sosial yang transformatif dari
sisi masyarakat, dimana masyarakat sampai hari ini lebih banyak menerima program
perlindungan sosial yang hanya bersifat bantuan seperti beras miskin (Raskin),
bantuan langsung tunai (BLT), dan lebih menciptakan ketergantungan pada bantuan
sosial alih-alih untuk meningkatkan kualitas hidup petani.
Yayan
menuturkan seharusnya perlindungan sosial yang transformatif berbicara mengenai
peluang kemandirian hidup petani. Negara harus mewujudkan kehidupan petani yang
sebenarnya. Seperti petani yang memiliki tanah dan dijamin oleh Negara, sebab faktanya
sudah banyak petani yang berpindah menjadi buruh-tani karena tidak lagi
memiliki tanah. Belum lagi persoalan kebutuhan sosial secara umum di setiap
desa yang kehidupannya masih dibawah garis kemiskinan, seperti tempat tinggal
layak, pendidikan sekolah murah dan perbaikan infrastruktur jalan. Maka perlu ada penyadaran secara luas bahwa petani
merupakan bagian dari Warga Negara yang hak nya harus terpenuhi.
Senada
dengan hal tersebut, Anwar Sastro Maaruf, Sekretaris Dewan Pimpinan Nasional
(DPN) KPRI, menjelaskan bahwa membangun kesadaran sebagai Warga Negara harus
dilakukan sebagai bagian dari wujud perlindungan sosial yang transformatif.
Namun Negara juga bisa menghegemoni sebuah kebijakan agar masyarakat selalu
bergantung kepada bantuan sosial yang selalu diberikan pemerintah. Contohnya kebijakan
jaminan sosial di kehidupan sektor pekerja/ buruh perkotaan. Perlindungan
sosial bagi buruh selalu dipahami sebagai jaminan kepastian pekerjaan yang
layak dan bermartabat, yang pada akhirnya buruh hanya mengetahui perlindungan
sosial sekedar dibatasi jaminan sosial.
Masih
menurut Sastro, yang memiliki pengalaman memimpin serikat buruh selama puluhan
tahun, bahwa sampai saat ini kaum buruh masih terjebak pada perjuangan hak isu
normatif. Salah-satunya memperjuangkan hak upah yang layak. Selama ini menurut
kaum buruh, pemahaman perlindungan sosial sebatas hanya melalui apa yang sudah
diberikan oleh perusahaan atau tempat nya bekerja. Buruh pun harus mulai
membangun kesadaran partisipatif sebagai warga negara yang aktif memperjuangkan
isu-isu diluar hak normatif nya. Di sebagian serikat buruh sudah ada peningkatan
kesadaran memprotes berbagai kebijakan pemerintah seperti kelemahan BPJS, pendidikan
murah, perumahan layak, dan transportasi publik yang nyaman. Berkesadaran
sebagai warga negara ini yang menjadi tantangan bagi buruh untuk menjadi
pra-syarat mewujudkan perlindungan sosial yang transformatif.
Perlindungan Sosial Yang Menyeluruh
Perlindungan
sosial di Indonesia secara konsep dapat ditemukan dalam naskah Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 ketika Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) saat itu menyusun pasal 33 UUD 1945 yang secara eksplisit menjelaskan
negara menguasai dan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Ditambah dengan rumusan pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dari
dua pasal tersebut sudah menjelaskan secara langsung tanggung jawab negara
Republik Indonesia memberi perlindungan sosial untuk rakyat nya.
Perlindungan
sosial juga diatur dalam undang-undang kesejahteraan sosial nomor 11 tahun 2009.
Undang-undang tersebut berisi tentang komponen perlindungan sosial, rehabilitasi
sosial, bantuan sosial, dan jaminan sosial. Perlindungan sosial dalam
undang-undang tersebut dianggap sebagai satu implementasi dari komponen
kesejahteraan sosial.
Hal
ini dijelaskan lebih lanjut oleh Doni Setiawan, Sekretaris Jenderal dari
lembaga Perkumpulan Inisiatif yang mengatakan perlindungan sosial yang dimaksud
untuk merespon kerentanan warga, dan antisipasi dari kerentanan baik karena
bencana alam, konflik dan yang lainnya. Sementara yang sifatnya langsung berhubungan dengan pelayanan publik, seperti
sosial pendidikan, kesehatan dan macam
lai nya juga diatur dalam undang-undang tersebut.
Doni
juga menambahkan, skema perlindungan sosial tersebut secara komprehensif sudah menjelaskan
bahwa masyarakat sudah terpenuhi layanan publiknya, misal akses kesehatan
terpenuhi. Masyarakat yang rentan seperti kelompok miskin, manula, anak-anak
dan masyarakat yang butuh bantuan hukum juga ikut terpenuhi. Masih menurut
Doni, skema perlindungan sosial ini tentu belum sempurna, sebab di dalam nya
masih memiliki masalah dari tergantung kebijakan elit politik
mengimplementasikan nya dengan baik.
Masalah
dari implementasi kebijakan negara tersebut dikemukakan secara tegas oleh Sapei
Rusin, yang menjelaskan bahwa undang-undang itu
menempatkan perlindungan sosial hanya untuk menghadapi goncangan yang dihadapi
oleh masyarakat pada situasi tertentu. Seperti bencana, wabah, dan sebagai nya.
Sehingga perlindungan sosial itu sejajar dengan bantuan sosial, yang tidak
cukup komprehensif sebagai program ekonomi politik yang memastikan keterjaminan
atau terpenuhinya hak-hak sosial ekonomi politik masyarakat. Secara
prinsip, nampaknya untuk mewujudkan partisipatif dan pola redistribusinya
maksimal untuk membangun kualitas hidup rakyat
tampaknya belum ada.
Pemahaman
ini diperjelas oleh Harry Wibowo, peneliti dan juga aktifis ham yang mengatakan perlindungan sosial yang transformatif harus
dibuat secara menyeluruh untuk membangun
life-cycle (lingkaran kehidupan) demi meningkatkan kualitas
hidup rakyat. Untuk mewujudkan perlindungan
sosial yang transformatif, perlu ada nya perencanaan dari partisipasi
masyarakat. Namun orang sering memisah-misah praktek jaminan sosial. Misal
mengenai jaminan sosial, orang hanya tahu mengenai praktek di dalam BPJS.
Padahal
masih menurut Harry Wibowo, sebagai contoh hak atas kesehatan sering dipahami
agar membuat orang menjadi tidak sakit. Seharusnya setiap orang berhak
diberikan standar tertinggi kesehatan yang disediakan Negara. Hak atas tempat
tinggal memiliki pengertian yang sama. Bila orang tidak punya rumah, sementara
itu adalah bagian hak mendasar, maka Negara
harus menyediakannya. Begitu juga dengan pendidikan. Negara berfungsi untuk
memenuhi hak-hak tersebut. Bila ada anak yang putus sekolah, maka bagaimana Negara
harus menyekolah kan anak tersebut. Wacana pendidikan sebagai hak publik dari
yang biasa nya hanya dikritisi dari segi pembiayaan, tetapi dalam skema gagasan
perlindungan sosial yang transformatif, pendidikan juga harus mencakup soal kurikulum sampai penentuan
kurikulum pendidikan
Mohammad Zaki
juga memberi penjelasan mengenai tantangan yang akan dihadapi perlindungan
sosial yang transformatif. Di Indonesia, selain harus memperbaiki masalah di
sistem jaminan sosial, harus dipahami juga bahwa di industri kesehatan pun
bermasalah. Ambil contoh Di Negara Inggris, dari segi jumlah rumah sakit publik dan dokter yang
dimiliki Negara sangat melimpah. Bahkan di rumah sakit swasta, dokter Negara
boleh bekerja di sana. Berbeda dengan di Indonesia yang masih minim gagasan terkait dengan memperbanyak dokter Negara dan
meningkatkan jumlah rumah sakit yang dimiliki oleh Negara. Dalam hal ini sudah
jelas terlihat bahwa di Indonesia sendiri, modus operasi kesehatan adalah
dengan mencari laba atau keuntungan. Zaki menambahkan apabila perlindungan
sosial selalu bersifat mencari untung seperti bisnis alih-alih meningkatkan
kualitas kehidupan rakyat, maka pelaksanaan perlindungan sosial tersebut akan
selalu merasa terbebani defisit anggaran.
Anggaran
Tepat Guna
Berbeda
dengan perlindungan sosial yang memiliki
modus mencari untung, perlindungan sosial yang transformatif harus membuat perencanaan anggaran yang tepat
guna. Menurut Doni Setiawan, Anggaran merupakan instrument untuk mewujudkan
pembangunan suatu Negara. Sehingga anggaran yang digunakan untuk mencapai
tujuan Negara, yaitu untuk sebesar-besarnya digunakan demi kemakmuran rakyat.
Namun
pertanyaannya, bagaimana formulasi perencanaan anggaran dari pusat ke daerah?
Banyak riset dan analisis yang dilakukan bahwa penerima manfaat dalam Negara
ini mayoritas adalah penyelenggara Negara sendiri, bukan rakyatnya. Hal ini membuktikan
bahwa pengelolaan keuangan Negara masih belum baik, dan belum dapat digunakan
sebesar-besarnya untuk mendorong kemakmuran rakyat.
Doni
Setiawan menjabarkan bahwa untuk menerapkan kebijakan perlindungan sosial harus
dilihat dari sumber pendapatan anggaran tersebut. Misalnya, berapa anggaran
pemerintah untuk mengalokasikan anggaran
jaminan sosial? Dari mana sumber anggarannya? di dalam UU kesejahteraan sosial menjelaskan
bahwa sumber pembiayaan untuk mewujudkan perlindungan sosial dibuat cukup melebar.
Ada yang dibiayai pemerintah, Ada yang dibiayai oleh swasta, Ada yang dibiayai masyarakat, bahkan boleh dibiayai
bantuan-bantuan lain termasuk asing. Masih menurut Doni Setiawan, yang
mengatakan bahwa alokasi anggaran jaminan sosial dan perlindungan sosial kurang
lebih sekitar 130 triliun. dari total penerimaan APBN sebesar 3000 triliun
rupiah pada tahun 2015. Ini artinya alokasi anggaran tersebut hanya kurang dari 20
persen, sambungnya.
Di
satu sisi dengan ruang lingkup yang sangat melebar dan menyebabkan bias keberpihakan
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial terutama dari aspek pembiayaan
dan sumberdaya yang digunakan, Negara dapat mengklaim bahwa sumberdaya yang dimiliki
sangat terbatas untuk mewujudkan perlindungan sosial. Sehingga Negara membuka
ruang bagi partisipasi warga, dan mendorong pihak swasta untuk terlibat di
penyelenggaraan jaminan sosial.
Sapei
Rusin menjelaskan bahwa pemanfaatan anggaran dalam perlindungan sosial yang
transformatif dapat disiapkan dari pengoptimalan pendapatan Negara. Dari sisi
belanja, bagaimana alokasi yang serius untuk program perlindungan sosial.
Senada dengan hal tersebut, Doni Setiawan juga menambahkan bahwa ada tiga hal
yang harus diuji dalam alokasi penganggaran perlindungan sosial, yaitu menguji
UU kesejahteraan sosial, menguji kapabilitas kemampuan oleh Negara dan menguji
implementasi di lapangan. Sebab perlindungan sosial masih menjadi tanggung-jawab
Negara, namun semua pihak sampai masyarakat marjinal juga harus terlibat
merencanakan sampai tahap mengawasi anggaran.**
* Tulisan ini merupakan laporan utama ke-dua dalam Tabloid Bergerak yang dapat diunduh di situs http://pergerakan.org/perlindungan-sosial-untuk-siapa/. Tulisan ini diedit kembali sesuai kebutuhan.
** Biodata Penulis
Rozi Hariansyah, Alumni IISIP Jakarta. Bekerja di Tabloid Bergerak.
Dadan Abdullah, Mahasiswa Universitas Subang. Aktif sebagai anggota Pergerakan Inisiatif Rakyat Subang (PIRS).