Ini
May day is my day.
Hari buruh sedunia.
Hari nya kelas pekerja di seluruh dunia. Satu mei 1886, perjuangan buruh sudah
dimulai dan akan terus berlangsung. Bumi
Amerika, pada waktu itu sedang bergejolak. Ratusan ribu buruh bersatu dalam
berbagai serikat buruh, bahkan bisa lebih
lagi. Salah satunya adalah Knights of Labour. Mereka mengorganisir diri
melakukan aksi demonstrasi. Tuntutan mereka adalah mengurangi jam kerja.
Bayangkan dengan 12 sampai 16 jam kerja, setiap tetes keringat buruh diperas
untuk bekerja, sementara sang majikan (sang pemilik modal) terkutuklah, dia sedang
asyik duduk-duduk menghitung laba. Tuntutan ini mengemukakan pengurangan jam
kerja menjadi 8 jam sehari. Sehingga dalam sehari ada 8 jam kerja, 8 jam
istirahat/rekreasi dan 8 jam untuk tidur. [1]
Dokumentasi Aksi Konfederasi Serikat Nasional:2013
Oleh: Rozi H.
Lalu apakah pengurangan
jam kerja di tahun itu berhasil? Oh tidak coy. Pengakuan 8 jam kerja tidak pada
tahun 1886, tepatnya setelah peristiwa Haymarket. Apa itu Haymarket? Peristiwa
kerusuhan yang terjadi pada tanggal 4 mei 1886 di Chicago,Illinois yang
berkaitan dengan pemogokan menuntut 8 jam kerja oleh gerakan buruh tadi.
Peristiwa Haymarket
adalah peristiwa pembantaian-lebih tepatnya penembakan membabi-buta oleh polisi
kepada para buruh yang melakukan aksi mogok. Justru peristiwa Haymarket yang
ditetapkan sebagai hari solidaritas internasional pada tahun 1889, merupakan rangkaian
dari “Gerakan Pengurangan Jam Kerja dan Gerakan Delapan Jam Kerja” yang
menuntut pengurangan jam kerja, melarang buruh anak atau pembatasan usia kerja, kondisi kerja yang aman, serta kenaikan upah yang lebih layak .[2]
Sejarah panjang
tersebut yang melatari dan menginspirasi kisah dan perjuangan buruh
internasional di seluruh dunia.
Lalu
bagaimana di Indonesia?
Indonesia baru mengakui
8 jam kerja dan menetapkan 1 Mei sebagai hari libur tanpa pengurangan upah,
serta larangan buruh anak dibawah umur, dan lain-lainnya pada tanggal 15 April 1948
melalui UU Kerdja di Era Presiden Soekarno.
Namun semua berubah di
zaman Megawati. Pengakuan 1 Mei sebagai hari libur di masa Kemerdekaan,
otomatis dicabut dengan adanya UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Eh kok gitu sih? Megawati
kan putrinya Soekarno? tetapi dengan dikeluarkannya Keppres 24 Tahun 2013,
mulai tanggal 1 Mei 2014, di tanggal tersebut baru lah ditetapkan sebagai hari
libur nasional.
Apakah Buruh
benar-benar libur? semua berubah sejak negeri api menyerang. Negeri api itu
bernama Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, ada pelarangan hari buruh di
Indonesia. Bahkan terminologi kata buruh dibuat ambigu oleh mbah piye kabare,-bonyok
mukelu toh. Buruh diklasifikasi sebagai kelas pekerja golongan kasta bawah,
yang hanya bekerja di Pabrik-Pabrik. Lalu untuk mereka yang tidak bekerja di
Pabrik, misalnya di kantor yang bos nya galak bagaimana bro? Gue disebutnya Karyawan
gitu loh, catet, Karyawan!
Sampai akhirnya Buruh
dan Karyawan dianggap berbeda. Padahal sama, sama-sama berada dalam relasi
kerja-upahan.
*****
Dan
pada akhirnya kita ber-empat harus bingung disebut Buruh atau Karyawan?
Lagi nonton apa Bro??
1 Mei 2016, bertepatan
pada hari minggu, berbagai serikat buruh tetap mengekspresikan hari buruh
internasional. Massa buruh yang tumpah bisa mencapai ratusan ribu, bahkan bisa
lebih lagi. Tuntutan masih sama: menolak outsourcing dan sistem kerja kontrak,
menolak upah murah, menolak pemberangusan serikat, menuntut perlindungan sosial
yang layak, menolak privatisasi asset negara dan yang paling manjur tentu saja
melawan ekonomi kapitalisme.
Di luar persoalan
sehari-hari tersebut, isu yang diperjuangkan buruh juga bisa bergerak, yang
tidak hanya memperjuangkan isu normatif saja. Ada terobosan serikat buruh di
wilayah DKI Jakarta berjuang bersama nelayan dan kaum miskin kota menolak
reklamasi teluk Jakarta. Atau menyuarakan persoalan pendidikan yang masih
dikomersialisasikan oleh Negara. Bahkan mendeklarasikan sebuah organisasi massa
persatuan menjadi organisasi politik yang bertujuan menjadi partai politik
tentunya. Belum lagi gelombang tuntutan pembebasan buruh yang masih dikriminalisasi
oleh Negara setelah buruh melakukan aksi penolakan PP 78 Tahun 2015 tentang
pengupahan, akhir tahun kemarin.
Lalu bila Buruh
bergerak dari masalah yang terus bergerak, terus?
Cuma kami ber-empat
yang belum bergerak di kamar kos-kosan.
Ada kita ber-empat, Pepe,
Yudi, Jupri dan tentunya saya sendiri. Kos-kosan kami terletak di Jalan Lenteng
Agung Raya, Jakarta selatan. Kos-kosan disini berada dalam bangunan lantai 2, dengan
luas kamar masing 4 x 3 meter. Kamar kami berada di sebelah kiri di kamar yang ketiga. Total ada
7 kamar di lorong yang terletak di lantai 2 tersebut. Sebelah kiri ada 4 kamar,
sebelah kanan ada 3 kamar. Kamar mandi di luar, kecuali kalau Pepe ingin kamar
mandi di dalam, maka tempat tidurnya ditaruh diluar.
Kamar kosan kami masih kelihatan
gelap. Pepe masih tidur sambil memeluk helm ojek-online nya. Jupri sedang asyik
membolak-balik kamera tustel miliknya, lalu Yudi masih menimang-nimang majalah
anak-anak dari tempat kerja nya. Saya hanya mencoba menyalakan lampu kamar, dan
melemparkan tanya.
“Bro, Mayday nih, ikut
aksi bareng apa kita di hari ini?”
Hanya Jupri yang
menyahut, Yudi masih kebingungan mencari sesuatu dan Pepe mulai membuka mata
nya melihat jam dinding.
“Aksi lah, sekalian
kerja gw, hehe.”
Jupri ini
memang seorang jurnalis. Keterampilan memotret dan menulisnya di atas rata-rata.
Jupri bekerja di salah satu Perusahaan Media. Setiap hari Jupri ditargetkan
untuk memotret setiap peristiwa yang bisa dijadikan bahan berita. Dalam hal ini
pekerjaan Jupri sebagai pencari berita foto. Jupri sih kelihatannya enjoy saja.
Tapi tetap saja saya merasa perlu bertanya.
Bayangkan Jupri harus
mencari berita di hari libur ini? Jupri memang pernah bilang, menjadi pekerja
Media, jam kerja nya tidak beraturan. Jupri senang-senang saja kalau kita
memanggilnya “Buruh foto atau Buruh tulis”. Tapi teman-teman satu kantornya belum tentu.
Saya belum pernah
mencoba berdiskusi soal upah yang dia terima. Waktu itu Jupri hanya cengengesan
menceritakan upah yang diterimanya
“Jup, gaji di
perusahaan lau berapa coy perbulan?”
“perbulan? gw masih
dibayar per-foto. Mungkin kalau per-tulisan, dibayar dua lima sampai tiga
puluh-ribu per tulisan. Ini media cetak berbentuk koran. Sehari diminimalin
buat tiga tulisan, terus..”
“Terus apa Jup?”
“Terus gak mudah lah
bikin tulisan yang dijadiin berita. Kalau koran standar lolos dari meja redaksi
nya ketat banget. Belum tentu dari lima berita yang kita bawa, semuanya lolos dari
"meja redaksi, malah bisa cuma satu berita saja.”
“Wow”
“Wow apa?” “ pekerja
jurnalis memang begitu standar buat orang baru di banyak tempat, Jin. Yah syukur
aja sih buat nambah-nambah ongkos kuliah dan patungan bayar kos-kosan. Sudah yah
mau mandi dulu nih, nyari berita mayday”. ucap Jupri sambil terburu-buru keluar
kamar kosan.
“Hebat lau Jup, Buruh
meliput berita Buruh” hehehe.
Jupri memang masih
kuliah, sama seperti Pepe. Bedanya Pepe sudah semester tingkat akhir tak
berujung- yang berarti bisa semester berapa saja. Jupri masih semester tujuh. Hanya
Yudi dan saya yang sudah lulus kuliah.
Tiba-tiba Jupri balik
lagi
“Gayung di kamar mandi
kok gak ada, dimana yah?” tanya Jupri
Saya pun membantu Jupri
mencari gayung yang hilang. Terlihat Yudi sudah tidak sibuk lagi mencari-cari
sesuatu di tumpukan majalah miliknya.
Malah Yudi yang menemukan gayung yang hilang.
“Ini nih, gayungnya di
belakang helm nya Pepe” teriak Yudi.
“Apaan sih, ganggu orang
tidur aje” jawab Pepe
“Abisnya gayung
diumpetin, di belakang helm ojeg-online punya lau tuh”
“hehehe”, Pepe malah
nyengir sambil merem.
Jupri langsung
mengambil kembali gayung kamar mandi, tadinya Jupri mau balik mengerjai Pepe
dengan mengambil helm sebagai pengganti gayung. Tidak bisa dibayangkan bila
Pepe sedang naik motor, helm nya diganti gayung.
Pepe yang
sudah melihat jam dinding, dimana waktu menunjukan pukul 11 siang, langsung
bergegas bangun. Meminta Yudi dan saya untuk menggeser tempat duduk. Dengan kasur
yang kami pakai bersama-sama, otomatis kami terkadang saling berhimpitan satu
sama lain. Pepe merasa menang.
“Mayday nih, buru-buru
ngojek ah”
“Gak ngerjain skripsi,
mumpung lagi libur bro?” tanya Yudi.
“ Ojekers tuh ga pernah
libur coy” timpal Pepe.
“Maksudnya bagaimana
Pe?” sergah saya cepat-cepat.
“Kalau gak ngojeg, ga
bisa dapat uang dong.” Timpal Pepe lagi
“Kalau libur dulu,
tetap di gaji kan sama Ojeg-online nya?” tambah Yudi”.
“Ndasmu!! Kita cuma kemitraan
doank. Tetap saja hitungannya per-pelanggan.”
Yudi hanya tersenyum
mesum mendengar jawaban Pepe. Yah memang sulit menjadi ojekers-online seperti
Pepe. Ditengah persaingan bisnis aplikasi yang semakin ketat. Pepe harus
semakin rajin mencari pelanggan-itu berarti harus sering-sering melototi layar
handphone nya. Belum lagi status kerja seperti Pepe yang masih dianggap
kemitraan.
Kerja yah monggo, gak
kerja maka gak dapat uang dan dianggap berhenti. Saya kembali iseng bertanya.
“Mitra nya kan banyak
Pe, ribuan ada kan di Jabodetabek aja? Gak demo kantor nya buat penjelasan
status kerja atau apalah?“
“Kita solid mah tetep
bro, tapi ampun deh kalau harus melawan kebijakan kantor ojeg-online. Gw paling
gosip aja sama mereka di grup whatsapp”.
“Ah paling lu
chattingan sama perempuan yang pernah jadi pelanggan lu kali?”
“Iye sih, hehe” cengir
Pepe .
Berarti Jupri dan Pepe akan
tetap bekerja di momentum Mayday kali ini. Semoga saya tidak sendirian di kamar
kosan hari ini. Sekilas saya hanya menikmati pemandangan langit-langit kamar. Di
sudut ruangan yang pengap ini, sarang laba-laba bergelantungan ke sana-kemari.
Sungguh bila salah satu dari kami digigit laba-laba bersamaan, pertanyaannya
adalah siapa yang akan pertama kali jadi spider-man.
Kami tidak bisa berubah jadi Spider-man. Pandangan
saya langsung tertuju pada tumpukan majalah anak-anak milik Yudi.
“Yud, lau sekarang hobi
mengoleksi majalah anak-anak yah”? sembari saya melihat isi majalah tersebut.
“Loh majalah sains,
untuk anak Sekolah Dasar? Lau kan lulusan ilmu politik kayak kita coy”? tanya
saya penuh heran
“Iya Jin, gue kerja di
majalah sains jadi sales”. Jawab Yudi.
“Jadi sales? Lulusan ilmu
politik kok jadi sales? Hahahaha , Pepe mendadak tertawa.
Momen itu datang. Yudi
pun langsung memasukkan gulungan kertas dari sobekan di salah satu majalahnya
ke mulut Pepe yang terbuka lebar.
Yudi
ternyata seorang sales. Dia lebih suka dipanggil salesman dibanding saleswoman.
Selama ini kami memang jarang memperhatikan Yudi. Yudi pun juga jarang ke
kosan.
Saya lagi-lagi bertanya
pada Yudi.
“Yud, baru tahu nih lau
jadi seorang salesman, tak kira lau penulis di majalah yang sering lau bawa”
“Iya, kebetulan setiap
hari, gw harus keliling nawarin majalah sains ini ke sekolah dasar negeri atau
swasta di sekitar Jakarta. Dan lagi dapat area Jakarta Timur, makanya sering
main ke sini.” Jawab Yudi.
“Tapi sekarang kan hari
libur, apa jangan-jangan hari ini kerja juga? soalnya tadi lau sibuk sekali
beres-beres majalahnya”, tanya saya lagi.
“Salesman jarang libur,
Jin. Hari ini gw disuruh Bos buat buka lapak buku di festival dekat Senayan. Kita kayak lagi berdagang aja. Tergantung
potensi pasar. Kalau ada penjualan dan pembelian dari pelanggan yang mendadak,
yah harus dilayani Jin. Jawab Yudi sambil menjelaskan.
“Misal begini, salesman
itu satu-satu nya tenaga kerja yang tidak bisa diganti mesin. Dia yang mencari
calon pelanggan dan memelihara pelanggan tetap”, pencari pasar bro”
“Komisi jadi sales tapi
gede kan? Sergah Pepe yang ternyata menguping daritadi.
“Ah sue, gw kan dagang
buku, bukan motor,mobil, atau rumah, ini soal pendidikan calon penerus bangsa
coy” kilah Yudi sambil bercerita.
Kami berdua
mendengarkan dengan seksama.
“Jadi ada cerita
menarik nih, kemarin itu, gw kunjungi ke salah satu sekolah dasar negeri daerah
pasar rebo. Nah, sebagai seorang sales, pertama-tama gw harus menyamar bukan
untuk menjadi pedagang, tapi pendengar dan pemberi harapan yang baik.”
“Seperti pemberi
harapan palsu pada mantan-mantan pacarmu mungkin?” tanya Pepe.
“Ah ganggu aja, gak
jadi cerita nih” ancam Yudi.
“Lanjut bro” saya pun
membela Yudi untuk melanjutkan ceritanya.
“Pertama, adalah sopan
sama penjaga pintu pertama nya, yaitu Satpam. Bagaimanapun dan dimanapun,
Satpam selalu ingin dihargai. Kalau suasana sudah cair dan diperbolehkan
bertemu orang yang ingin dituju, misalnya gw nih kan ingin bertemu Kepala
Sekolah, langsung saja ke ruangannya. Tapi itu tadi, jangan mengaku sales, apa
kek, jadi humas olimpiade, staf lomba sains atau apa lah.
Kedua, nih, disini ada
yang menarik. Waktu itu gw gak langsung maksa buat nawar anak muridnya
langganan majalah sains. Tapi cerita-cerita soal pendidikan di Indonesia hari
ini, kebutuhan belajar siswa yang baik seperti apa, kondisi dan keadaan
sekolahnya bagaimana? mutu dan kualitas gurunya berhubungan ga sama
kesejahteraannya. Mereka pekerja juga bro. Gw coba iseng bertanya, “Apakah
guru-guru punya hak berserikat….?” tiba-tiba Yudi berhenti bercerita
“lalu apa coy” Pepe
terlihat gak sabar.
“Begini, gw juga salah
bertanya, pada beliau. Mereka kan Pegawai Negeri Sipil, ditanya begituan, cuma senyum-senyum
aja. Gw gak ngerti maksudnya apa. Bahkan pas gw singgung keterkaitan dunia
pendidikan dan dunia pekerjaan, beliau cuma berharap anak didiknya sekolah yang
rajin sampai tingkat sarjana. Kalau dengar sarjana, jadi ingat lau lagi skripsi,
Pe, hehe.
“Dasar sue, lagian lau
udah jadi buruh dagang, pekerjaannya di sekitar pendidikan lagi. Sungguh tidak
senonoh.” Jawab Pepe asal.
“Setidaknya lau
berhasil menjual majalah nya ga?” tanya saya pada pertanyaan inti.
“Engga, sekolah negeri
di Jakarta ga boleh nerima penawaran barang apapun dari luar. Orang tua gak
boleh dikenakan pungutan tambahan.”
Pepe langsung tertawa
terbahak-bahak.
Saya diam saja. Saya
berfikir kalau Yudi di hari Mayday yang seharusnya libur ini harus masuk kerja
juga, saya jadi sendirian di kamar kosan.
Mereka tetap harus
bekerja disaat hari libur Mayday yang ternyata tidak berlaku bagi mereka
bertiga. Tapi tetap kami ber-empat sepakat untuk datang dan janjian ke
lokasi-lokasi tempat berbagai serikat buruh merayakan Mayday hari ini. Saya mencandai
Pepe dan Yudi,
“Jadi kalian ini buruh
atau bukan? Kok Mayday tidak ikut libur?”
“Lah lau Jin, aktifitas
lau apa hari ini”? tanya Pepe dan Yudi serempak.
“Aktifitas gw ini, (saya
mencoba meraih sesuatu di dalam tas yang bersebelahan dengan helm milik Pepe, sambil
menunjukkan beberapa amplop surat lamaran pekerjaan) kerjaan gw adalah lagi
mencari-cari pekerjaan.”
“Ah lau mah kebiasaan
Jin, hehe”. Yudi menyemangati sambil
menepuk-nepuk bahu saya.
Mungkin mereka bertiga
sudah menjadi seorang buruh. Walaupun begitu, kita yang sudah kurang lebih
empat tahun bersama berorganisasi sampai setelah lulus kuliah, masih diberi
kesempatan untuk merasakan momen Mayday bersama-sama.
“Jadi kita ber-empat
buruh atau karyawan?” tanya saya dengan bercanda.
“Kita? Elu engga kali,
kita ber-tiga baru iya, hehehe.” Jawab Pepe sambil tertawa iblis.
. ”Dasar Sue, oh iya Jupri kemana
yah? kok lama banget mandi nya”?
Kali ini pertanyaan dari saya tidak ada
yang menjawab.***
Referensi
[1] Author dalam
artikel 1 Mei 1886 Asal-Usul Mayday http//
www.bumirakyat.wordpress.com- Diakses 30 April 2016. Pkl. 22.00. Wib.
[2] Syarif Arifin dalam
artikel May Day, Hari Libur, dan Jam Kerja: Peringatan dan perayaan 1 Mei di
Indonesia dari 1918 hingga 2015 http//majalahsedane.org- Diakses 30 April 2016.
Pkl. 22.15.Wib