Rabu, 04 September 2019

PANGGILAN MISI KAPTEN MAMPANG

Yakin kan aku bahwa pulang ke Markas adalah pilihan yang tepat.

(sumber: google.com)

Oleh: Rozi Hariansyah
Meracik secangkir kopi hitam setiap pagi hari merupakan rutinitas yang harus sering dilakukan. Pada saat orang lain masih terbuyarkan angan-angan hampa dalam mimpi yang tak berujung, seharusnya kita selalu bersiap, untuk menghadapi dunia yang fana ini.

Lalu Sastro, orang yang memperhatikanku dari tadi malah bilang begini,

“Kebanyakan gaya loe cuma bikin kopi doang.”

Sastro merupakan orang yang sudah bangun pada pagi ini, selain aku tentunya. Sastro yang menjadi kapten. Makanya aku disuruh bikin kopi. Sebenarnya Alipkeriting yang biasa disuruh menyeduh air panas. Tetapi orang yang dimaksud malah asyik ngorok di kasur berbahan kapuk yang bikin batuk-batuk. Aku pastikan ruang tidur yang ditempati Alipkeriting lebih mirip dibilang kapal pecah alih-alih kamar.

Kami bertiga yang menempati rumah ini. Mungkin belum lama dari awal tahun 2016. Rumah yang kami jaga ini lebih mirip dibilang Markas. Artinya hanya keadaan tertentu rumah ini menjadi ramai. Seperti saat ada rapat, diskusi ataupun kumpul-kumpul ketawa garing.

Aku masih ingat ketika Alipkeriting yang meminta untuk kembali aktif berorganisasi. Dia bilang, “apakah aku masih bekerja?” Aku jawab, “masih”. Selanjutnya dia kembali bertanya, “apakah aku punya pacar?”, Aku mengatakan, “tidak”. Aku salah jawab dan malah disuruh resign. Alipkeriting menjanjikan aku bekerja mengurus Media saja. Kata Alipkeriting daripada kerja capek-capek tapi jomblo mending balik lagi saja aktif organisasi sambil bikin usaha yang independen. Apanya yang independen? Ndasmu? jawabku. 

Akhirnya aku benar-benar keluar dari tempat kerja.

Kesan pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang beralamat di Mampang Prapatan ini adalah horor. Pernah aku dan Alipkeriting sedang beres-beres, dia cuci semua gelas kotor dan aku membuang sisa sampah yang menumpuk di meja. Ketika aku ingin menuju tempat sampah yang berada di depan rumah, aku melihat ada orang yang sedang duduk tepat di depan meja berbentuk segi panjang yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk rapat. Sepintas mirip Ibu-ibu. 

Setelah membuang sampah, aku pastikan kalau di dalam rumah itu hanya ada Alipkeriting. Lalu aku masuk ke dalam rumah, yang mirip Ibu-ibu itu sudah tidak ada. Aku sadar. Hah Ibu-ibu? “ANJ*NG-GOB*OK-IBU-IBUNYA-KAGAK-ADA-ANJ*NG”. Alipkeriting kaget aku cuma teriak-teriak saat waktu Magrib begini.

Aku lanjut bikin kopi.

Sejenis kopi yang benar-benar asli dari pedesaan. Bukan kopi sachetan yang sering dijumpai di warung terdekat. Harganya sudah jelas beda. Sastro bilang, untuk ukuran 100 gram saja, perkaleng berharga tiga puluh lima ribu rupiah. Nama yang tertera adalah “Kopi Congress”, eh buseh ini kopi khusus pemilihan ketua umum atau gimana?

Sastro hanya bisa ketawa ngikik saat aku bilang begitu. Sambil menyeruput kopi, Sastro perlahan memberitahu bahwa aku punya tugas rahasia. “Kamu harus membantu. Aku punya sebuah misi untukmu” Kata Sastro.

Wah sebuah misi? apa itu berarti aku harus jaga Markas lagi?

Kenyataannya aku malah jarang nongol di Markas.. Semenjak Alipkeriting menyuruhku untuk keluar dari tempat kerja. Eh dia juga tidak ada kepastian bikin Media yang aku kelola nantinya. Saat aku bertanya kabar yang dia janjikan, dengan entengnya dia jawab,“Tidak apa-apa, yang penting sekarang waktu lau jadi lebih fleksibel bantu gue di Mampang nanti.”

“Fleksibel-Fleksibel muke luh yang kayak sambel”. Kata ku enteng.

Saat aku main-main lagi ke Mampang. Sudah banyak pasukan. Aku perkenalkan satu-satu. Ada Mang Dadang dengan kemampuan meracik kopi yang hebat. Ijal yang memiliki kemampuan mencari data. Wah dia kuat sekali kalau sudah berlama-lama di depan monitor. Sambil telanjang dada dan gitaran bahkan masih tetap saja mencari data. Ada Sonen yang tukang ngecaprak melulu. Kalau sudah bicara yang serius-serius, misalnya tentang politik, agama, sepakbola bahkan pisang goreng pakai saos pun dia sangat tertarik untuk dibahas. Jangan lupakan kalau ada seorang perempuan juga, namanya Xia, dia juga telaten dan sangat disiplin. Beberapa nama juga banyak lagi yang aku bisa sebutkan, dengan kemampuan yang berbeda-beda tentunya.  

Sebenarnya di Markas ini adalah tempat perkumpulan berbagai aktifis dari multisektor. Dari buruh sampai petani, aktifis perempuan sampai nelayan, dan masyarakat adat sampai kaum miskin kota. Tenang saja, kelihatannya tidak se-seram yang dibayangkan. Bagaimanapun kalau mau membangun transformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik perlu adanya berbagai sektor dari masyarakat yang terlibat bukan?

Nah, tugas ku dari Sastro hanyalah… ‘MENCARI’. Aku cuma bisa mingkem sambil garuk-garuk kaki, mencari yang apaan maksudnya? Aku curiga lagi-lagi dia membully ku untuk segera cari cewek, atau cari gara-gara mungkin ?

Sambil mencari yang dimaksud, aku jadi staf-nya staf, artinya aku dilatih untuk menjadi asisten setiap pembagian tugas di Markas ini. Misalnya saat Xia mengaudit laporan keuangan, aku yang bantu mengumpulkan data. Saat Dadang menyulap garasi menjadi kedai kopi, aku ikut bantu angkat-angkat meja juga. Sampai Sonen kebelet berak tidak ada air dan mesin air sedang mati, aku juga yang membeli dua galon air isi-ulang untuk menyiram.., yah itulah.

Saat aku menikmati membantu tugas-tugas setiap orang, aku selalu terpikir maksud dari tugas rahasia untuk mencari orang. Menurut Sastro di Markas ini sudah kebanyakan orang lapangan. Aku lagi-lagi bingung. Apakah banyak sekali pemain bola di Markas ini?

Oh tentu saja tidak. Masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Kriteria Sastro aneh banget. Mencari orang yang cekatan maksudnya apaan sih?

Yang dikhawatirkan pun terjadi.Mencari orang yang cekatan di kumpulan orang-orang aktifis itu sangat sulit.

Aku bisa memilih perempuan seperti Xia yang sangat ketat dalam audit data. Aku coba ikutin ritme kerjanya. Wah teliti banget perempuan yang satu ini. Pernah aku bantu input data penjualan rokok kretek produksi Markas, Xia malah marah-marah karena aku salah input tabel.

Xia Galak bener. Ah aku mau bilang Sastro, jangan Xia deh yang dicari. Aku masih kesal diomelin.

Lalu aku coba kepoin Dadang. Dengan menemani Dadang saat buka kedai kopi. Saat Dadang permisi untuk ke warung sebentar, praktis aku yang menjaga kedai ini. Tiba-tiba ada orang yang datang dan pesan kopi Vietnam Drip. Aku langsung cengar-cengir meski gigi ketombean takut ketahuan gak bisa buat kopi jenis itu. Aku speak-speak saja masak air biar mateng. Sambil menunggu Dadang kembali dari warung.

Dadang cuma bisa ketawa saat aku panik tidak bisa bikin kopi Vietnam Drip. Oke selama aku mengikuti kerja-kerja Dadang, aku yakin banget pasti Dadang yang selama ini dicari Sastro.

Atau Ijal? Ijal adalah peneliti buruh tapi saking senang meneliti, kamu nyalain petasan jangwe di di Markas juga tidak akan mempengaruhi Ijal untuk beranjak dari depan monitor. Aku pernah dengan senang hati bantu dia mencari data.

Satu jam, dua jam dan tiga jam sudah berlalu dan akhirnya aku hanya main PS kaset bola sama Ijal dilaptop miliknya. Enggak jadi deh bantu cari data. Toh Ijal tidak masalah. Dia dengan senang hati ada orang yang mau menemani hari-hari kesepian nya selama ini. Aku juga yakin pasti Ijal yang dicari Sastro.

Haruskah Sonen dari perwakilan Masyarakat Adat? Waduh kata temannya yaitu si Bosrang, Mana mau Sonen sebagai anak Raja mau jadi staf-nya staf kayak gitu. Ampun deh.

Sisanya hanya anak-anak organisasi yang doyan rapat dan diskusi, dan aku hanya sering bengong kalau mengikuti kegiatan-kegiatannya.

Orang-orang di Markas ini semuanya sangat cekatan. Siapa yang paling cekatan yang dimaksud Sastro? Saat aku berdiskusi, ternyata Sastro malah berkata selama ini dia hanya mengujiku untuk ikutin semua tugas yang dikerjakan oleh mereka.

Aku tidak yakin ini adalah sebuah Prank. Ternyata benar apa yang dikatakan banyak orang bahwa lelucon yang dibuat oleh bapak-bapak rasanya garing banget.

Bangke.

Tapi aku senang-senang saja. Toh aku jadi semakin akrab dengan semua penghuni Markas ini. Setelah hampir setahun aku menganggur dan hanya aktif berorganisasi saja, kuputuskan untuk menerima tawaran kerja menjadi pegawai administrasi di sebuah bimbingan belajar islami.

Sastro tidak melarangku, tapi dia mengatakan sesuatu padaku. Selama ini sebenarnya AKU lah orang yang dicari oleh Sastro. Maksudnya bagaimana? Sastro menyuruhku mencari orang yang cekatan, itu artinya  aku mencari diriku sendiri? apa-apaan sih? makin gak ngerti.

Alipkeriting cuma bisa ketawa. Dia sudah tahu bahwa aku akan dipercaya oleh Sastro untuk memimpin Tabloid Mengolah, yang memiliki gaji tentunya. Kini aku harus memilih, aku bisa nongkrong bareng organisasi sambil punya pekerjaan mengurus tabloid, atau bekerja di tempat yang sudah capek-capek aku dapatkan selama setahun kurang ini? 

**
Mei 2019.

Aku memutuskan kembali ke Markas, Setelah tidak lagi menjadi staf pendukung, aku pulang ke Mampang. Berharap masih ada yang bisa aku cari di sini. Saat aku membuka pintu Markas, ternyata pasukan sudah semakin banyak. Ada anak-anak muda yang bergiat di seni, politik, dan filsafat. Lalu jumlah aktifis perempuan juga semakin banyak. Kali ini Markas Mampang sudah dipenuhi aktifis-aktifis hebat.

Kedai kopi yang diasuh Dadang juga masih jalan. Ijal masih tetap stanby jadi peneliti lepas di depan monitor. Xia dan Alipkeriting sukses melanjutkan kuliah di luar negeri. Sonen pulang kampung dan berhasil membangun lembaga pengacara untuk publik.

Mereka sudah melangkah lebih jauh dibanding tiga tahun yang lalu. Aku yang memutuskan bekerja diluar, hanya mendapati senyuman getir atas pilihanku sendiri. Aku melihat citra yang berpendar dan berputar-putar di kepalaku seandainya aku mengambil pilihan itu.

Lalu Sastro memanggilku dari dalam Markas,

“KEMANA SAJA KAU? KALI INI AKU PERLU BANTUANMU.”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar