Siang yang mencekam. Meskipun hari
ini adalah hari kemerdekaan bagi Negara Indonesia. Sebuah peringatan hari besar
tentunya. Namun demi tugas dan pekerjaan, menjadi tidak berlaku di hari libur
tersebut. Kebetulan pada hari ini Pak Gubenur sedang lewat dengan iring-iringan
kendaraan mobil mewahnya. Masyarakat berkesempatan untuk mendekati mobil itu. Ajudan
dan pengawal dari Pak Gubernur bergegas turun dari mobil di belakangnya untuk
mengamankan keadaan sekitar. Salah-satu ajudan menengok ke arah Pak Gubernur,
melihat reaksi selanjutnya dari beliau. Pak Gubernur hanya memberi isyarat
senyum, meski menandakan ketidaknyamanan. Tiba-tiba ajudan dan pengawal
tersebut mengusir beberapa orang yang ingin mendekati pintu mobil Pak Gubernur.
Mereka kaget dan merasa tidak terima diperlakukan seperti itu.
Umpatan dan makian keluar dari bibir
mereka. Terdapat pengemis, pengamen, pedagang asongan dan masih banyak lagi
yang saling dorong dan terjatuh. Mereka semua dianggap membuat kemacetan di
perempatan jalan. Tidak ada yang mengetahui siapa yang memulai kericuhan.
Seorang anak dengan pakaian lusuh berusaha agar air matanya tidak jatuh,
meskipun akhirnya berlinang juga. Sambil berjalan dan berlawanan arah dari
tempat tersebut, dia lebih memilih pergi.
Bingung, dan mengapa keadaan menjadi
seperti ini.
(Sumber Foto: fotofamilyku.blogspot.com)
OLEH :ROZI HARIANSYAH
Riko harus membantu ibunya memasak, saat
ufuk dari timur belum memancarkan cahaya kehidupannya di bumi. Sebagian orang
masih terlelap. Azan subuh pun belum terdengar. Riko, seorang anak berusia
sepuluh tahun dengan raut wajah masih mengantuk, bergegas menuju kamar mandi
untuk sekedar mencuci muka. Baju hitam polosnya terkena cipratan air karena
terlalu bersemangat.
Riko adalah anak satu-satunya,
tetapi sejak enam bulan lalu dia sudah berhenti bersekolah. Riko lebih memilih
bekerja membantu Orang tua. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Riko
selalu menyempatkan diri membantu Ibu membuat kue, semacam gorengan pisang,
bakwan ataupun tempe dan tahu-isi. Ibunya memang pedagang makanan kecil
yang biasa menitipkan makanan di warung-warung sekitar kampungnya. Termasuk menitip
makanannya di pasar terdekat. Ayah Riko hanya bisa berbaring di tempat tidur,
kedua kakinya lumpuh. Sebab enam bulan yang lalu Ayah Riko mengalami kecelakaan
di tempat kerjanya.
Alasan itu yang ternyata membuat
Riko ingin merawat ayahnya, sekaligus membantu ibunya berjualan makanan. Dahulu
pekerjaan Ayah Riko hanya lah pekerja kasar, yang bekerja bila ada panggilan untuk
proyek. Entah pembangunan rumah, pembangunan pusat perbelanjaan ataupun
perbaikan jalan.
Riko dan keluarganya tinggal di
sebuah rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar tidur. Lantainya belum
dikeramik. Tembok rumah tersebut nampaknya masih basah dengan cat putih. Dapur
terlihat berantakan setiap pagi. Wajar, beginilah aktifitas rumah pedagang
makanan kecil. Rutinitas tetap sama di setiap harinya.
“Mak,
hari ini hari libur kan? kok Emak masih mau membuat makanan untuk kita jual hari
ini ?” tanya Riko sambil mencampurkan adonan terigu dengan pisang.
”Iya
Riko” jawab Ibunya singkat.
“Baiklah
Mak, jam setengah enam nanti Riko langsung berangkat” sambung Riko.
“Nanti
mampir saja ke sekolah dasar negeri dekat kelurahan. Sepertinya di sana ada
pelaksanaan upacara bendera. Kamu bisa menawarkan makanan kita di sana. Abis
itu langsung ke pasar yah. Jangan lupa nanti titipkan kue di Mbok Imah” sahut
Ibunya.
“Siap
Ibu Ratu” ucap Riko sambil memberi persembahan sebuah baskom berisi pisang yang
sudah tercampur adonan terigu dengan penuh. .
Ibu
Riko pun ikut tersenyum. Hari ini ternyata tepat pada tanggal tujuh belas
agustus. Hari Kemerdekaan bagi Negara Republik Indonesia. Meskipun bagi Riko hari-hari yang ada seperti apa adanya,
alih-alih perayaan yang berlebihan. Hari apapun, Riko tetap membantu ibu
menjual kue. Berkeliling dengan berjalan kaki di pinggir jalan raya, sekolah-
dan pasar.
Makanan
selesai digoreng. Ibu Riko memasukkannya ke dalam tiga kantong plastik hitam
berukuran besar. Masing-masing kantong berisi makanan yang berbeda. Ada pisang goreng,
tahu isi dan bakwan. Isinya sama, berjumlah lima puluh buah.
“Mak,
Riko mau berangkat yah” sahut Riko.
“Hati-hati,
jangan sampai telat yah” jawab Ibu Riko penuh harap.
Harapan
Ibu Riko terletak pada makanan yang sedang dibawa Riko. Riko pun berjalan sambil
membawa kantong plastik berisi makanan untuk dijual, meninggalkan rumah sepetak
tak berlantaikan keramik dan tanpa memiliki pagar.
Rumah
Riko berada di dalam gang sebuah kampung. Sekeliling hanya pemukiman padat
lorong-lorong khas di pinggir Kota Jakarta. Umbul-umbul bendera merah-putih pun
sudah dipasang sejak beberapa hari yang lalu. Hiasan berupa gelas minuman bekas
bercat merah-putih dirangkai satu-dua hingga sebaris yang menyilang di
langit-langit jalan. Riko tersenyum sekilas. Memandangi lorong-lorong sempit
yang dilaluinya.
Sesampainya
di depan jalan raya, Riko melihat serombongan anak-anak sekolah membawa
bendera-bendera miniatur berwarna merah-putih berbahan plastik, yang dikibarkan
menuju lapangan upacara di sekolahan terdekat. Ingin rasanya Riko ikut. Tapi Riko
sadar. Riko bukan murid dari sekolah tersebut.
Seperti
biasa Riko selalu berteriak, suaranya khas. Menjajakan macam-macam isi dari
kantong plastik yang dia bawa. Berharap ada orang yang menghampiri dan
membelinya. Riko menuju lapangan sekolah. Anak-anak sekolah sudah siap berbaris
rapih. Pasukan paskibra, para guru dan kepala sekolah siap melaksanakan Upacara
17 Agustus.
Riko
sudah hafal rangkaian acara pelaksanaan Upacara 17 Agustus. Menghormati
bendera, membaca Undang-Undang dasar (UUD 1945), Pancasila serta menyanyikan lagu Mengheningkan Cipta,
lalu Indonesia Raya dan ditutup dengan doa. Sebuah ritual wajib untuk sebuah
perayaan hari kemerdekaan. Riko hanya bisa menatapnya dari jauh. Baju lusuh dengan
sandal jepit hampir putus yang membuatnya minder dan tak berani melangkah ikut
upacara tersebut. Dia memang bukan murid dari sekolah tersebut. Namun Riko
tetap mengikuti detik-detik rangkaian kegiatan tersebut. Tidak lupa se-sekali
ikut menghormati bendera dan menyanyi lagu Indonesia raya.
Upacara
sedang dimulai, saatnya pidato oleh pemimpin upacara. Para guru yang berbaris
di belakang tidak terlalu mendengarnya serius. Anak-anak murid pun demikian. Sebagian
dari mereka sibuk bercanda dan terlihat main telepon genggam.
“Mengapa
mereka seperti tidak serius mengikuti upacara?” tanya Riko.
Riko
hanya menggelengkan kepala sambil menatap mereka. Seolah tidak terima, acara
khidmat seperti ini tidak dilalui dengan baik.
Upacara
kenaikan bendera sudah selesai. Riko masih menunggu di lapangan tersebut. Hanya
berharap ada murid ataupun guru yang mau
membeli makanan yang dibawa olehnya. Akhirnya
ada seorang murid yang datang membeli
makanannya. Riko tersenyum berterimakasih, seolah ini rezeki yang datang hanya
se-hari sekali.
“Dik,
harga tahu isi ini berapa?” tanya salah satu murid sekolah.
“Seribu
rupiah saja kak untuk satu buahnya” jawab Riko.
“Oh
baiklah, aku beli lima buah yah, jadi lima ribu rupiah kan? ini uangnya” ucap
murid tersebut.
“Iya
kak, terima kasih yah kak” jawab Riko dengan memberikan plastik putih untuk membungkus
makanan yang baru saja dibeli.
Siang
telah menanti, matahari semakin meninggi. Lapangan tempat upacara semakin sepi.
Riko pun melangkah meninggalkan lapangan
upacara. Dia sedang menuju pasar tradisional tempat tujuan terakhir untuk
berjualan.
Sesampainya
di pinggir jalan, Riko melihat anak-anak sedang menghias sepeda untuk acara
karnaval. Di setiap simpang jalan, Riko selalu melihat ada persiapan acara
lomba kecil untuk anak-anak dan remaja. Riko sepintas ingin singgah sejenak.
Ingin ikut merayakan. Namun tanggung jawab dan kewajiban berjualan makanan yang
menuntut Riko untuk segera meninggalkan tempat itu.
Langkah-langkah
kaki Riko terasa berat menuju ke pasar. Namun dia masih bersemangat. Sejauh
mata memandang, Riko kembali melihat anak-anak sekolah dipandu oleh gurunya
sedang sibuk mengibarkan bendera-bendera plastik berwarna merah-putih. Mereka
sedang menantikan iring-iringan kedatangan Pak Gubernur yang akan melewati
jalan tersebut.
Kedatangan
Pak Gubernur melintasi jalan tersebut, ternyata sudah ditunggu oleh warga
sekitar. Turut serta ada pedagang asongan, pengemis, dan pengamen dengan setia
menantinya. Hanya ingin bersalaman dan menagih janji kampanye sebelum Pemilihan
Kepala Daerah beberapa bulan lalu. Riko pun
ikut mendekati pusat keramaian.
Pak
Gubernur pun tiba. Riko bersama yang lain berusaha merangsek maju, dan
bergabung untuk saling berdesakan. Ajudan dan Pengawal Pak Gubernur ternyata
menunjukan sikap yang tak ramah. Riko tidak sadar makanan yang ia bawa terjepit
dengan kerumunan massa. Tiba-tiba suasana menjadi rusuh, tidak terkendali dan
terjadilah suasana siang hari yang mencekam.
***
Masih
di dalam kebingungannya, Riko tersadar. Kantong plastik yang berisi makanan
miliknya sudah rusak. Beberapa makanan yang tersisa sudah terjatuh. Riko menyesali
diri, mengapa harus mengabaikan amanat Ibunya untuk tidak bergegas segera pergi
ke pasar.
Langkah
kaki Riko semakin terasa berat menuju ke pasar. Beruntung, uang lima ribu
rupiah dan sisa-sisa makanan yang ada masih bisa diselamatkan oleh Riko. Riko
semakin berusaha agar cepat sampai di pasar. Bertahan dengan pesan dari Ibunya.