(sumber: google.com)
Oleh:
Rozi Hariansyah
Meracik secangkir kopi
hitam setiap pagi hari merupakan rutinitas yang harus sering dilakukan. Pada
saat orang lain masih terbuyarkan angan-angan hampa dalam mimpi yang tak
berujung, seharusnya kita selalu bersiap, untuk menghadapi dunia yang fana ini.
Lalu Sastro, orang yang
memperhatikanku dari tadi malah bilang begini,
“Kebanyakan
gaya loe cuma bikin kopi doang.”
Sastro merupakan orang
yang sudah bangun pada pagi ini, selain aku tentunya. Sastro yang menjadi
kapten. Makanya aku disuruh bikin kopi. Sebenarnya Alipkeriting yang biasa
disuruh menyeduh air panas. Tetapi orang yang dimaksud malah asyik ngorok di
kasur berbahan kapuk yang bikin batuk-batuk. Aku pastikan ruang tidur yang
ditempati Alipkeriting lebih mirip dibilang kapal pecah alih-alih kamar.
Kami bertiga yang
menempati rumah ini. Mungkin belum lama dari awal tahun 2016. Rumah yang kami
jaga ini lebih mirip dibilang Markas. Artinya hanya keadaan tertentu rumah ini
menjadi ramai. Seperti saat ada rapat, diskusi ataupun kumpul-kumpul ketawa
garing.
Aku masih ingat ketika Alipkeriting
yang meminta untuk kembali aktif berorganisasi. Dia bilang, “apakah aku masih bekerja?” Aku jawab, “masih”. Selanjutnya dia kembali bertanya,
“apakah aku punya pacar?”, Aku
mengatakan, “tidak”. Aku salah jawab
dan malah disuruh resign. Alipkeriting
menjanjikan aku bekerja mengurus Media saja. Kata Alipkeriting daripada kerja
capek-capek tapi jomblo mending balik lagi saja aktif organisasi sambil bikin
usaha yang independen. Apanya yang independen? Ndasmu? jawabku.
Akhirnya aku
benar-benar keluar dari tempat kerja.
Kesan pertama kali
menginjakkan kaki di rumah yang beralamat di Mampang Prapatan ini adalah horor.
Pernah aku dan Alipkeriting sedang beres-beres, dia cuci semua gelas kotor dan
aku membuang sisa sampah yang menumpuk di meja. Ketika aku ingin menuju tempat
sampah yang berada di depan rumah, aku melihat ada orang yang sedang duduk
tepat di depan meja berbentuk segi panjang yang biasa digunakan oleh
orang-orang untuk rapat. Sepintas mirip Ibu-ibu.
Setelah membuang
sampah, aku pastikan kalau di dalam rumah itu hanya ada Alipkeriting. Lalu aku
masuk ke dalam rumah, yang mirip Ibu-ibu itu sudah tidak ada. Aku sadar. Hah
Ibu-ibu? “ANJ*NG-GOB*OK-IBU-IBUNYA-KAGAK-ADA-ANJ*NG”.
Alipkeriting kaget aku cuma teriak-teriak saat waktu Magrib begini.
Aku lanjut bikin kopi.
Sejenis kopi yang
benar-benar asli dari pedesaan. Bukan kopi sachetan yang sering dijumpai di
warung terdekat. Harganya sudah jelas beda. Sastro bilang, untuk ukuran 100
gram saja, perkaleng berharga tiga puluh lima ribu rupiah. Nama yang tertera
adalah “Kopi Congress”, eh buseh ini kopi khusus pemilihan ketua umum atau
gimana?
Sastro hanya bisa
ketawa ngikik saat aku bilang begitu. Sambil menyeruput kopi, Sastro perlahan
memberitahu bahwa aku punya tugas rahasia.
“Kamu harus membantu. Aku punya sebuah misi untukmu” Kata Sastro.
Wah sebuah misi? apa itu berarti aku harus jaga Markas lagi?
Kenyataannya aku malah
jarang nongol di Markas.. Semenjak Alipkeriting menyuruhku untuk keluar dari
tempat kerja. Eh dia juga tidak ada kepastian bikin Media yang aku kelola
nantinya. Saat aku bertanya kabar yang dia janjikan, dengan entengnya dia
jawab,“Tidak apa-apa, yang penting
sekarang waktu lau jadi lebih fleksibel bantu gue di Mampang nanti.”
“Fleksibel-Fleksibel
muke luh yang kayak sambel”. Kata ku enteng.
Saat aku main-main lagi
ke Mampang. Sudah banyak pasukan. Aku perkenalkan satu-satu. Ada Mang Dadang dengan
kemampuan meracik kopi yang hebat. Ijal yang memiliki kemampuan mencari data.
Wah dia kuat sekali kalau sudah berlama-lama di depan monitor. Sambil telanjang
dada dan gitaran bahkan masih tetap saja mencari data. Ada Sonen yang tukang
ngecaprak melulu. Kalau sudah bicara yang serius-serius, misalnya tentang
politik, agama, sepakbola bahkan pisang goreng pakai saos pun dia sangat
tertarik untuk dibahas. Jangan lupakan kalau ada seorang perempuan juga, namanya
Xia, dia juga telaten dan sangat disiplin. Beberapa nama juga banyak lagi yang
aku bisa sebutkan, dengan kemampuan yang berbeda-beda tentunya.
Sebenarnya di Markas
ini adalah tempat perkumpulan berbagai aktifis dari multisektor. Dari buruh
sampai petani, aktifis perempuan sampai nelayan, dan masyarakat adat sampai
kaum miskin kota. Tenang saja, kelihatannya tidak se-seram yang dibayangkan. Bagaimanapun
kalau mau membangun transformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik
perlu adanya berbagai sektor dari masyarakat yang terlibat bukan?
Nah, tugas ku dari
Sastro hanyalah… ‘MENCARI’. Aku cuma bisa mingkem sambil garuk-garuk kaki, mencari
yang apaan maksudnya? Aku curiga lagi-lagi dia membully ku untuk segera cari cewek, atau cari gara-gara mungkin ?
Sambil mencari yang
dimaksud, aku jadi staf-nya staf, artinya
aku dilatih untuk menjadi asisten setiap pembagian tugas di Markas ini.
Misalnya saat Xia mengaudit laporan keuangan, aku yang bantu mengumpulkan data.
Saat Dadang menyulap garasi menjadi kedai kopi, aku ikut bantu angkat-angkat
meja juga. Sampai Sonen kebelet berak tidak ada air dan mesin air sedang mati,
aku juga yang membeli dua galon air isi-ulang untuk menyiram.., yah itulah.
Saat aku menikmati
membantu tugas-tugas setiap orang, aku selalu terpikir maksud dari tugas
rahasia untuk mencari orang. Menurut Sastro di Markas ini sudah kebanyakan
orang lapangan. Aku lagi-lagi bingung. Apakah banyak sekali pemain bola di
Markas ini?
Oh tentu saja tidak. Masalahnya
tidak semudah yang dibayangkan. Kriteria Sastro aneh banget. Mencari orang yang
cekatan maksudnya apaan sih?
Yang dikhawatirkan pun
terjadi.Mencari orang yang cekatan di kumpulan orang-orang aktifis itu sangat sulit.
Aku bisa memilih
perempuan seperti Xia yang sangat ketat dalam audit data. Aku coba ikutin ritme
kerjanya. Wah teliti banget perempuan yang satu ini. Pernah aku bantu input
data penjualan rokok kretek produksi Markas, Xia malah marah-marah karena aku
salah input tabel.
Xia Galak bener. Ah aku mau
bilang Sastro, jangan Xia deh yang dicari. Aku masih kesal diomelin.
Lalu aku coba kepoin Dadang. Dengan menemani Dadang saat buka kedai kopi. Saat Dadang permisi untuk
ke warung sebentar, praktis aku yang menjaga kedai ini. Tiba-tiba ada orang
yang datang dan pesan kopi Vietnam Drip.
Aku langsung cengar-cengir meski gigi ketombean takut ketahuan gak bisa buat
kopi jenis itu. Aku speak-speak saja masak
air biar mateng. Sambil menunggu Dadang kembali dari warung.
Dadang cuma bisa ketawa
saat aku panik tidak bisa bikin kopi Vietnam
Drip. Oke selama aku mengikuti kerja-kerja Dadang, aku yakin banget pasti
Dadang yang selama ini dicari Sastro.
Atau Ijal? Ijal adalah
peneliti buruh tapi saking senang meneliti, kamu nyalain petasan jangwe di di
Markas juga tidak akan mempengaruhi Ijal untuk beranjak dari depan monitor. Aku
pernah dengan senang hati bantu dia mencari data.
Satu jam, dua jam dan
tiga jam sudah berlalu dan akhirnya aku hanya main PS kaset bola sama Ijal dilaptop miliknya.
Enggak jadi deh bantu cari data. Toh Ijal tidak masalah. Dia dengan senang hati
ada orang yang mau menemani hari-hari kesepian nya selama ini. Aku juga yakin
pasti Ijal yang dicari Sastro.
Haruskah Sonen dari
perwakilan Masyarakat Adat? Waduh kata temannya yaitu si Bosrang, Mana mau
Sonen sebagai anak Raja mau jadi staf-nya staf kayak gitu. Ampun deh.
Sisanya hanya anak-anak
organisasi yang doyan rapat dan diskusi, dan aku hanya sering bengong kalau
mengikuti kegiatan-kegiatannya.
Orang-orang di Markas
ini semuanya sangat cekatan. Siapa yang paling cekatan yang dimaksud Sastro? Saat
aku berdiskusi, ternyata Sastro malah berkata selama ini dia hanya mengujiku
untuk ikutin semua tugas yang dikerjakan oleh mereka.
Aku tidak yakin ini
adalah sebuah Prank. Ternyata benar
apa yang dikatakan banyak orang bahwa lelucon yang dibuat oleh bapak-bapak rasanya
garing banget.
Bangke.
Tapi aku senang-senang
saja. Toh aku jadi semakin akrab dengan semua penghuni Markas ini. Setelah
hampir setahun aku menganggur dan hanya aktif berorganisasi saja, kuputuskan
untuk menerima tawaran kerja menjadi pegawai administrasi di sebuah bimbingan
belajar islami.
Sastro tidak
melarangku, tapi dia mengatakan sesuatu padaku. Selama ini sebenarnya AKU lah
orang yang dicari oleh Sastro. Maksudnya bagaimana? Sastro menyuruhku mencari
orang yang cekatan, itu artinya aku
mencari diriku sendiri? apa-apaan sih? makin gak ngerti.
Alipkeriting cuma bisa
ketawa. Dia sudah tahu bahwa aku akan dipercaya oleh Sastro untuk memimpin
Tabloid Mengolah, yang memiliki gaji tentunya. Kini aku harus memilih, aku bisa
nongkrong bareng organisasi sambil punya pekerjaan mengurus tabloid, atau
bekerja di tempat yang sudah capek-capek aku dapatkan selama setahun kurang
ini?
**
Mei 2019.
Aku memutuskan kembali
ke Markas, Setelah tidak lagi menjadi staf pendukung, aku pulang ke Mampang. Berharap masih ada yang bisa
aku cari di sini. Saat aku membuka pintu Markas, ternyata pasukan sudah semakin
banyak. Ada anak-anak muda yang bergiat di seni, politik, dan filsafat. Lalu jumlah aktifis perempuan juga semakin banyak. Kali ini Markas Mampang sudah dipenuhi aktifis-aktifis hebat.
Kedai kopi yang diasuh
Dadang juga masih jalan. Ijal masih tetap stanby
jadi peneliti lepas di depan monitor. Xia dan Alipkeriting sukses melanjutkan
kuliah di luar negeri. Sonen pulang kampung dan berhasil membangun lembaga
pengacara untuk publik.
Mereka sudah melangkah
lebih jauh dibanding tiga tahun yang lalu. Aku yang memutuskan bekerja diluar, hanya mendapati senyuman getir atas pilihanku sendiri. Aku melihat citra yang
berpendar dan berputar-putar di kepalaku seandainya aku mengambil pilihan itu.
Lalu Sastro memanggilku
dari dalam Markas,
“KEMANA SAJA KAU? KALI
INI AKU PERLU BANTUANMU.”***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar