Sabtu, 21 Mei 2016

TINDAKAN KECIL, TINDAKAN BERNYALI BESAR





Judul   :                       Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan
Penulis :                       Steve Crawshaw, John Jackson
Penerjemah Bahasa:    Roem Topatimasang
Penerbit:                      INSISTPress
Tahun Terbit:               November, 2015
Tebal:                          13x19cm
xiv + 261 halaman   
   
Oleh: Rozi H.
Orang-orang akan mengingat peristiwa besar dengan perubahan yang terjadi sesudahnya.  Peristiwa tersebut tentunya selalu dicatat oleh sejarah untuk diketahui secara luas. Namun, sejarah seringkali lupa menceritakan bagaimana adanya tindakan kecil yang justru memantik lahirnya perubahan.

Itu karena perubahan selalu dimulai dari hal yang sederhana. Tidak percaya? Buku berjudul Tindakan-tindakan kecil perlawanan ini menjawab bagaimana sebuah perubahan-perubahan besar di dunia yang justru tidak bisa lepas dari peran sepele dan mungkin dianggap tidak berarti apa-apa.

Buku yang ditulis oleh Steve Crawshaw dan John Jackson dan diterjemahkan secara apik oleh Roem Topatimasang ini menceritakan delapan puluh cuplikan kisah berisi perjuangan yang dianggap biasa saja, namun memiliki efek luar biasa dari berbagai belahan dunia. Dimulai dari Serbia sampai Sudan,  Afganistan, bahkan sampai Zimbabwe. Kisah-kisah tersebut dirangkum dalam lima belas tema pokok, diantaranya mengenai kekuatan orang banyak, mengecoh maksud sebenarnya, memanfaatkan peluang olahraga, perempuan bilang “tidak!”, mengorganisir kesenian dan kekuatan satu orang.

TINDAKAN KECIL YANG BERARTI DAN DIANGGAP BIASA SAJA

Penulis buku ini sepertinya mengisyaratkan arti penting untuk bertindak, meskipun tindakan tersebut memiliki konsekuensi untuk dikenal banyak orang ataupun dilupakan sama sekali. Setiap tema pun diusahakan oleh penulis agar memiliki kesinambungan cerita yang membuat pembaca tidak akan kesulitan untuk menemukan rantai pesan dari tindakan kecil yang dimaksud penulis.

Seperti kisah mengenai peran dari kekuatan orang banyak, salah-satunya mengenai tindakan ramai-ramai warga mencuci kain kotor di depan umum, hanya untuk menyindir Presiden yang terkenal korup dan kejam saat berkuasa. Dia Alberto Fujimori, Presiden Peru yang berkuasa lebih dari satu dasawarsa yang dikenal sangat tidak merakyat. Pada bulan mei tahun 2000, setiap hari jumat sejak pukul tiga sore, ribuan orang selalu berkumpul di Plaza Mayor di pusat ibukota Peru, Lima. Kegiatan mereka hanya sederhana, mencuci bendera nasional yang berwarna merah-putih-merah. Tujuan gerombolan khayalak ini jelas, ingin mempertunjukan bahwa penguasa Peru dan bendera nasionalnya sudah sangat kotor.

Penguasa Peru menanggapi aksi massa tersebut dengan ancaman dan tekanan. Banyak yang mengusulkan agar para pelaku pencucian bendera nasional itu ditindak karena dianggap sebuah kegiatan teroris . Namun aksi protes mencuci kain kotor  terus menjalar ke seluruh negeri. Ratusan ribu warga bergantian mencuci kain yang diidentikan dengan bendera nasional Peru yang berakibat adanya peningkatan dari jumlah massa tersebut.

Lima bulan setelah aksi itu dimulai, Fujimori-Presiden Peru akhirnya mengisyaratkan diri untuk mundur melalui faksimile saat masih berada di Jepang. Pada tahun 2009, Fujimori yang dipulangkan dua tahun sebelumnya akhirnya dijatuhi hukuman penjara dua puluh lima tahun atas semua bukti mengenai korupsi dan tindakan kekerasan sampai pembunuhan terhadap semua lawan politik selama masa pemerintahannya. Tindakan mencuci kain kotor yang tidak diduga sebelumnya tersebut, kini membuahkan hasil. Bahwa bendera nasional Peru pun kini bersih.

Kisah tersebut merupakan sekian dari kisah tindakan kecil dan sederhana lainnya yang memuat pesan keberanian jika dilakukan bersama-sama. Lalu bagaimana bila tindakan kecil tersebut hanya dilakukan oleh satu orang.

Disini kelebihan penulis untuk mengimbangi makna tindakan kecil, yang justru benar-benar dilakukan oleh orang kecil dan dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa. Berbeda dengan cerita sebelumnya, yang memuat pesan politis dan dilakukan beramai-ramai. Tindakan kecil ini telah menyelamatkan banyak nyawa dan  hanya dilakukan oleh kekuatan satu orang!

Pembersihan etnis yang dikenal dengan kejahatan Genosida terjadi di Rwanda yang dimulai pada tanggal 6 April 1994. Kaum ekstrimis Hutu telah membantai 800.000 orang Tutsi dan orang-orang Hutu sendiri-yang berpikiran waras hanya dalam waktu tiga bulan, sementara pemerintah menolehkan muka ke arah lain dan menganggap sedang tidak terjadi apa-apa. Ketika para politisi dunia tidak bisa berbuat apa-apa, ada satu orang Rwanda yang seorang diri menyelamatkan 1.268 lelaki, perempuan dan anak-anak dari para pembunuh Hutu selama tiga bulan tersebut.  Dia adalah Paul Rusesabagina, Manajer Hotel Mille- yang kisahnya dibuat dalam film Hotel Rwanda, -dirinya harus berkali-kali menghadapi para pembantai dengan resiko nyawanya sendiri.

Tindakan Rusesabagina dalam menyembunyikan keberadaan dan identitas orang-orang tersebut diakuinya sebagai tindakan lumrah yang bahkan seorang biasa pun bisa melakukannya. Tindakan cepat yang dilakukan Rusesabagina berbarengan dengan kegagalan orang-orang asing yang berbondong-bondong datang yang awalnya untuk memecahkan masalah, malah menimbulkan masalah baru. Saat pembunuhan massal mulai terjadi, mereka yang selama ini sangat prihatin dengan keadaan di Rwanda sudah tidak terkejut lagi. Maka dengan keberanian dan kata-kata nya sendiri, Rusesabagina pun melakukan penyelamatan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia harus menempuh risiko terbunuh ketika menyelamatkan kawan, kenalan dan para tetangganya.

Sampai akhirnya Presiden Bill Clinton menyampaikan permohonan setengah maaf atas kegagalan pemerintahannya mencegah terjadinya pembantaian massal di Rwanda.

Sampai disini pembaca pasti akan merasa bingung, dimana letak heroiknya Rusesabagina dalam menyelamatkan orang-orang yang hampir dibunuh? Seperti yang dikatakan Rusesabagina, “ini adalah hal yang biasa saja, menyelamatkan nyawa orang lain”. Pesan tersirat penulis yang saya akui mengalami kesulitan merangkai sekelumit kisah kejahatan genosida di Rwanda tersebut adalah “keberhasilan kekuatan satu orang dibanding kekuatan  pemerintahan asing- pemerintahan Amerika.”
Melalui buku ini, kita diajak untuk mereflesikan kembali bagaimana semua hal itu berguna dan bermanfaat, tidak peduli seberapa besar dan seberapa kecil yang telah kita berikan. Di bagian inilah sebuah tindakan kecil pun tidak bisa dipisahkan dari sebuah kisah perubahan. Rezim yang runtuh, kebijakan pemerintah yang berubah dan hak asasi manusia yang diperjuangkan.  

Secara penulisan kualitas buku terjemahan ini sudah baik, namun beberapa kisah menurut hemat saya terlalu diringkas, sehingga kesan dan makna perjuangan orang biasa yang dianggap luar biasa pada akhirnya juga dianggapnya biasa. Kemungkinan hal itu berasal dari  kapasitas halaman yang dimuat dibatasi sepertinya, sehingga rangkaian cerita seperti terputus-putus.

Tetapi ilustrasi sampul buku yang menggambarkan seorang nenek yang menggenggam bendera sedang ditahan oleh aparat negara memiliki makna yang jelas sebelum pembaca lebih jauh membuka isi buku. Pada ilustrasi tersebut Nenek itu terlihat tidak punya rasa takut sama sekali. Makna ilustrasi ini jelas memprovokasi bahwa orang yang dianggap tidak punya kekuatan, lemah dan merasa kecil pun juga berani melakukan perlawanan.


Pada akhirnya buku ini wajib menjadi referensi bacaan untuk siapapun, bahwa memahami sebuah tindakan baik besar ataupun kecil tetap memiliki keberanian yang bernyali juga.*


*Sebelumnya tulisan ini sudah pernah dimuat di blog bilanglantangwordpres.com 

KOSWARA : BURUH HARUS MEMILIKI PARTAI POLITIK MILIKNYA SENDIRI


“Gerakan buruh sekarang harus mengkonsolidasikan diri membangun partai politik miliknya sendiri”. Ucapan tersebut keluar dari Koswara, Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN).


                                                                                        Foto: Koswara (kanan) 

Oleh: Rozi.H

Suatu keberuntungan, saya bisa bertemu dengan Koswara tepatnya pada hari selasa 4 April 2016 yang lalu. Saya memanggilnya dengan sebutan bung. saya bertemu dengan beliau berbarengan dengan pelaksanaan aksi ratusan massa dari serikat pekerja PLN (SP-PLN) di depan Istana Negara. Pada siang itu dengan  cuaca cukup cerah, Bung Koswara sedang beristirahat di dekat taman seputaran Istana. Bersama Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Bung Koswara ikut bersolidaritas dengan massa aksi SP- PLN. Beruntung bagi saya yang memang ditugaskan mencari dan mewawancarai Bung Koswara, tentunya langsung bertemu  di lapangan saat ini.

Perlahan saya duduk di sebelah Bung Koswara. Berbincang ringan dan menanyakan kabar, tidak langsung melemparkan pertanyaan bertubi-tubi, saya bukan wartawan profesional. Bung Koswara tersenyum sekilas. Sulit untuk menebak-nebak apakah Bung Koswara sedang lelah atau tidak di siang itu. Bagi Bung Koswara memperjuangkan nasib kaum buruh pastinya tidak mengenal kata lelah. Mungkin pengalaman memimpin massa aksi selama belasan tahun yang tetap membuatnya terus semangat memperjuangkan kehidupan kaum buruh.

Seperti yang kita ketahui, masalah mengenai kaum buruh selalu ada dimana-mana.  Upah layak, status kerja, kebebasan berserikat dan lain sebagaimana  kita dengar setiap kali gerakan buruh turun ke jalan. Semakin kuatnya  represifitas aparat negara untuk melindungi kebijakan  yang selalu ditolak oleh mayoritas gerakan buruh merupakan respon yang dilakukan negara saat ini. Maka buruh pun harus dikriminalisasikan bahkan sampai dipenjara. Ini saatnya momentum saya untuk membuka pintu pertanyaan  dengan Bung Koswara.

Saya pun memulai pertanyaan mengenai kriminalisasi dan tindakan represi terhadap  kaum buruh.

Senang bertemu dengan Bung Koswara. Apa kabar Bung?Akhir-akhir ini demonstrasi gerakan buruh semakin mendapat tekanan dari negara lewat kebijakan dan aparat yang melindungi pemerintah. Menurut Bung Koswara apa yang menyebabkan hal tersebut semakin sering terjadi?

Oh iya, kabar saya baik. Memang benar tekanan terhadap demonstrasi gerakan buruh sudah semakin besar. Ini tidak lepas dari semakin membesarnya gerakan buruh yang turun ke jalan untuk memperjuangkan haknya. Contohnya  dengan regulasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 merupakan paket kebijakan ekonomi kebijakan Jokowi-JK yang ditentang gerakan buruh menjelang akhir tahun 2015 kemarin, jelas aparat negara diperlukan untuk melindungi kebijakan ekonomi yang tidak pro buruh tersebut, jadi tidak heran bila represifitas dan bahkan kriminalisasi terhadap buruh dan setiap elemen gerakan sosial pendukungnya juga semakin kuat.

Bung Koswara mengatakan bahwa gerakan buruh yang turun ke jalan semakin besar, meskipun  tekanan yang dilakukan oleh negara juga tidak kalah besarnya. Bagaimana pendapat Bung Koswara? Apakah kondisi gerakan buruh benar-benar membesar saat ini atau sebaliknya, dengan posisi terus mendapat represifitas dan kriminalisasi oleh aparat negara?

Saya harus akui gerakan buruh yang ada sekarang, meskipun membesar dalam jumlah massa aksi yang terlibat, tapi tidak menyatukan jumlah serikat buruh yang ada sekarang, dengan jumlah serikat buruh yang semakin banyak, tetapi bisa dikatakan serikat buruh yang ada belum menyatu untuk menjadi sebuah persatuan gerakan buruh yang solid. Regulasi semacam PP 78 yang lebih ke arah Neoliberal dan tidak memihak kaum buruh, seharusnya menjadi sebuah konsolidasi gerakan buruh untuk bersatu dan melawan.
Hari ini memang gerakan buruh terlihat terkotak-kotak. Misal soal eksistensi pimpinan serikatnya, siapa jumlah massa nya paling besar, gerakan buruh yang hanya berkutat pada persoalan ekonomi saja, tapi buat kami hal itu sebenarnya bukan persoalan pokok yang menghambat persatuan gerakan. Persoalan yang harus dibangun adalah menyiapkan wadah politik alternatif yang menjadi kendaraan politik untuk memperjuangkan kaum buruh.

Wadah politik alternatif? Bisa dijelaskan lebih jauh perlu nya wadah politik yang alternatif bagi kaum buruh?

Baik, saya akan pindah posisi tempat duduk ke arah yang lebih jauh di sana.

Haha, Bung Koswara bisa saja. Maksudnya penjelasan mengenai lebih mendalam tentang apa bentuk yang ideal dan pentingnya wadah politik alternatif bagi kaum buruh?

Iya, selama ini gerakan buruh dengan massa yang semakin banyak untuk menuntut hak-hak normatif kaum buruh seperti upah layak, memang harus selalu diperjuangkan. Namun gerakan buruh yang menuju pembesaran harus bergerak yang tidak melulu memperjuangkan hak normatif atau berkutat pada isu ekonomi saja.
Energi dan semangat yang besar jangan berhenti pada gerakan ekstraparlementer saja. Perlu sebuah wadah politik dalam artian “PARTAI POLITIK” sebagai alat yang mempengaruhi kebijakan negara. Gagasan yang kami tawarkan adalah bagaimana gerakan buruh mengkonsolidasikan diri dan memiliki partai politik miliknya sendiri. Bukan mendompleng sebagian anggota nya untuk masuk dengan partai-partai politik yang tidak pro buruh sekarang.

Menarik sekali gagasan Bung Koswara, lalu bagaimana maksud dengan tidak mendompleng dengan partai-partai politik yang ada sekarang?

Kami menyebutnya sebagai partai politik alternatif milik sendiri sebab partai politik yang benar-benar mengakomodir kepentingan kaum buruh harus dibangun dengan kepemilikian bersama dengan model dari bawah ke atas. Bukan dari atas ke bawah, seperti partai politik milik pengusaha dan elit politik tertentu, sehingga kepemilikan dan kepemimpinan yang dibangun sesuai dengan kepentingan kaum buruh bersama-sama.
Maka tidak perlu anggota-anggota serikat kita yang harus menyebar dan mendompleng pada partai politik berideologi borjuis yang ada sekarang, itu bukan partai politik mereka. Mereka akan mudah dikendalikan.Oleh sebab itu gerakan buruh sekarang harus mengkonsolidasikan diri membangun partai politik miliknya sendiri.

Sebagai langkah awal untuk menyampaikan gagasan altenatif dan konsolidasi yang  terus berlanjut, apa saja yang akan dilakukan Konfederasi Serikat Nasional (KSN) menjelang satu mei hari buruh internasional yang jatuh pada hari minggu nanti.

Tentunya Konfederasi Serikat Nasional (KSN) sendiri sedang berkonsolidasi di masing-masing keanggotaan basis federasi di daerah-daerah seperti, Sumatera Barat, Sumatera  Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dan daerah lainnya.
Tema besar yang kami suarakan diantaranya, lawan politik kapitalisme, tolak privatisasi aset-aset vital milik negara, contohnya hari ini kita sudah memulai bersolidaritas dengan SP-PLN, dan tentunya seruan buruh harus memiliki partai politiknya sendiri. Tapi diluar hal tersebut, kita tetap memperjuangkan kebutuhan normatif ekonomi yang juga dirasakan mayoritas rakyat hari ini seperti upah layak, kebebasan berserikat, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.
Kami akan memulai aksi serentak di masing-masing daerah pada tanggal 15 April sampai 29 April dan puncaknya pada tanggal 2 mei 2016. Aksi mei day serentak tahun ini kita barengi dengan hari pendidikan nasional.
***

Cuaca di siang itu berubah lebih sejuk. Bung Koswara pun sejenak meminum air mineral kemasan yang sedang dipegangnya dari tadi. Nama Bung Koswara terdengar dari mobil komando aksi hari ini. Bung Koswara segera bersiap melakukan orasi solidaritas dari Konfederasi Serikat Nasional (KSN). Saya mengucapkan terima kasih Sebelum Bung Koswara beranjak pergi menuju mobil komando aksi.

Terima kasih bung atas waktu dan tempatnya, kita pasti akan bertemu lagi dengan perjuangan yang sama tentunya.


Siap, terus tetap semangat yah.* 

Minggu, 01 Mei 2016

RUMPI KALA MAYDAY


Ini May day is my day.

Hari buruh sedunia. Hari nya kelas pekerja di seluruh dunia. Satu mei 1886, perjuangan buruh sudah dimulai dan akan terus  berlangsung. Bumi Amerika, pada waktu itu sedang bergejolak. Ratusan ribu buruh bersatu dalam berbagai serikat buruh, bahkan  bisa lebih lagi. Salah satunya adalah Knights of Labour. Mereka mengorganisir diri melakukan aksi demonstrasi. Tuntutan mereka adalah mengurangi jam kerja. Bayangkan dengan 12 sampai 16 jam kerja, setiap tetes keringat buruh diperas untuk bekerja, sementara sang majikan (sang pemilik modal) terkutuklah, dia sedang asyik duduk-duduk menghitung laba. Tuntutan ini mengemukakan pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Sehingga dalam sehari ada 8 jam kerja, 8 jam istirahat/rekreasi dan 8 jam untuk tidur. [1]

Dokumentasi Aksi Konfederasi Serikat Nasional:2013


Oleh: Rozi H.
Lalu apakah pengurangan jam kerja di tahun itu berhasil? Oh tidak coy. Pengakuan 8 jam kerja tidak pada tahun 1886, tepatnya setelah peristiwa Haymarket. Apa itu Haymarket? Peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 4 mei 1886 di Chicago,Illinois yang berkaitan dengan pemogokan menuntut 8 jam kerja oleh gerakan buruh tadi.

Peristiwa Haymarket adalah peristiwa pembantaian-lebih tepatnya penembakan membabi-buta oleh polisi kepada para buruh yang melakukan aksi mogok. Justru peristiwa Haymarket yang ditetapkan sebagai hari solidaritas internasional pada tahun 1889, merupakan rangkaian dari “Gerakan Pengurangan Jam Kerja dan Gerakan Delapan Jam Kerja” yang menuntut pengurangan jam kerja, melarang buruh anak atau pembatasan usia kerja, kondisi kerja yang aman, serta kenaikan upah yang lebih layak .[2]

Sejarah panjang tersebut yang melatari dan menginspirasi kisah dan perjuangan buruh internasional di seluruh dunia.

Lalu bagaimana di Indonesia?

Indonesia baru mengakui 8 jam kerja dan menetapkan 1 Mei sebagai hari libur tanpa pengurangan upah, serta larangan buruh anak dibawah umur, dan lain-lainnya pada tanggal 15 April 1948 melalui UU Kerdja di Era Presiden Soekarno.

Namun semua berubah di zaman Megawati. Pengakuan 1 Mei sebagai hari libur di masa Kemerdekaan, otomatis dicabut dengan adanya UU Ketenagakerjaan  Nomor 13 Tahun 2003. Eh kok gitu sih? Megawati kan putrinya Soekarno? tetapi dengan dikeluarkannya Keppres 24 Tahun 2013, mulai tanggal 1 Mei 2014, di tanggal tersebut baru lah ditetapkan sebagai hari libur nasional. 

Apakah Buruh benar-benar libur? semua berubah sejak negeri api menyerang. Negeri api itu bernama Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, ada pelarangan hari buruh di Indonesia. Bahkan terminologi kata buruh dibuat ambigu oleh mbah piye kabare,-bonyok mukelu toh. Buruh diklasifikasi sebagai kelas pekerja golongan kasta bawah, yang hanya bekerja di Pabrik-Pabrik. Lalu untuk mereka yang tidak bekerja di Pabrik, misalnya di kantor yang bos nya galak bagaimana bro? Gue disebutnya Karyawan gitu loh, catet, Karyawan!

Sampai akhirnya Buruh dan Karyawan dianggap berbeda. Padahal sama, sama-sama berada dalam relasi kerja-upahan.

*****

Dan pada akhirnya kita ber-empat harus bingung disebut Buruh atau Karyawan?


Lagi nonton apa Bro??
                         

1 Mei 2016, bertepatan pada hari minggu, berbagai serikat buruh tetap mengekspresikan hari buruh internasional. Massa buruh yang tumpah bisa mencapai ratusan ribu, bahkan bisa lebih lagi. Tuntutan masih sama: menolak outsourcing dan sistem kerja kontrak, menolak upah murah, menolak pemberangusan serikat, menuntut perlindungan sosial yang layak, menolak privatisasi asset negara dan yang paling manjur tentu saja melawan ekonomi kapitalisme.

Di luar persoalan sehari-hari tersebut, isu yang diperjuangkan buruh juga bisa bergerak, yang tidak hanya memperjuangkan isu normatif saja. Ada terobosan serikat buruh di wilayah DKI Jakarta berjuang bersama nelayan dan kaum miskin kota menolak reklamasi teluk Jakarta. Atau menyuarakan persoalan pendidikan yang masih dikomersialisasikan oleh Negara. Bahkan mendeklarasikan sebuah organisasi massa persatuan menjadi organisasi politik yang bertujuan menjadi partai politik tentunya. Belum lagi gelombang tuntutan pembebasan buruh yang masih dikriminalisasi oleh Negara setelah buruh melakukan aksi penolakan PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, akhir tahun kemarin.

Lalu bila Buruh bergerak dari masalah yang terus bergerak, terus?

Cuma kami ber-empat yang belum bergerak di kamar kos-kosan.

Ada kita ber-empat, Pepe, Yudi, Jupri dan tentunya saya sendiri. Kos-kosan kami terletak di Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta selatan. Kos-kosan disini berada dalam bangunan lantai 2, dengan luas kamar masing 4 x 3 meter. Kamar kami berada  di sebelah kiri di kamar yang ketiga. Total ada 7 kamar di lorong yang terletak di lantai 2 tersebut. Sebelah kiri ada 4 kamar, sebelah kanan ada 3 kamar. Kamar mandi di luar, kecuali kalau Pepe ingin kamar mandi di dalam, maka tempat tidurnya ditaruh diluar.

Kamar kosan kami masih kelihatan gelap. Pepe masih tidur sambil memeluk helm ojek-online nya. Jupri sedang asyik membolak-balik kamera tustel miliknya, lalu Yudi masih menimang-nimang majalah anak-anak dari tempat kerja nya. Saya hanya mencoba menyalakan lampu kamar, dan melemparkan tanya.

“Bro, Mayday nih, ikut aksi bareng apa kita di hari ini?”

Hanya Jupri yang menyahut, Yudi masih kebingungan mencari sesuatu dan Pepe mulai membuka mata nya melihat jam dinding.

“Aksi lah, sekalian kerja gw, hehe.”

Jupri ini memang seorang jurnalis. Keterampilan memotret dan menulisnya di atas rata-rata. Jupri bekerja di salah satu Perusahaan Media. Setiap hari Jupri ditargetkan untuk memotret setiap peristiwa yang bisa dijadikan bahan berita. Dalam hal ini pekerjaan Jupri sebagai pencari berita foto. Jupri sih kelihatannya enjoy saja. Tapi tetap saja saya merasa perlu bertanya.

Bayangkan Jupri harus mencari berita di hari libur ini? Jupri memang pernah bilang, menjadi pekerja Media, jam kerja nya tidak beraturan. Jupri senang-senang saja kalau kita memanggilnya “Buruh foto atau Buruh tulis”. Tapi  teman-teman satu kantornya belum tentu.

Saya belum pernah mencoba berdiskusi soal upah yang dia terima. Waktu itu Jupri hanya cengengesan menceritakan upah yang diterimanya

“Jup, gaji di perusahaan lau berapa coy perbulan?”

“perbulan? gw masih dibayar per-foto. Mungkin kalau per-tulisan, dibayar dua lima sampai tiga puluh-ribu per tulisan. Ini media cetak berbentuk koran. Sehari diminimalin buat tiga tulisan, terus..”

“Terus apa Jup?”

“Terus gak mudah lah bikin tulisan yang dijadiin berita. Kalau koran standar lolos dari meja redaksi nya ketat banget. Belum tentu dari lima berita yang kita bawa, semuanya lolos dari "meja redaksi, malah bisa cuma satu berita saja.”

“Wow”

“Wow apa?” “ pekerja jurnalis memang begitu standar buat orang baru di banyak tempat, Jin. Yah syukur aja sih buat nambah-nambah ongkos kuliah dan patungan bayar kos-kosan. Sudah yah mau mandi dulu nih, nyari berita mayday”. ucap Jupri sambil terburu-buru keluar kamar kosan.

“Hebat lau Jup, Buruh meliput berita Buruh” hehehe.

Jupri memang masih kuliah, sama seperti Pepe. Bedanya Pepe sudah semester tingkat akhir tak berujung- yang berarti bisa semester berapa saja. Jupri masih semester tujuh. Hanya Yudi dan saya yang sudah lulus kuliah.

Tiba-tiba Jupri balik lagi

“Gayung di kamar mandi kok gak ada, dimana yah?” tanya Jupri

Saya pun membantu Jupri mencari gayung yang hilang. Terlihat Yudi sudah tidak sibuk lagi mencari-cari sesuatu di tumpukan majalah  miliknya. Malah Yudi yang menemukan gayung yang hilang.

“Ini nih, gayungnya di belakang helm nya Pepe” teriak Yudi.

“Apaan sih, ganggu orang tidur aje” jawab Pepe

“Abisnya gayung diumpetin, di belakang helm ojeg-online punya lau tuh”

“hehehe”, Pepe malah nyengir sambil merem.

Jupri langsung mengambil kembali gayung kamar mandi, tadinya Jupri mau balik mengerjai Pepe dengan mengambil helm sebagai pengganti gayung. Tidak bisa dibayangkan bila Pepe sedang naik motor, helm nya diganti gayung.

Pepe yang sudah melihat jam dinding, dimana waktu menunjukan pukul 11 siang, langsung bergegas bangun. Meminta Yudi dan saya untuk menggeser tempat duduk. Dengan kasur yang kami pakai bersama-sama, otomatis kami terkadang saling berhimpitan satu sama lain. Pepe merasa menang.

“Mayday nih, buru-buru ngojek ah”

“Gak ngerjain skripsi, mumpung lagi libur bro?” tanya Yudi.

“ Ojekers tuh ga pernah libur coy” timpal Pepe.

“Maksudnya bagaimana Pe?” sergah saya cepat-cepat.

“Kalau gak ngojeg, ga bisa dapat uang dong.” Timpal Pepe lagi

“Kalau libur dulu, tetap di gaji kan sama Ojeg-online nya?” tambah Yudi”.

“Ndasmu!! Kita cuma kemitraan doank. Tetap saja hitungannya per-pelanggan.”

Yudi hanya tersenyum mesum mendengar jawaban Pepe. Yah memang sulit menjadi ojekers-online seperti Pepe. Ditengah persaingan bisnis aplikasi yang semakin ketat. Pepe harus semakin rajin mencari pelanggan-itu berarti harus sering-sering melototi layar handphone nya. Belum lagi status kerja seperti Pepe yang masih dianggap kemitraan.

Kerja yah monggo, gak kerja maka gak dapat uang dan dianggap berhenti. Saya kembali iseng bertanya.

“Mitra nya kan banyak Pe, ribuan ada kan di Jabodetabek aja? Gak demo kantor nya buat penjelasan status kerja atau apalah?“

“Kita solid mah tetep bro, tapi ampun deh kalau harus melawan kebijakan kantor ojeg-online. Gw paling gosip aja sama mereka di grup whatsapp”.

“Ah paling lu chattingan sama perempuan yang pernah jadi pelanggan lu kali?”

“Iye sih, hehe” cengir Pepe .

Berarti Jupri dan Pepe akan tetap bekerja di momentum Mayday kali ini. Semoga saya tidak sendirian di kamar kosan hari ini. Sekilas saya hanya menikmati pemandangan langit-langit kamar. Di sudut ruangan yang pengap ini, sarang laba-laba bergelantungan ke sana-kemari. Sungguh bila salah satu dari kami digigit laba-laba bersamaan, pertanyaannya adalah siapa yang akan pertama kali jadi spider-man.

Kami tidak bisa berubah jadi Spider-man. Pandangan saya langsung tertuju pada tumpukan majalah anak-anak milik Yudi.

“Yud, lau sekarang hobi mengoleksi majalah anak-anak yah”? sembari saya melihat isi majalah tersebut.

“Loh majalah sains, untuk anak Sekolah Dasar? Lau kan lulusan ilmu politik kayak kita coy”? tanya saya penuh heran

“Iya Jin, gue kerja di majalah sains jadi sales”. Jawab Yudi.

“Jadi sales? Lulusan ilmu politik kok jadi sales? Hahahaha , Pepe mendadak tertawa.

Momen itu datang. Yudi pun langsung memasukkan gulungan kertas dari sobekan di salah satu majalahnya ke mulut Pepe yang terbuka lebar.

Yudi ternyata seorang sales. Dia lebih suka dipanggil salesman dibanding saleswoman. Selama ini kami memang jarang memperhatikan Yudi. Yudi pun juga jarang ke kosan.

Saya lagi-lagi bertanya pada Yudi.

“Yud, baru tahu nih lau jadi seorang salesman, tak kira lau penulis di majalah yang sering lau bawa”

“Iya, kebetulan setiap hari, gw harus keliling nawarin majalah sains ini ke sekolah dasar negeri atau swasta di sekitar Jakarta. Dan lagi dapat area Jakarta Timur, makanya sering main ke sini.” Jawab Yudi.

“Tapi sekarang kan hari libur, apa jangan-jangan hari ini kerja juga? soalnya tadi lau sibuk sekali beres-beres majalahnya”, tanya saya lagi.

“Salesman jarang libur, Jin. Hari ini gw disuruh Bos buat buka lapak buku di festival dekat Senayan.  Kita kayak lagi berdagang aja. Tergantung potensi pasar. Kalau ada penjualan dan pembelian dari pelanggan yang mendadak, yah harus dilayani Jin. Jawab Yudi sambil menjelaskan.

“Misal begini, salesman itu satu-satu nya tenaga kerja yang tidak bisa diganti mesin. Dia yang mencari calon pelanggan dan memelihara pelanggan tetap”, pencari pasar bro”

“Komisi jadi sales tapi gede kan? Sergah Pepe yang ternyata menguping daritadi.

“Ah sue, gw kan dagang buku, bukan motor,mobil, atau rumah, ini soal pendidikan calon penerus bangsa coy” kilah Yudi sambil bercerita.

Kami berdua mendengarkan dengan seksama.

“Jadi ada cerita menarik nih, kemarin itu, gw kunjungi ke salah satu sekolah dasar negeri daerah pasar rebo. Nah, sebagai seorang sales, pertama-tama gw harus menyamar bukan untuk menjadi pedagang, tapi pendengar dan pemberi harapan yang baik.”

“Seperti pemberi harapan palsu pada mantan-mantan pacarmu mungkin?” tanya Pepe.

“Ah ganggu aja, gak jadi cerita nih” ancam Yudi.

“Lanjut bro” saya pun membela Yudi untuk melanjutkan ceritanya.

“Pertama, adalah sopan sama penjaga pintu pertama nya, yaitu Satpam. Bagaimanapun dan dimanapun, Satpam selalu ingin dihargai. Kalau suasana sudah cair dan diperbolehkan bertemu orang yang ingin dituju, misalnya gw nih kan ingin bertemu Kepala Sekolah, langsung saja ke ruangannya. Tapi itu tadi, jangan mengaku sales, apa kek, jadi humas olimpiade, staf lomba sains atau apa lah.
Kedua, nih, disini ada yang menarik. Waktu itu gw gak langsung maksa buat nawar anak muridnya langganan majalah sains. Tapi cerita-cerita soal pendidikan di Indonesia hari ini, kebutuhan belajar siswa yang baik seperti apa, kondisi dan keadaan sekolahnya bagaimana? mutu dan kualitas gurunya berhubungan ga sama kesejahteraannya. Mereka pekerja juga bro. Gw coba iseng bertanya, “Apakah guru-guru punya hak berserikat….?” tiba-tiba Yudi berhenti bercerita

“lalu apa coy” Pepe terlihat gak sabar.

“Begini, gw juga salah bertanya, pada beliau. Mereka kan Pegawai Negeri Sipil, ditanya begituan, cuma senyum-senyum aja. Gw gak ngerti maksudnya apa. Bahkan pas gw singgung keterkaitan dunia pendidikan dan dunia pekerjaan, beliau cuma berharap anak didiknya sekolah yang rajin sampai tingkat sarjana. Kalau dengar sarjana, jadi ingat lau lagi skripsi, Pe, hehe.

“Dasar sue, lagian lau udah jadi buruh dagang, pekerjaannya di sekitar pendidikan lagi. Sungguh tidak senonoh.” Jawab Pepe asal.

“Setidaknya lau berhasil menjual majalah nya ga?” tanya saya pada pertanyaan inti.

“Engga, sekolah negeri di Jakarta ga boleh nerima penawaran barang apapun dari luar. Orang tua gak boleh dikenakan pungutan tambahan.”

Pepe langsung tertawa terbahak-bahak.

Saya diam saja. Saya berfikir kalau Yudi di hari Mayday yang seharusnya libur ini harus masuk kerja juga, saya jadi sendirian di kamar kosan.

Mereka tetap harus bekerja disaat hari libur Mayday yang ternyata tidak berlaku bagi mereka bertiga. Tapi tetap kami ber-empat sepakat untuk datang dan janjian ke lokasi-lokasi tempat berbagai serikat buruh merayakan Mayday hari ini. Saya mencandai Pepe dan Yudi,

“Jadi kalian ini buruh atau bukan? Kok Mayday tidak ikut libur?”

“Lah lau Jin, aktifitas lau apa hari ini”? tanya Pepe dan Yudi serempak.

“Aktifitas gw ini, (saya mencoba meraih sesuatu di dalam tas yang bersebelahan dengan helm milik Pepe, sambil menunjukkan beberapa amplop surat lamaran pekerjaan) kerjaan gw adalah lagi mencari-cari pekerjaan.”

“Ah lau mah kebiasaan Jin, hehe”. Yudi menyemangati  sambil menepuk-nepuk bahu saya.

Mungkin mereka bertiga sudah menjadi seorang buruh. Walaupun begitu, kita yang sudah kurang lebih empat tahun bersama berorganisasi sampai setelah lulus kuliah, masih diberi kesempatan  untuk merasakan momen Mayday bersama-sama.

“Jadi kita ber-empat buruh atau karyawan?” tanya saya dengan bercanda.

“Kita? Elu engga kali, kita ber-tiga baru iya, hehehe.” Jawab Pepe sambil tertawa iblis.

. ”Dasar Sue, oh iya Jupri kemana yah? kok lama banget mandi nya”?

 Kali ini pertanyaan dari saya tidak ada yang menjawab.***

Referensi
[1] Author dalam artikel  1 Mei 1886 Asal-Usul Mayday http// www.bumirakyat.wordpress.com- Diakses 30 April 2016. Pkl. 22.00. Wib.


[2] Syarif Arifin dalam artikel May Day, Hari Libur, dan Jam Kerja: Peringatan dan perayaan 1 Mei di Indonesia dari 1918 hingga 2015 http//majalahsedane.org- Diakses 30 April 2016. Pkl. 22.15.Wib