Selasa, 16 Agustus 2016

PESAN IBU PADA HARI KEMERDEKAAN

Siang yang mencekam. Meskipun hari ini adalah hari kemerdekaan bagi Negara Indonesia. Sebuah peringatan hari besar tentunya. Namun demi tugas dan pekerjaan, menjadi tidak berlaku di hari libur tersebut. Kebetulan pada hari ini Pak Gubenur sedang lewat dengan iring-iringan kendaraan mobil mewahnya. Masyarakat berkesempatan untuk mendekati mobil itu. Ajudan dan pengawal dari Pak Gubernur bergegas turun dari mobil di belakangnya untuk mengamankan keadaan sekitar. Salah-satu ajudan menengok ke arah Pak Gubernur, melihat reaksi selanjutnya dari beliau. Pak Gubernur hanya memberi isyarat senyum, meski menandakan ketidaknyamanan. Tiba-tiba ajudan dan pengawal tersebut mengusir beberapa orang yang ingin mendekati pintu mobil Pak Gubernur. Mereka kaget dan merasa tidak terima diperlakukan seperti itu.

Umpatan dan makian keluar dari bibir mereka. Terdapat pengemis, pengamen, pedagang asongan dan masih banyak lagi yang saling dorong dan terjatuh. Mereka semua dianggap membuat kemacetan di perempatan jalan. Tidak ada yang mengetahui siapa yang memulai kericuhan. Seorang anak dengan pakaian lusuh berusaha agar air matanya tidak jatuh, meskipun akhirnya berlinang juga. Sambil berjalan dan berlawanan arah dari tempat tersebut, dia lebih memilih pergi.

Bingung, dan mengapa keadaan menjadi seperti ini.




       (Sumber Foto: fotofamilyku.blogspot.com)


OLEH :ROZI HARIANSYAH
Riko harus membantu ibunya memasak, saat ufuk dari timur belum memancarkan cahaya kehidupannya di bumi. Sebagian orang masih terlelap. Azan subuh pun belum terdengar. Riko, seorang anak berusia sepuluh tahun dengan raut wajah masih mengantuk, bergegas menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Baju hitam polosnya terkena cipratan air karena terlalu bersemangat.

Riko adalah anak satu-satunya, tetapi sejak enam bulan lalu dia sudah berhenti bersekolah. Riko lebih memilih bekerja membantu Orang tua. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, Riko selalu menyempatkan diri membantu Ibu membuat kue, semacam gorengan pisang, bakwan ataupun tempe dan tahu-isi. Ibunya memang pedagang makanan kecil yang biasa menitipkan makanan di warung-warung sekitar kampungnya. Termasuk menitip makanannya di pasar terdekat. Ayah Riko hanya bisa berbaring di tempat tidur, kedua kakinya lumpuh. Sebab enam bulan yang lalu Ayah Riko mengalami kecelakaan di tempat kerjanya.

Alasan itu yang ternyata membuat Riko ingin merawat ayahnya, sekaligus membantu ibunya berjualan makanan. Dahulu pekerjaan Ayah Riko hanya lah pekerja kasar, yang bekerja bila ada panggilan untuk proyek. Entah pembangunan rumah, pembangunan pusat perbelanjaan ataupun perbaikan jalan.

Riko dan keluarganya tinggal di sebuah rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar tidur. Lantainya belum dikeramik. Tembok rumah tersebut nampaknya masih basah dengan cat putih. Dapur terlihat berantakan setiap pagi. Wajar, beginilah aktifitas rumah pedagang makanan kecil. Rutinitas tetap sama di setiap harinya.

“Mak, hari ini hari libur kan? kok Emak masih mau membuat makanan untuk kita jual hari ini ?” tanya Riko sambil mencampurkan adonan terigu dengan pisang.

”Iya Riko” jawab Ibunya singkat.

“Baiklah Mak, jam setengah enam nanti Riko langsung berangkat” sambung Riko.

“Nanti mampir saja ke sekolah dasar negeri dekat kelurahan. Sepertinya di sana ada pelaksanaan upacara bendera. Kamu bisa menawarkan makanan kita di sana. Abis itu langsung ke pasar yah. Jangan lupa nanti titipkan kue di Mbok Imah” sahut Ibunya.

“Siap Ibu Ratu” ucap Riko sambil memberi persembahan sebuah baskom berisi pisang yang sudah tercampur adonan terigu dengan penuh.  .

Ibu Riko pun ikut tersenyum. Hari ini ternyata tepat pada tanggal tujuh belas agustus. Hari Kemerdekaan bagi Negara Republik Indonesia. Meskipun bagi Riko  hari-hari yang ada seperti apa adanya, alih-alih perayaan yang berlebihan. Hari apapun, Riko tetap membantu ibu menjual kue. Berkeliling dengan berjalan kaki di pinggir jalan raya, sekolah- dan pasar.

Makanan selesai digoreng. Ibu Riko memasukkannya ke dalam tiga kantong plastik hitam berukuran besar. Masing-masing kantong berisi makanan yang berbeda. Ada pisang goreng, tahu isi dan bakwan. Isinya sama, berjumlah lima puluh buah.

“Mak, Riko mau berangkat yah” sahut Riko.

“Hati-hati, jangan sampai telat yah” jawab Ibu Riko penuh harap.

Harapan Ibu Riko terletak pada makanan yang sedang dibawa Riko. Riko pun berjalan sambil membawa kantong plastik berisi makanan untuk dijual, meninggalkan rumah sepetak tak berlantaikan keramik dan tanpa memiliki pagar.

Rumah Riko berada di dalam gang sebuah kampung. Sekeliling hanya pemukiman padat lorong-lorong khas di pinggir Kota Jakarta. Umbul-umbul bendera merah-putih pun sudah dipasang sejak beberapa hari yang lalu. Hiasan berupa gelas minuman bekas bercat merah-putih dirangkai satu-dua hingga sebaris yang menyilang di langit-langit jalan. Riko tersenyum sekilas. Memandangi lorong-lorong sempit yang dilaluinya.

Sesampainya di depan jalan raya, Riko melihat serombongan anak-anak sekolah membawa bendera-bendera miniatur berwarna merah-putih berbahan plastik, yang dikibarkan menuju lapangan upacara di sekolahan terdekat. Ingin rasanya Riko ikut. Tapi Riko sadar. Riko bukan murid dari sekolah tersebut.

Seperti biasa Riko selalu berteriak, suaranya khas. Menjajakan macam-macam isi dari kantong plastik yang dia bawa. Berharap ada orang yang menghampiri dan membelinya. Riko menuju lapangan sekolah. Anak-anak sekolah sudah siap berbaris rapih. Pasukan paskibra, para guru dan kepala sekolah siap melaksanakan Upacara 17 Agustus.

Riko sudah hafal rangkaian acara pelaksanaan Upacara 17 Agustus. Menghormati bendera, membaca Undang-Undang dasar (UUD 1945), Pancasila  serta menyanyikan lagu Mengheningkan Cipta, lalu Indonesia Raya dan ditutup dengan doa. Sebuah ritual wajib untuk sebuah perayaan hari kemerdekaan. Riko hanya bisa menatapnya dari jauh. Baju lusuh dengan sandal jepit hampir putus yang membuatnya minder dan tak berani melangkah ikut upacara tersebut. Dia memang bukan murid dari sekolah tersebut. Namun Riko tetap mengikuti detik-detik rangkaian kegiatan tersebut. Tidak lupa se-sekali ikut menghormati bendera dan menyanyi lagu Indonesia raya.

Upacara sedang dimulai, saatnya pidato oleh pemimpin upacara. Para guru yang berbaris di belakang tidak terlalu mendengarnya serius. Anak-anak murid pun demikian. Sebagian dari mereka sibuk bercanda dan terlihat main telepon genggam.

“Mengapa mereka seperti tidak serius mengikuti upacara?” tanya Riko.

Riko hanya menggelengkan kepala sambil menatap mereka. Seolah tidak terima, acara khidmat seperti ini tidak dilalui dengan baik.

Upacara kenaikan bendera sudah selesai. Riko masih menunggu di lapangan tersebut. Hanya  berharap ada murid ataupun guru yang mau membeli makanan yang dibawa olehnya. Akhirnya  ada seorang murid  yang datang membeli makanannya. Riko tersenyum berterimakasih, seolah ini rezeki yang datang hanya se-hari sekali.

“Dik, harga tahu isi ini berapa?” tanya salah satu murid sekolah.

“Seribu rupiah saja kak untuk satu buahnya” jawab Riko.

“Oh baiklah, aku beli lima buah yah, jadi lima ribu rupiah kan? ini uangnya” ucap murid tersebut.
“Iya kak, terima kasih yah kak” jawab Riko dengan memberikan plastik putih untuk membungkus makanan yang baru saja dibeli.

Siang telah menanti, matahari semakin meninggi. Lapangan tempat upacara semakin sepi. Riko  pun melangkah meninggalkan lapangan upacara. Dia sedang menuju pasar tradisional tempat tujuan terakhir untuk berjualan.

Sesampainya di pinggir jalan, Riko melihat anak-anak sedang menghias sepeda untuk acara karnaval. Di setiap simpang jalan, Riko selalu melihat ada persiapan acara lomba kecil untuk anak-anak dan remaja. Riko sepintas ingin singgah sejenak. Ingin ikut merayakan. Namun tanggung jawab dan kewajiban berjualan makanan yang menuntut Riko untuk segera meninggalkan tempat itu.

Langkah-langkah kaki Riko terasa berat menuju ke pasar. Namun dia masih bersemangat. Sejauh mata memandang, Riko kembali melihat anak-anak sekolah dipandu oleh gurunya sedang sibuk mengibarkan bendera-bendera plastik berwarna merah-putih. Mereka sedang menantikan iring-iringan kedatangan Pak Gubernur yang akan melewati jalan tersebut.

Kedatangan Pak Gubernur melintasi jalan tersebut, ternyata sudah ditunggu oleh warga sekitar. Turut serta ada pedagang asongan, pengemis, dan pengamen dengan setia menantinya. Hanya ingin bersalaman dan menagih janji kampanye sebelum Pemilihan Kepala Daerah beberapa bulan lalu.  Riko pun ikut mendekati pusat keramaian.

Pak Gubernur pun tiba. Riko bersama yang lain berusaha merangsek maju, dan bergabung untuk saling berdesakan. Ajudan dan Pengawal Pak Gubernur ternyata menunjukan sikap yang tak ramah. Riko tidak sadar makanan yang ia bawa terjepit dengan kerumunan massa. Tiba-tiba suasana menjadi rusuh, tidak terkendali dan terjadilah suasana siang hari yang mencekam.

***
Masih di dalam kebingungannya, Riko tersadar. Kantong plastik yang berisi makanan miliknya sudah rusak. Beberapa makanan yang tersisa sudah terjatuh. Riko menyesali diri, mengapa harus mengabaikan amanat Ibunya untuk tidak bergegas segera pergi ke pasar.

Langkah kaki Riko semakin terasa berat menuju ke pasar. Beruntung, uang lima ribu rupiah dan sisa-sisa makanan yang ada masih bisa diselamatkan oleh Riko. Riko semakin berusaha agar cepat sampai di pasar. Bertahan dengan pesan dari Ibunya.