Selasa, 17 September 2019

LAKI-LAKI YANG LELAH UNTUK MENANGIS


Setiap pria mampu memanipulasi keadaan. Hanya saja urusan hati adalah persoalan lain.

(sumber: duniaku.idntimes.com)

Oleh : Rozi Hariansyah

Kondisi sekitar kampus yang terletak di pinggir jalan lenteng agung, Jakarta Selatan itu mendadak ramai. Tidak tahu siapa yang memulai, rombongan mahasiswa masuk menyerbu di depan pintu gerbang. Kira-kira tiga puluhan. Mereka rombongan dari berbagai kampus di Jakarta. Almamater yang mereka pakai berwarna-warni. Ada yang merah, hijau , kuning dan abu-abu. Kilauan matahari pada sore itu tidak bisa membohongi lagi, dari air muka mereka yang marah dengan beberapa mahasiswa yang tidak mau diajak aksi lagi.

Lanjutan demo dua jam sebelumnya, telah membuat macet jalan dari arah Depok yang mau ke arah Jakarta itu. Mereka menegaskan keinginan  untuk tetap jalan longmarch sambil mengajak mahasiswa dari kampus lain demi demo bareng. Penolakan  dari kampus kita untuk lanjut dengan aksi pada sore itu berbuah petaka. Kampus kita diserbu mahasiswa tak kenal (MTK).

Sementara itu saat yang lain sedang baku hantam, Opan seorang mahasiswa jurusan kesejahteraan sosial, sedang asyik memadu kasih dengan pacarnya. Apa yang menarik dari perempuan berlesung pipi dan berambut kepang seperti tarikan delman tersebut? hanya Opan yang tahu.

Opan masih cemas saat melihat dari kejauhan ketika suasana makin keos di depan pos satpam. Sudah saling lempar-lemparan batu. Meski jaraknya ratusan meter dari tempat Opan dan pacarnya, Mahasiswa angkatan 2009 itu tetap saja khawatir. Sambil duduk bersila dan berhadapan. Tatapan mata Opan tak membiarkan pacarnya itu beranjak. Kecuali tiba-tiba ada suara yang tak asing.

Sesosok manusia yang lewat tiba-tiba mengagetkan Opan. Dia adalah Ojin, mahasiswa jurusan ilmu politik angkatan 2010. Dia mengajak Opan untuk ikutan lempar-lemparan dengan apapun itu, untuk mengusir mahasiswa asing tersebut. Opan hanya mempersilahkan Ojin yang ingin bergegas ke depan pintu gerbang. Sepintas Opan heran, Ojin malah berbelok langkahnya ke arah kantin.

Pandangan Opan kembali ke pacar. Membalas dengan senyum sejenak. Kali ini sepasang mata pacar membalas tatapan Opan dengan seksama. Berharap punya kekuatan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Mungkin periode selama enam bulan adalah waktu yang tepat untuk membicarakan hal yang benar-benar serius.

Suasana suram di depan kampus memberi jawaban. Pertanda yang tidak baik bagi Opan. Ia tidak menyangka dalam suasana menjadi pelindung ini, pacar malah tega-teganya minta putus karena lain hal. Bagai petir yang disambar oleh Gundala, Opan hanya bertanya, “mengapa?”.

Yang kita tidak tahu adalah selama ini Opan terlalu posesif dengan pacar. Cemburu yang keterlaluan. Bahkan tidak rela kalau dekat-dekat dengan laki-laki lain yang kebetulan sedang satu tugas kelompok. Pacar meninggalkan Opan. Pergi menjauh menaiki tangga ke belakang gedung dekat perpustakaan. Menghindari tawuran di depan kampus atau berpaling dari Opan?

Opan hanya berharap semua ini adalah ilusi optik tipuan dari penyihir manapun. Saat menghadapi kenyataan, ia berlari menghampiri mahasiswa yang sedang ribut-ribut. Opan tak tahu mana kawan mana lawan yang mesti diserang. Pikirannya kalut. Batang kayu tergeletak dipungut dan dilempar begitu saja. Tidak kena siapa-siapa.

Opan berjanji untuk pindah jurusan kuliah tahun depan agar tidak ketemu pacarnya lagi.

**
Sementara itu kantin kampus mendadak ramai. 

Tempat duduk berwarna hijau melingkar itu terlihat kepenuhan. Kaki-kaki orang yang sedang duduk pun tidak terlihat dengan orang-orang yang berdiri dan bersiaga. Suasana di depan kampus yang membuat ini semua. Uboy jadi kerepotan.

Mahasiswa angkatan 2011 jurusan Ilmu Administasi ini lagi sibuk-sibuknya. Antrian panjang untuk membeli sesuatu, dengan sigap dilayani oleh Uboy. Ada saja yang Beli pop mie. Air kemasan tinggal sedikit, dan dua perempuan yang tak sabaran menunggu temannya untuk beli jepitan rambut. Uboy hanya geleng-geleng kepala saat ada mahasiswa yang celingak-celinguk mencari sesuatu. Padahal buku kuliah pengantar ilmu komunikasi yang sedang dicarinya itu tepat persis di depannya.

Sibuk bukan jadi alasan Uboy untuk tidak semangat sambil kuliah. Uboy merupakan salah satu mahasiswa yang beruntung karena berkuliah mendapat beasiswa. Hanya saja sebagai balas jasa, Uboy mesti tetap tinggal di wisma kampus (tempat tinggal untuk mahasiswa) dan menjaga kantin.

Saat ini mata Uboy sibuk mencari. Khawatir dia kena dampak tawuran yang sedang di depan pintu gerbang. Siapa dia? Kerumunan orang-orang di kantin ini masih mengganggu Uboy. Tetapi ada sesosok perempuan yang tidak sengaja senyum kea rah Uboy.

Perempuan dengan senyum biasa saja namun memiliki bulu mata yang lentik itu sepertinya sudah mengalihkan kantin. Uboy tak bisa berpaling setiap ada dia. Kadang kalau perempuan berjilbab itu lagi nongkrong sama teman-temannya, Uboy suka curi-curi pandang. Kali ini dia sendirian sedang duduk memandangi lapangan bola. Kesempatan buat Uboy. Bolehkah laki-laki bila duduk berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya?

Uboy tahu batas. Lagipula Uboy masih harus  tetap berjaga di sini. Perempuan itu sebenarnya sudah sering diajak pergi bareng oleh Uboy. Ke Perpustakaan, mampir ke taman seberang kampus ataupun makan bersama di warung restoran bertulis “Selera Minang”.

Sudah tiga bulan sejak pendekatan itu. Adalah waktu yang tepat untuk membicarakan ini semua. Uboy sayang dia. Rasa yang tak bisa ditahan lagi mengalahkan keadaan ramai di kantin. Uboy harus bergegas menghampiri dia.

Ketika ada temannya yang bernama Ojin sedang teriak kencang, “Beli-Beli”, Uboy sudah meminta tolong ke Saepudin untuk berjaga sementara waktu.

Harapan untuk bisa berbicara dari hati ke hati mendadak sirna. Ucapan itu sudah terlanjur terlontar. Dia menjauh. Ada apa? Uboy kaget. Terdengar semakin sedih saat dia bilang, “kita selama ini hanya teman, maafkan aku”. Seolah obrolan yang tadinya mengalir begitu saja tiba-tiba tersendat. Ramai terasa, tetapi hati terasa sunyi.

Biarlah lambaian dedaunan pohon bambu ini mengisyaratkan Uboy untuk tetap tenang. Tak mungkin seorang pria yang sering mengaji dan tidak lalai salat lima waktu ini berpusing hanya karena ditolak oleh seorang wanita.

Namun fakta mengatakan sebaliknya. Ada air mata antara kena debu yang berterbangan di pinggir lapangan bola atau karena kenangan tentang dia?
**
Situasi di depan pintu gerbang kampus perlahan kondusif. Satpam yang sedari tadi sibuk mengusir mahasiswa nekat menerobos kampus yang bukan tempat belajarnya itu, akhirnya bisa melunakan otot-ototnya sejenak. Bala bantuan dari dalam, terutama mahasiswa yang terusik dengan demo-demo akhirnya berakhir tenang. Orang-orang di pos satpam pun bisa mengambil napas sejenak.

Mengambil seribu meter dari depan pintu gerbang, arah kondisi jalan raya yang mengarah ke Jakarta tetap saja macet. Pepe masih mendorong sepeda motornya yang tiba-tiba mogok. Sembari mengingat apakah sudah isi bensin tadi siang barangkali, dia menghubungi pacarnya yang masih di dalam kampus.

Pepe khawatir kalau pacar kena ribut-ribut yang sedang berlangsung. Hari ini sebenarnya mahasiswa jurusan ilmu politik angkatan 2010 tersebut ingin menjemput pacar yang habis kuliah. Pacar Pepe angkatan 2008, memang lebih tua empat semester. Tetapi buat Pepe tidak masalah kalau punya pacar lebih senior.

Beriringan dengan rasa khawatir kondisi pacar di dalam kampus, Pepe terus menelepon pacar. Pepe tahu sedang ada huru-hara di depan kampus. Berhenti sejenak. Tangan sebelah kanannya tak henti-henti memantau layar Hp. Bagaimana kabar pacar?

Orang-orang yang ikutan kena macet hanya bisa membunyikan klakson saat Pepe masih berhenti untuk memastikan pacar mengangkat teleponnya. Sepeda motor Supra Fit nya hampir saja ditabrak dengan sengaja oleh orang di belakang. Pepe sangat kesal sekali. Perjalanan sampai kampus masih jauh.

Tiba-tiba Hp Opan berbunyi. Ternyata Ojin yang memberi pesan singkat. Kata Ojin tidak perlu ke kampus, daripada sakit hati.

Pepe bingung. Bisa-bisanya Ojin kasih pesan yang isinya serius. Biasanya tidak ada yang penting dari pesan yang selalu disampaikan oleh kawan satu angkatannya tersebut. Hanya saja pesan yang dikirim oleh Ojin tidak hanya teks, tetapi juga dengan foto yang membuat Pepe kaget.

Pacar sedang berduaan dengan laki-laki lain. Sudah enam ratus meter dari lokasi titik Pepe mendorong motor, rasanya Pepe ingin membanting saja sepeda motor yang lagi mogok itu. Apa yang kamu rasa kalau pacarmu sedang asyik berduaan dengan MANTANnya? sebuah pertanyaan tepat untuk menembus ulu hati setiap laki-laki yang keterlaluan kuat manapun.

Sebelumnya Pepe selalu diperingatkan Ojin untuk mencari wanita yang lain saja. Tidak apa-apa yang senior juga. Hanya saja selama ini Pepe menganggap Ojin hanya bergurau. Dia selalu mengirimi pesan berbentuk foto beberapa artis perempuan tahun 1990-an ke Hp milik Pepe. Memperingatkan bahwa potensi selingkuh ke Mantan lebih besar dari apapun.

Ojin benar, selama ini Pepe terlalu kena ilusi untuk memacari perempuan yang lebih senior. Barangkali Pepe hanya dijadikan pelarian saja. Pepe mulai berhitung. Menyadari bahwa pacarnya yang sekarang memang baru putus dengan mantannya, dua minggu yang lalu.

Pepe memang baru sebulan pacaran.

Meminggirkan sepeda motor adalah hal yang tepat. Kali ini pesan berantai dari Pepe untuk pacar terus-terusan dikirim. Pacar pun membalas dan hanya bilang “Maaf, aku masih lebih sayang dia.”

Pepe berdiam diri sejenak. Menelepon Ojin untuk bantu Stut- istilah mendorong sepeda motor mogok pakai kaki sambil jalan. Ojin yang masih di kampus pun bergegas menghampiri Pepe dan berteriak di telepon, “Kalau udah nemu pom bensin, ayok kita nongkrong di blok M, cari komik Captain Tsubasa”.

Meminum satu-dua tegukan dari air mineral yang baru saja dibeli, Pepe tak sadar air mata sudah terminum lewat hidung.

Perlahan senja hilang dan suasana depan kampus jalan lenteng agung, Jakarta selatan itu mendadak sepi.

**
“Ojin, Sedang apa kau”?

 Kapten Mampang memanggilku untuk ke bawah mengikuti buka puasa bersama. Tidak terasa sudah sepuluh hari aku menginap di Markas pada bulan Mei ini.

Aku jawab, “Nulis cerpen, Kapten”.

“Jangan galau terus”

Kapten Mampang bikin keki lagi kalau sudah meledek soal beginian.

Buru-buru aku  ke bawah karena Adzan Magrib sudah berkumandang. Sepertinya panggilan Kapten Mampang ini benar-benar penting, 

lalu….

Yang benar saja, sudah ada dua puluh orang yang duduk di meja rapat.

“Nah, Ojin, kau sudah siap mendapat tugas ini”? Kapten Mampang bikin aku waspada.

Aku akan bertempur melawan kenangan. Bukan merek kopi yah tapi*** 

Rabu, 04 September 2019

PANGGILAN MISI KAPTEN MAMPANG

Yakin kan aku bahwa pulang ke Markas adalah pilihan yang tepat.

(sumber: google.com)

Oleh: Rozi Hariansyah
Meracik secangkir kopi hitam setiap pagi hari merupakan rutinitas yang harus sering dilakukan. Pada saat orang lain masih terbuyarkan angan-angan hampa dalam mimpi yang tak berujung, seharusnya kita selalu bersiap, untuk menghadapi dunia yang fana ini.

Lalu Sastro, orang yang memperhatikanku dari tadi malah bilang begini,

“Kebanyakan gaya loe cuma bikin kopi doang.”

Sastro merupakan orang yang sudah bangun pada pagi ini, selain aku tentunya. Sastro yang menjadi kapten. Makanya aku disuruh bikin kopi. Sebenarnya Alipkeriting yang biasa disuruh menyeduh air panas. Tetapi orang yang dimaksud malah asyik ngorok di kasur berbahan kapuk yang bikin batuk-batuk. Aku pastikan ruang tidur yang ditempati Alipkeriting lebih mirip dibilang kapal pecah alih-alih kamar.

Kami bertiga yang menempati rumah ini. Mungkin belum lama dari awal tahun 2016. Rumah yang kami jaga ini lebih mirip dibilang Markas. Artinya hanya keadaan tertentu rumah ini menjadi ramai. Seperti saat ada rapat, diskusi ataupun kumpul-kumpul ketawa garing.

Aku masih ingat ketika Alipkeriting yang meminta untuk kembali aktif berorganisasi. Dia bilang, “apakah aku masih bekerja?” Aku jawab, “masih”. Selanjutnya dia kembali bertanya, “apakah aku punya pacar?”, Aku mengatakan, “tidak”. Aku salah jawab dan malah disuruh resign. Alipkeriting menjanjikan aku bekerja mengurus Media saja. Kata Alipkeriting daripada kerja capek-capek tapi jomblo mending balik lagi saja aktif organisasi sambil bikin usaha yang independen. Apanya yang independen? Ndasmu? jawabku. 

Akhirnya aku benar-benar keluar dari tempat kerja.

Kesan pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang beralamat di Mampang Prapatan ini adalah horor. Pernah aku dan Alipkeriting sedang beres-beres, dia cuci semua gelas kotor dan aku membuang sisa sampah yang menumpuk di meja. Ketika aku ingin menuju tempat sampah yang berada di depan rumah, aku melihat ada orang yang sedang duduk tepat di depan meja berbentuk segi panjang yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk rapat. Sepintas mirip Ibu-ibu. 

Setelah membuang sampah, aku pastikan kalau di dalam rumah itu hanya ada Alipkeriting. Lalu aku masuk ke dalam rumah, yang mirip Ibu-ibu itu sudah tidak ada. Aku sadar. Hah Ibu-ibu? “ANJ*NG-GOB*OK-IBU-IBUNYA-KAGAK-ADA-ANJ*NG”. Alipkeriting kaget aku cuma teriak-teriak saat waktu Magrib begini.

Aku lanjut bikin kopi.

Sejenis kopi yang benar-benar asli dari pedesaan. Bukan kopi sachetan yang sering dijumpai di warung terdekat. Harganya sudah jelas beda. Sastro bilang, untuk ukuran 100 gram saja, perkaleng berharga tiga puluh lima ribu rupiah. Nama yang tertera adalah “Kopi Congress”, eh buseh ini kopi khusus pemilihan ketua umum atau gimana?

Sastro hanya bisa ketawa ngikik saat aku bilang begitu. Sambil menyeruput kopi, Sastro perlahan memberitahu bahwa aku punya tugas rahasia. “Kamu harus membantu. Aku punya sebuah misi untukmu” Kata Sastro.

Wah sebuah misi? apa itu berarti aku harus jaga Markas lagi?

Kenyataannya aku malah jarang nongol di Markas.. Semenjak Alipkeriting menyuruhku untuk keluar dari tempat kerja. Eh dia juga tidak ada kepastian bikin Media yang aku kelola nantinya. Saat aku bertanya kabar yang dia janjikan, dengan entengnya dia jawab,“Tidak apa-apa, yang penting sekarang waktu lau jadi lebih fleksibel bantu gue di Mampang nanti.”

“Fleksibel-Fleksibel muke luh yang kayak sambel”. Kata ku enteng.

Saat aku main-main lagi ke Mampang. Sudah banyak pasukan. Aku perkenalkan satu-satu. Ada Mang Dadang dengan kemampuan meracik kopi yang hebat. Ijal yang memiliki kemampuan mencari data. Wah dia kuat sekali kalau sudah berlama-lama di depan monitor. Sambil telanjang dada dan gitaran bahkan masih tetap saja mencari data. Ada Sonen yang tukang ngecaprak melulu. Kalau sudah bicara yang serius-serius, misalnya tentang politik, agama, sepakbola bahkan pisang goreng pakai saos pun dia sangat tertarik untuk dibahas. Jangan lupakan kalau ada seorang perempuan juga, namanya Xia, dia juga telaten dan sangat disiplin. Beberapa nama juga banyak lagi yang aku bisa sebutkan, dengan kemampuan yang berbeda-beda tentunya.  

Sebenarnya di Markas ini adalah tempat perkumpulan berbagai aktifis dari multisektor. Dari buruh sampai petani, aktifis perempuan sampai nelayan, dan masyarakat adat sampai kaum miskin kota. Tenang saja, kelihatannya tidak se-seram yang dibayangkan. Bagaimanapun kalau mau membangun transformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik perlu adanya berbagai sektor dari masyarakat yang terlibat bukan?

Nah, tugas ku dari Sastro hanyalah… ‘MENCARI’. Aku cuma bisa mingkem sambil garuk-garuk kaki, mencari yang apaan maksudnya? Aku curiga lagi-lagi dia membully ku untuk segera cari cewek, atau cari gara-gara mungkin ?

Sambil mencari yang dimaksud, aku jadi staf-nya staf, artinya aku dilatih untuk menjadi asisten setiap pembagian tugas di Markas ini. Misalnya saat Xia mengaudit laporan keuangan, aku yang bantu mengumpulkan data. Saat Dadang menyulap garasi menjadi kedai kopi, aku ikut bantu angkat-angkat meja juga. Sampai Sonen kebelet berak tidak ada air dan mesin air sedang mati, aku juga yang membeli dua galon air isi-ulang untuk menyiram.., yah itulah.

Saat aku menikmati membantu tugas-tugas setiap orang, aku selalu terpikir maksud dari tugas rahasia untuk mencari orang. Menurut Sastro di Markas ini sudah kebanyakan orang lapangan. Aku lagi-lagi bingung. Apakah banyak sekali pemain bola di Markas ini?

Oh tentu saja tidak. Masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Kriteria Sastro aneh banget. Mencari orang yang cekatan maksudnya apaan sih?

Yang dikhawatirkan pun terjadi.Mencari orang yang cekatan di kumpulan orang-orang aktifis itu sangat sulit.

Aku bisa memilih perempuan seperti Xia yang sangat ketat dalam audit data. Aku coba ikutin ritme kerjanya. Wah teliti banget perempuan yang satu ini. Pernah aku bantu input data penjualan rokok kretek produksi Markas, Xia malah marah-marah karena aku salah input tabel.

Xia Galak bener. Ah aku mau bilang Sastro, jangan Xia deh yang dicari. Aku masih kesal diomelin.

Lalu aku coba kepoin Dadang. Dengan menemani Dadang saat buka kedai kopi. Saat Dadang permisi untuk ke warung sebentar, praktis aku yang menjaga kedai ini. Tiba-tiba ada orang yang datang dan pesan kopi Vietnam Drip. Aku langsung cengar-cengir meski gigi ketombean takut ketahuan gak bisa buat kopi jenis itu. Aku speak-speak saja masak air biar mateng. Sambil menunggu Dadang kembali dari warung.

Dadang cuma bisa ketawa saat aku panik tidak bisa bikin kopi Vietnam Drip. Oke selama aku mengikuti kerja-kerja Dadang, aku yakin banget pasti Dadang yang selama ini dicari Sastro.

Atau Ijal? Ijal adalah peneliti buruh tapi saking senang meneliti, kamu nyalain petasan jangwe di di Markas juga tidak akan mempengaruhi Ijal untuk beranjak dari depan monitor. Aku pernah dengan senang hati bantu dia mencari data.

Satu jam, dua jam dan tiga jam sudah berlalu dan akhirnya aku hanya main PS kaset bola sama Ijal dilaptop miliknya. Enggak jadi deh bantu cari data. Toh Ijal tidak masalah. Dia dengan senang hati ada orang yang mau menemani hari-hari kesepian nya selama ini. Aku juga yakin pasti Ijal yang dicari Sastro.

Haruskah Sonen dari perwakilan Masyarakat Adat? Waduh kata temannya yaitu si Bosrang, Mana mau Sonen sebagai anak Raja mau jadi staf-nya staf kayak gitu. Ampun deh.

Sisanya hanya anak-anak organisasi yang doyan rapat dan diskusi, dan aku hanya sering bengong kalau mengikuti kegiatan-kegiatannya.

Orang-orang di Markas ini semuanya sangat cekatan. Siapa yang paling cekatan yang dimaksud Sastro? Saat aku berdiskusi, ternyata Sastro malah berkata selama ini dia hanya mengujiku untuk ikutin semua tugas yang dikerjakan oleh mereka.

Aku tidak yakin ini adalah sebuah Prank. Ternyata benar apa yang dikatakan banyak orang bahwa lelucon yang dibuat oleh bapak-bapak rasanya garing banget.

Bangke.

Tapi aku senang-senang saja. Toh aku jadi semakin akrab dengan semua penghuni Markas ini. Setelah hampir setahun aku menganggur dan hanya aktif berorganisasi saja, kuputuskan untuk menerima tawaran kerja menjadi pegawai administrasi di sebuah bimbingan belajar islami.

Sastro tidak melarangku, tapi dia mengatakan sesuatu padaku. Selama ini sebenarnya AKU lah orang yang dicari oleh Sastro. Maksudnya bagaimana? Sastro menyuruhku mencari orang yang cekatan, itu artinya  aku mencari diriku sendiri? apa-apaan sih? makin gak ngerti.

Alipkeriting cuma bisa ketawa. Dia sudah tahu bahwa aku akan dipercaya oleh Sastro untuk memimpin Tabloid Mengolah, yang memiliki gaji tentunya. Kini aku harus memilih, aku bisa nongkrong bareng organisasi sambil punya pekerjaan mengurus tabloid, atau bekerja di tempat yang sudah capek-capek aku dapatkan selama setahun kurang ini? 

**
Mei 2019.

Aku memutuskan kembali ke Markas, Setelah tidak lagi menjadi staf pendukung, aku pulang ke Mampang. Berharap masih ada yang bisa aku cari di sini. Saat aku membuka pintu Markas, ternyata pasukan sudah semakin banyak. Ada anak-anak muda yang bergiat di seni, politik, dan filsafat. Lalu jumlah aktifis perempuan juga semakin banyak. Kali ini Markas Mampang sudah dipenuhi aktifis-aktifis hebat.

Kedai kopi yang diasuh Dadang juga masih jalan. Ijal masih tetap stanby jadi peneliti lepas di depan monitor. Xia dan Alipkeriting sukses melanjutkan kuliah di luar negeri. Sonen pulang kampung dan berhasil membangun lembaga pengacara untuk publik.

Mereka sudah melangkah lebih jauh dibanding tiga tahun yang lalu. Aku yang memutuskan bekerja diluar, hanya mendapati senyuman getir atas pilihanku sendiri. Aku melihat citra yang berpendar dan berputar-putar di kepalaku seandainya aku mengambil pilihan itu.

Lalu Sastro memanggilku dari dalam Markas,

“KEMANA SAJA KAU? KALI INI AKU PERLU BANTUANMU.”***

Jumat, 23 Agustus 2019

STAF PENDUKUNG


Awalnya aku mengira tidak ada pekerjaan yang lebih rumit saat kita berada di lapangan. Ini bukan tentang menjadi pesepakbola atau pemain basket. Kena sinar matahari, bertarung dengan macet, pun semanis kecap bila bertemu orang lain untuk yang kerjanya lebih banyak di luar kantor. Tentu saja aku tahu rasanya karena selama ini aku lebih banyak berkutat menjadi salesman. Maaf lebih tepatnya adalah tukang buku, tukang cokelat, tukang nawar iklan dan tukang kopi, barangkali…

Namun semua berubah saat mengira aku adalah orang lapangan. Menjadi seorang staf pendukung, itu berarti kamu juga harus bersiap bengong seharian di depan komputer.

(Goal.com)

Oleh : Rozi Hariansyah
Serba bisa. Kata yang tepat untuk menyebut orang-orang yang pandai mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, alih-alih menyebutnya ‘orang gila’, kata mantan bos ku dulu sewaktu masih bekerja di perusahaan penerbitan.

Aku bekerja sebagai administrasi operasional di sebuah bimbingan belajar. Jadi ingat waktu pertama kali diterima kerja. Bos ku bilang meski aku akan lebih banyak bekerja di depan komputer, tetapi juga harus siap sewaktu-waktu keluar kantor untuk promosi ke sekolah. Ambil inventaris barang ke gudang, mengganti staf yang tidak masuk dan  anterin kakak pengajar menyeberang ke cabang lain.

Bimbelnya memang punya banyak cabang. Maka aku kira tadinya akan bareng satu tempat dengan teman, yang sama-sama baru bekerja disini. Ternyata dia ditempatkan di cabang yang lain.

Tidak masalah sih, setidaknya bayangan bengong seharian melototin monitor sudah hilang dari kepala.

Input data absen, uang pendaftaran dan membuat laporan  ibarat sudah jadi teman setiap hari. Isi spidol, menyalakan AC di setiap ruang kelas, bersih-bersih komputer, merapikan bahan ajar siswa dan tentu saja godain mbak-mbak cantik yang lewat setiap hari depan kantor. Yang terakhir enggak deh.

Mana mungkin kami berani kurang ajar dengan tempat kerjaku yang mengatasnamakan bimbel islami. Sebagai tempat belajar alternatif selain di sekolah, jelas kami harus sigap melayani anak-anak sekolahan yang jajannya mengalahkan upah kami dalam sehari saat mereka datang jam empat sore. 

Apakah segitu aja rutinitasku sehari-hari? Yah enggak lah. Untuk menghilang penat, kadang kita suka nyolong waktu sekadar bercanda garing saja sama rekan kerja di kantor.

Lalu aku berfikir apakah dengan tugas ganda-campuran ini, kita bisa fokus menyelesaikan pekerjaan? Aku coba melemparkan tanya kepada temanku.

Sialnya yang lagi ditanya malah sedang asyik nonton film La la land. Jujur aja ini adalah film kedua selain High School Musical, yang sukses bikin aku pusing karena kebanyakan muter-muter sambil nyanyi-nyanyi.

Temanku lagi tidak muter-muter sih. Dia cuma jawab, “Yah begitulah petugas administasi”.

Apakah di tempat kerjamu petugas administrasi, kayak begini ini kerjanya? atau kamu yang ternyata seorang admin, hanya bisa senyum-senyum sakit gigi membaca pertanyaanku ini?

Pada akhirnya aku mengakui bahwa bekerja sebagai petugas administrasi tidak kalah capeknya dibandingkan dengan petugas di lapangan.

Apalagi kalau kerjaan keduanya digabungin. Rasanya seperti minum obat puyer. Puyeng gimana gitu yah.

Biasanya untuk tempat kerja yang bergelut didunia bisnis tentu saja membutuhkan promosi. Apalagi bisnis jasa pendidikan. Makanya aku sering promo sederhana, selain memanfaatkan alat telekomunikasi tentunya. Seperti menyebar brosur ke perumahan, sekolah, ataupun dijalanan strategis. Aku sering melakukannya bersama CS.

Kami memanggilnya CS, biar lebih setara. Meski sebenarnya CS ini layaknya orang yang sering dapat perlakuan kayak tukang disuruh-suruh. Aku tidak mau menganggapnya sebagai Office Boy, pembantu, tukang jaga markas,atau apalah yang sering disebut banyak orang. 

Lagipula asal tahu saja, CS lah yang paling paham dengan seluk-beluk kehidupan kantor. Karakter Bos, siapa yang paling nyebelin, siapa yang penakut, siapa yang paling baik, atau bahkan sekedar warung makan yang enak disekitar kantor.

Pak Sabar nama CS nya. Beliau ini yang mengajari aku menyebar brosur di rumah kosong. Enggak-enggak, bercanda kok. Pak Sabar, sesuai namanya memang sabar banget kok kalau menghadapi kami, staf-staf gak tahu diri yang kalau sekedar makan atau minum, piring dan gelas saja gak mau ditaruh di ember. Ditaruh di meja semua. Nah pas giliran mau minum, gelas abis salah siapa coba? Gelas masih ada di meja, ngapain lagi ngambil gelas baru yang ada di rak.

Kami yang cuma staf biasa, kadang bisa menjadi satu solidaritas kalau merasa capek sama-sama saat bekerja. Makanya ketika Pak Sabar yang sudah bekerja tujuh tahun lebih memutuskan resign, aku  merasa sedih kehilangan Pak Sabar. 

Kembali lagi saat aku mengerjakan tugas-tugas kantor. Kamu pernah merasa tidak sih, tugasmu sendiri saja sudah banyak tiba-tiba ada saja tugas yang baru datang lagi dan datang lagi. Menumpuk melulu.

Petugas Administrasi paling cuma cengar-cengir saja saat dimintain tolong seperti itu. Meskipun bisa jadi itu bukan tugasnya. Kalau begitu ingin rasanya berak sekebon.

Membangun rasa solid dan percaya antar rekan kerja menjadi sangat penting. Apapun jenis pekerjaannya kalau lingkunganmu mendukung, kamu bisa nyaman aja sih.

Tapi hidup di dunia ketidakpastian kerja gak bisa nyaman-nyaman aja sih sebenarnya. Periksa status kerjamu. Apakah masih magang, coba-coba, kontrak setiap tahun, kontrak selamanya atau sudah jadi dewa (pegawai tetap)? tenang saja, pekerja semestinya dilindungi Undang-Undang Tenaga Kerja yang berlaku kan?

Hayoloh, jangan bisanya  bikin grup whatsapp aja yang hobi gosipin soal kantor, hehehe.

Kalau sudah begini yah tidak mudah memang kalau jadi petugas administrasi-beban ganda kayak gini. Apakah lebih baik merasa syukur saja karena sudah bekerja disaat yang lain masih menganggur?

Tiba-tiba temanku menepuk pundakku, karena aku dari tadi kebanyakan bacot sendirian di depan kaca tempat wudhu. Dia bilang begini,

“Ojin, jangan bengong baek. Minta tolong yah nanti ada siswa kelas enam yang mau minta bantuan mengerjakan pr ipa.”

“Waduh, bukannya ada pengajar yang bisa? gue masih ada inputan data yang belum selesai nih om bro” kata ku.”

Temanku bilang bahwa pengajarnya lagi sibuk semua atau lagi tidak ada jadwal mengajar hari ini.

Aku mau protes, karena jadi pengajar adalah bukan tugasku. Aku kan hanya seorang petugas administrasi. Tapi temanku langsung cecar,

“Gapapa Ojin, jadi STAF PENDUKUNG itu dapat pahala loh”

Ah gigit nih.***

Selasa, 13 Agustus 2019

AH SHE ALL


Aku kembali memeriksa pesan masuk di email, demi meyakinkan bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah benar menyuruhku untuk hadir hari ini. Aku harus datang.

Saatnya berburu.



Oleh : Rozi Hariansyah
Memburu kepastian. Sudah lelah menjadi laki-laki panggilan karena menunggu untuk tawaran kerja. Menjadi ‘Co-Punk’, cowok panggilan – istilah kerennya. Sesuatu yang keren apaan? setelah lulus kuliah pada penghujung tahun 2014, saatnya aku mencari pekerjaan. Normal kan, memiliki penghasilan sendiri, dan syukur bisa membahagiakan orang tua.

Tetapi hampir enam bulan aku hanya beraktifitas dalam organisasi saja. Kadang nongkrong, minum kopi, bengong saat rapat atau ketiduran sampai siang.

Awalnya aku kira dengan sambil berorganisasi, otomatis kita akan memiliki pekerjaan. Organisasi yang jenis apa dulu? Iya sih pekerjaan memang banyak, namun jadi relawan. Tetapi namanya organisasi ‘Avenjer’, masa mau diduitin. Karena dompet di kantong sudah mulai tawuran dan keos massal, akhirnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaan yang memiliki penghasilan tetap. 

Pasti bosan kalau hidup begini-gini saja. Kita harus berkali-kali membongkar visi, meramu misi dan mengeksekusinya. Misal begini, waktu pertama kali masuk kuliah ditanya sama senior, “cita-cita mau jadi apa”? banyak yang menjawab, jadi politikus, jadi anggota dewan, jadi pengusaha, jadi menteri dan bahkan jadi presiden. Giliranku, Aku jawab, “kak aku salah jurusan”. 

Aku senang pelajaran fisika malah masuk jurusan ilmu politik.

Semua berubah ketika aku mendapat panggilan wawancara. Saatnya aku menjalankan misi. Yakinkan aku bahwa visi dan perjalanan sekarang adalah tidak salah jurusan saat menuju daerah Tebet, Jakarta Selatan.

Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang rem depannya tidak pakem, mungkin membuatmu benar-benar menjadi metahuman yang kebal dengan segala jenis koreng.

Aku sudah sampai. Alamatnya sih sudah benar sesuai dengan pesan masuk di email. Hanya modal kemeja rapih dimasukin dan bercelana bahan bersepatu bukan pantofel, dengan percaya diri aku memasuki sebuah rumah yang dikenal sebagai studio produksi berjenis film dokumenter. 

Sekeliling rumah ini banyak dipenuhi ornament-ornamen bernilai estetik. Ah pasti yang tinggal disini semuanya memiliki jiwa seni. Aku hanya punya jiwa ngebanyol saja.

Pandanganku berhenti setelah sesekali menyipitkan mata karena lampu-lampu di pojok ruangan menyala redup. Apakah ada yang mau syuting? Ternyata tidak. Samar aku lihat ada perempuan yang sedang menunggu juga. Lima jumlahnya. Baru kali ini aku merasa jadi paling ganteng.

Aku cengar-cengir untuk permisi duduk di bangku panjang seberang perempuan-perempuan itu. Sebagian dari mereka cuma senyum sambil bilang dalam hati, “ini-cowok-siapa-sih-sok-akrab-sok-rapih-jangan-jangan-mau-minta-sumbangan-yah”.

Mereka semua berpakaian lebih kasual tapi sopan. Aku sadar seandainya kalau kita semua dipanggil untuk ikut lomba peragaan busana, aku jelas kalah. Hanya aku sendiri yang memakai kemeja putih dimasukin, celana hitam, dan sepatu bukan pantofel.

Padahal kita tidak sedang menunggu untuk wawancara di Perusahaan atau Bank, kan?

Sambil menunggu si-empunya yang memanggil kita, seorang laki-laki menawari kami gorengan sepiring untuk ber-enam. Ada bakwan, cabe, tempe,tahu,risol, cabe lagi dan sebagainya. Para perempuan itu malu-malu untuk mengambil salah satunya. Padahal sudah lapar tuh, kan mereka sudah menunggu lebih lama. Dengan sikap cool, aku mempersilahkan untuk mereka mengambil gorengan diatas piring, tetapi tanganku sudah mencomot tahu isi duluan.

Aku si laki-laki jalang.

Akhirnya setelah menunggu setengah jam, yang memanggil kita wawancara sudah datang. Seorang perempuan juga. Lebih baik aku memanggilnya kakak, karena dia pasti lebih tua dariku. Barangkali kalau laki-laki yang bawain gorengan tadi aku kurung di dalam kamar mandi, aku menjadi mutlak paling tampan di rumah ini. 

Tetapi laki-laki yang tadi terlalu baik. Tidak sampai hati aku berniat jahat. Buktinya dia membawakan air mineral sambil permisi untuk berlalu. Nah gitu dong, seret kan abis makan gorengan.

Sesi wawancara dilakukan secara grup. Kakak pewawancara secara bergantian menanyakan informasi pribadi masing-masing. Sebagai laki-laki sendiri yang cuma sendirian, aku jadi panik at the disko. Bagaimana mungkin tiba-tiba introvert ku keluar. Setidaknya aku bisa mengatasi keadaan meskipun tangan gemetar sampai keluar keringat dingin.

Kakak pewawancara menjelaskan panjang lebar alasan kami dipanggil. Tentu untuk mengisi lowongan pekerjaan. Yang tersedia saat ini adalah jadi host atau pemandu acara yang bersifat sosial.

“Maksudnya bagaimana? tanya seorang perempuan berjilbab ungu”. Hai adek berjilbab ungu yang kayak ulet bulu. tolong jangan dicela dulu kakak pewawancaranya.

“Jadi kalau kalian pernah lihat acara di televisi, dimana setiap segmen selalu ada kisah, misal kakek yang sudah renta menangis melihat cucu nya berjualan sampai malam sehabis pulang sekolah, atau anak-anak bermain riang gembira saat pembangunan taman bermain berhasil dikerjakan oleh pengembang properti.” Kata kakak pewawancara.

Oh seperti acara ‘orang pojokan’ atau ‘andai aku menjadi avenjer’. Oh oke, aku paham sekarang. Aku tertarik banget mendengar cerita kakak pewawancara mengenai pentingnya film jenis dokumenter sosial-kemanusiaan ini. Intinya untuk membuka kesadaran banyak orang, bahwa masih banyak yang belum beruntung diluar sana.

aku tertarik ketika kakak pewawancara menjelaskan juga teknis pembuatan film jenis dokumenter ini. Dari cara membuat alur cerita, detail pengambilan gambar dan tentunya pemilihan tempat yang menjadi tantangan, misalnya di desa terpencil, perkampungan diluar pulau ataupun orang-orang yang tinggal di gubuk tapi sekelilingnya perumahan elit.

Namun aku bingung saat kakak pewawancara berkata, “kita perlu menggugah emosi banyak orang”. Aku semakin dibuat terkejut dan terheran-heran manakala kakak pewawancara juga bilang bahwa perlu seorang 'perempuan' yang menangani suasana agar emosinya terlihat dapat.

Hoey, memangnya laki-laki tidak bisa menangis? kalau kami ingin menangis tidak terang-terangan ditunjukkan kepada banyak orang, kakak. Menangis adalah hak setiap manusia. Gak tahu deh kalau diputusin pacar perempuan.

Memang sih jarang ada pemeran laki-laki yang kecuali agak-agak gimana gitu yang mau diajak menangis setelah menolong orang dengan kasih uang tubruk, operasi rumah dalam sehari ataupun nyamar jadi jomblo  gembel kasih uang untuk orang yang beruntung. Semoga saja itu semua bukan prank settingan.

Tapi aku tidak percaya saja yang ditonjolkan melulu soal kesedihan. Kenapa tidak dibangun wacana penyadaran sosio-ekonomi-politik alih-alih suasana kesedihan saja. Misalnya ini tanggung jawab pejabat tingkat lokal. Terus dicari tahu akar penyebab kondisi secara struktural. Masa  perempuan hanya sebagai subjek sekaligus objek yang emosinya bisa laku dijual. Eh nanti dimarahin sama aktifis feminisme loh.

Aku tidak tahu bisnis industri film dokumenter sosial-kemanusiaan. Dugaanku semoga saja meleset. Sebagai mantan anggota avenjer, aku hanya bisa kritis dalam kepala. Belum tentu dalam tindakan. Bukankah selama ini kita yang mendaku paling tahu segalanya ternyata Enol besar dalam memberi contoh terbaik?

Pejuang keadilan sosial bersatulah.

Balik lagi saat kakak pewawancara menjelaskan panjang lebar tugas kita nanti dalam syuting film dokumenter. Kita observasi lokasi, cari tokoh lokal setempat, dan penginapan untuk berhari-hari ataupun berminggu-minggu. Bisa di wisma atau di hotel. Setelahnya menyiapkan kebutuhan cerita dan perlengkapan.

Sebagai perbandingan aku pernah ditinggalin sama temanku yang bernama Alipkeriting untuk belajar politik pedesaan. Wilayah yang memiliki akar sejarah panjang konflik agraria. Tinggal di rumah petani anggota Serikat, makan bersama mereka dan mengikuti aktifitas harian. Senang dan susah selalu ada solusi. Yang paling penting beramai-ramai membangun kampung swakelola mandiri.

Sudah banyak contoh keberhasilan pembangunan politik seperti itu. Idealis dalam kepalaku bergejolak. Bagaimana mungkin kita berkepentingan datang ke suatu wilayah hanya untuk menjual kemiskinannya semata, alih-alih memberi solusi nyata untuk perbaikan kondisi. Semoga setelah proses syuting selesai, ada solusi perbaikan untuk masyarakat sekitar.

Ah masa bodo dengan idealisme kurang ajar yang bikin dompet ku kebanyakan angin ini. Aku cuma mau kerja. 

Kakak pewawancara sudah selesai menjabarkan detail-detail yang aku kurang perhatikan dengan seksama karena kebanyakan mikir dari tadi. Lalu kakak pewawancara bilang,

“Maaf mas Rozi, sebenarnya sesuai yang tadi saya jelaskan, kita hanya butuh seorang perempuan untuk direkrut jadi host dalam tim produksi dokumenter ini, maaf yah. Mungkin mas Rozi nanti kita tawarkan untuk posisi yang lain, misalnya pegangin baterai lampu atau jagain sandal tim kreatif mungkin?”

“Ha?” aku bingung.

“Bercanda mas Rozi, hehe. Mungkin kalau ada posisi yang pas sesuai dengan keahlian mas Rozi di CV-nya, nanti kita hubungi segera.”

Aku coba untuk melakukan kesetaraan nyender di tembok. Maksudnya untuk menenangkan diri dulu. Setelah aku sadar, aku cuma mengangguk-angguk saja.

Ternyata dugaan ku dari awal benar. Dari enam orang yang dipanggil wawancara, seharusnya perempuan semua. Lalu mengapa aku dipanggil untuk kesini?

Satu bulan kemudian sambil berharap aku dipanggil lagi untuk wawancara, aku kembali periksa pesan masuk di email, demi meyakinkan bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah benar menyuruhku untuk hadir untuk wawancara tempo hari. 

Aku hanya bisa berteriak,

AH SHE ALL

***