Persoalan LGBT? Ah tulisan
ini saya coba untuk repost lagi. Sebelumnya
tulisan ini saya buat di tahun 2012 sebagai inisiatif lanjutan tulisan yang
ditulis oleh kawan saya sendiri, nama nya Andi Tama mengenai kajian
“transgender”, dengan dua judul tulisannya yang berjudul “Waria” dan “transgender
dua”. Kalau mau lihat tulisan Andi Tama, silahkan berteman dulu dengan akun
facebooknya.
Entah menjadi saran
ataupun kritik yang membangun, untuk lanjutan tulisan kawan Andi dari
pengalaman orang yang memilih jalan hidupnya “sama” namun dari perspektif yang
berbeda.
Hasil tulisan ini merupakan
dialog singkat empat tahun yang lalu dengan kawan lama bernama Ucil alias Yasin.
Dia seorang pria yang mengakui “penyuka sesama jenis”.
Seperti biasa, daripada
berlama-lama nasi-basi nya, sebaiknya mari kita baca.
(Sumber: www. Suarakita.org)
Oleh:
Rozi Hariansyah
Minggu pagi tepatnya 4
maret 2012 di daerah Bekasi, seperti biasa ada beberapa lubang di jalan raya yang belum
diperbaiki, namun mobil pejabat terpilih selalu minta diganti keluaran terkini.
Pada saat itu aku melamun sejenak di kursi yang memang disiapkan berbaris rapih
dibawah tenda untuk para tamu undangan yang hadir nantinya.
“Hei,
apa kabar Ji? Udah gede aja loh..”
Sontak aku terkejut, Dia
lah Yasin, orang yang ingin kita bicarakan dalam tulisan ini, meski saya tahu,
dosa hukumnya membicarakan orang lain.
‘Hei Ji, udah tujuh tahun gak kesini, terakhir
w liat, masih kecil ,sekarang udah gede, mana jelek lagi.’ Lanjut Yasin.
Saya hanya membalas
senyuman kecut nan siap melakukan pembalasan atas ledekannya itu. Yasin, yang
saya kenal tidak berubah: berwajah
sangar dan senyumannya mirip “Udin Sedunia” pada waktu itu. Saya pun menyapa
Yasin.
‘Sin,
apa kabar ? ah masih kayak dulu lau Sin, muka coklat, hati stroberi, hehehe’.
Yasin pun membalas,
‘Ji, sekarang kuliah atau kerja? kuliah yah ?
banyak dong teman-teman cowoknya?’
Saya pun kaget, namun
saya paham, ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu.
Saat itu, Yasin bersama
teman-temannya yang lebih mirip berandalan terlihat cool seperti anak-anak muda yang hobinya gangguin orang lewat. Tak
peduli laki-laki ataupun perempuan, Yasin, yang biasa dipanggil Ucil , mantan
tukang sate kikil dan ucus seratus-dua ratus rupiah yang sering diserbu
anak-anak kecil termasuk saya waktu itu, dan sekedar jajan pada zaman itu….
IDENTITASKU YANG SUNYI
Basa-basi saya hentikan.
Kini dengan obrolan santai kami berbincang ringan. Saya ketahui Yasin masih
dengan rajinnya membantu warga sekitar di daerah sini, ataupun membantu saudaraku
bila ada kegiatan atau acara. Entah memasak, mencuci piring, ataupun hal yang
biasa dilakukan. Membantu tetangga mengecat pagar, membantu mencukur rambut di
salon, tempat tongkrongannya bersama kawan-kawannya waktu itu.
‘Zi,
kamu punya banyak temen cowok kan? Kenalin dong?’.tanya
Yasin.
‘Yah
Sin, saya punya nya temen cewek semua. Nih ada nomor handphone nya, mau ga ?‘ (dengan nada bercanda tentunya)
‘Yah,
zi, saya kan mau nya ama cowok. Oh iya zi, kamu jurusan apa kuliahnya? kata
mama, ilmu politik yah? Ih, zi, jangan jadi yang kayak di tv itu, si Anas atau
siapa lagi tuh Angelina sendok eh sondak yang korupsi.’
Lanjut Yasin lagi.
Yasin masih peka terhadap situasi pemberitaan media
mengenai dunia politik di tahun itu, walaupun sekedar pengalihan isu dari isu
utama (kemiskinan dan kesejahteraan) ataupun pencitraan.
Mungkin menurut hemat
saya, sudah tentu isu-isu politik yang menuju pembusukan menjadi pemberitaan
menarik di mata Yasin. Ada dua hal yang saya tangkap disini :
1. Yasin selalu
berusaha tahu berita ter-update
2. Kepekaan sosial
seorang Yasin- orang biasa, mau diajak berbicara politik selanjutnya (politik untuk
perjuangan bkan kekuasaan)
Selanjutnya, obrolan
kami terasa mengalir. Dimulai dari lingkungan sosial. Buat orang kebanyakan,sepertinya
hidup adalah pilihan.
Tapi pilihan bukan
persoalan yang harus dirayakan berlebihan menurut Yasin. Dia ternyata
mengetahui banyak persoalan kaum buruh bekasi, anak jalanan daerah blok m yang
mayoritas kawan-kawan sama sepertinya. Yasin bersimpati manakala waktu itu terjadi
kasus-kasus pembantaian petani di Mesuji, Bima, dsb.Malah Yasin sangat antusias
mendengar cerita tentang buruh migran yang dihukum mati raja arab Saudi di
tahun 2012.
Semua orang tahu
kondisi sebenarnya Yasin, sifat dia, pilihan hidup dia, namun Yasin membuktikan
dirinya masih bisa diterima di lingkungannya, dengan selalu "ikut
berpatisipasi aktif setiap kegiatan di sekitar perumahan ini.
SOLIDARITAS SOSIAL,
KONTRIBUSI IDENTITAS
Yasin sangat senang
saya ajak berbicara mengenai masalah sosial politik. Bukan maksud meng-agitasinya waktu itu. Dia yang justru
membutuhkan obrolan dan pengetahuan saya yang mungkin sedikit.
Saya kembali mengalir
bercerita tentang realitas sosial dan yang paling utama kebutuhan sosial nya
bukan kebutuhan identitasnya.
Sin,
bagimana, sudah mendapat pekerjaan tetap? Saya memulai
obrolan kembali.
‘Ah ji, aku cuma
lulusan Sd, Smp saja gak lulus. Pendidikan mahal zi, kita kayak dimiskinkan. Kenapa
yah yang ga bisa sekolah pasti orang yang miskin ? orang yang sudah punya kerja
kadang hidup masih susah, gimana saya zi. Buat saya zi, yang penting bisa makan
hari ini, mau kerja apa aja deh, asal jangan jadi LENJE , manja, pemalas,
selalu menggerutu, apapun bisa kita lakukan zi. Contohnya, aku dahulu jualan
sate, dituduh pake daging tikus, aku gak nyerah, berhenti cari usaha lagi, aku
sadar zi, aku hidup sendirian bukan berarti menyendiri, kemarin aku baru saja
nolongin banci yang dikejar-kejar orang. Mau dirazia kali, mereka kan pengen
cari kerja halal kan yah. Kita jangan jauh-jauh ngomong banci, siapapun yang
jadi pengecut bisa jadi banci. Yah gitu zi, banyak yang normal pengen jadi
banci, dan yang banci seperti saya, berusaha normal-normal saja. Jadi tak perlu
lagi dipertanyakan.’ Jawab Yasin.
Saya pun hanya terdiam
mendengar ucapan bijaknya.
‘zi, walau kondisi saya
seperti ini, tetap zi, kita manusia, ga bisa hidup sendiri-sendiri, saya paham
zi, saya dan kawan2 yang sama menjadi
begini gak muncul dengan tiba-tiba. Ada yang dulunya maniak sama perempuan,
jadi banci karena gak direstui oleh orang tuanya, ketika telah menemukan
pasangan yang cocok. Ada juga yang sejak kecil dipukuli secara kasar oleh ibu
nya, hingga beranggapan semua perempuan jahat. Atau ada juga temenku zi, jadi
seperti saya karena keluarganya broken home, atau didikan orang tua dan
lingkungannya yang melabelling secara paksa dia dididik jadi perempuan. Padahal
ia sama kayak kamu kencingnya berdiri.. hehehe’
ucap Yasin dengan mata berkaca-kaca.
Saya sepakat dengan
ucapan Yasin tentang hubungan manusia dengan lingkungan sosial, yang tak bisa
dipisahkan satu sama lainnya. Bahkan seorang Yasin mengakui, mau laki atau
perempuan kita sama, bukan kodrat yang memisahkan dan menjadi alasan membatasi
hak kita. Tetapi usaha kita memahami realitas sosial yang senantiasa berubah
ini.
Akhirnya, Yasin pun
tersenyum sekilas dan berjalan menuju sebuah organ tunggal untuk menghibur
tamu-tamu yang sudah mulai berdatangan. Dengan cekatan diambilnya microphone, dan Yasin mulai bernyanyi.
Yasin, kau benar, kita tak perlu
mempertanyakan siapa kita, karena yang orang tahu adalah usaha dan apa yang
kita lakukan detik ini, bukan identitas kita.
Lalu setelah kegaduhan
soal LGBT kembali terjadi, saya mencoba membaca tulisan saya sendiri di tahun
2012 mengenai Yasin. Tidak lupa saya pun menengok akun facebook nya.
Yasin telah berubah. Mungkin dia
tidak lagi seorang pria yang mengakui “penyuka sesama jenis”.*
(Dari akun facebook Yasin)
*Tulisan ini diedit
ulang dari tulisan yang pernah penulis buat di tahun 2012.