Islam sebagai teologi pembebasan
menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi
tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif, juga sebagai
pendorong sikap kritis.
Dimana kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam
masyarakat satu dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan
bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan
itu sendiri yaitu mengubah nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya
dan teknologi menjadi tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.
(Kredit foto: wikipedia.org)
Oleh Rozi Hariansyah
Asghar
Ali Engineer merupakan pemikir
kontemporer yang membangun reputasinya
sebagai ilmuwan, jurnalis ,reformer sosial, dan aktifis publik. Ketika dunia
sedang tertidur, dia dengan mata terbuka menulis buku, artikel, kolom, dan
memorandum tentang hak-hak sipil. Banyak orang terlantar dan hidup dengan
ketidakpastian yang disebabkan meletusnya kerusuhan kota yang mengerikan. Merekam
kesaksian para aktifis sosial dan politik dalam detik-detik kerusuhan komunal
masa pasca-kemerdekaan india.
Inisiatif-inisiatifnya
reformisnya muncul sebab terlalu sering teraniaya dan diserang secara fisik
dalam kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme, suatu keadaan yang
sangat sensitif diterima rakyat india kebanyakan saat itu.
Asghar
Ali Engineer, dilahirkan dalam keluarga muslim pada 10 maret 1939 di Salumba, Rajashtan,
India. Dimana Sheikh Qurban Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang
bekerja di masjid yang mengelola semacam zakat). Asghar telah diberi penjelasan mengenai tafsir
Al Quran (komentar atau penjelasan tentang firman tuhan), ta’wil (makna ayat AL
Quran yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi) dan hadist (perkataan nabi),
Asghar juga mendapat pendidikan sekular di luar pendidikan agama.
Asghar adalah lulusan teknik sipil dari indore (M.P) dengan tanda kehormatan, dalam pengabdiannya selama dua puluh tahun sebagai insinyur di korporasi kota praja Bombay, Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961.
Asghar adalah lulusan teknik sipil dari indore (M.P) dengan tanda kehormatan, dalam pengabdiannya selama dua puluh tahun sebagai insinyur di korporasi kota praja Bombay, Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961.
Meskipun
Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai pembela sendirian, namun ia tetap
bersikukuh memutuskan diri dalam memerangi intoleransi dan kemunafikan religius.
Eksistensinya betul-betul mengganggu status quo dan ancaman bagi kemapanan
politik bagi mayoritas muslim dan agama di India saat itu.
Keprihatinan
dan kegundahan Asghar mendorongnya untuk menggugat segala bentuk kemapanan yang
menindas dan membodohi kaum yang lemah, pun harus berhadapan dengan pemimpin
teras spiritual, semangat revolusionernya
cenderung bersifat praksis (teori-praktik) ketimbang teoritis semata,
Memahami proyek teologi pembebasan Asghar, memberi pencerahan pada kita mempraktekkan dan memandang sebuah agama. Hal
ini berkaitan dengan proyek teologi pembebasannya yang cenderung praksis. Praksis
yang dimaksud berkaitan dengan interaksi dialektis mengenai “apa yang ada” dan
“apa yang seharusnya. Menurutnya, Islam bersifat liberatif karena bisa
menjadi ancaman bagi status quo atau pelindung ibarat peci dari kemapanan yang
mengeksploitasi kaum yang lemah.
Agama
mesti dilepaskan dari aspek yang bersifat filosofis dan mengawang di langit,
berkembang pada puncaknya sebagai legitimasi kaum penindas. Asghar memberi
pencerahan sebagaimana kekinian, teologi sekarang cenderung bersifat
ritualistik, dogmatis dan bersifat metafisik yang membingungkan dan dikuasai
oleh orang-orang yang duduk nyaman mendukung status quo. Sebuah penampilan yang
sering kita lihat, di satu sisi pembangunan daerah dibangun dengan doa, sajen,
jampi namun korupsi proyek menjadi ajang rebutan tender.
Para Pemimpin daerah membangun bamyak tempat
ibadah untuk khayalak umat. Masjid sana sini, Gereja sini sana dan masih banyak
lainnya. Namun jalanan berlubang bertahun-tahun tidak diperbaiki. Dalih
bersaing saat pemilihan umum, citra baju rapih, lengkap peci menjadi
identifikasi pemimpin yang bersih atas nama identitas, sebuah kegalauan politik
citra di zaman sekarang dan agama sering dipakai dengan konsekuensi yang tidak
bertanggung jawab.
Menurut Asghar teologi pembebasan adalah :
1. Mesti dimulai dengan melihat kehidupam
manusia didunia dan akhirat
2. Anti status quo yang melindungi golongan
kaya daripada golongan miskin
3. Pembela
kelompok tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta membekali senjata
ideologis milik kaum tertindas.
4.
Mempercayai realitas takdir, sebagai
konsep metafisika Islam namun juga manusia bebas
yang berhak menentukan takdirnya dalam berjuang melawan kaum penjajah.
Agama sebagai bentuk kepercayaan dalam kajian
Marxisme, selain menempatkan sebagian unsur agama dalam bentuk ideologi yang
digunakan oleh kelas dominan dan menyamarkan kenyataan dan mengendalikan
kelas-kelas terhisap, juga menjelaskan sebagai empiris dalam wujud analisis
pertarungan kelas dalam kurun waktu tertentu. Sebagai contoh munculnya kelompok-kelompok fundamentalis beratasnamakan
agama yang bersifat fasis sering digunakan kelas penguasa dalam represif dan
melindungi stabilitas politik dan isu-isu krisis yang disembunyikan, seperti pengalihan
isu ekonomi-politik dengan terorisme, penyerbuan dan vandalisme yang bersifat
merusak, Tidak jarang dengan memakai simbol agama secara militan yang anehnya dipelihara
oleh Negara agar tetap hidup.
Dalam
sejarah Islam, dikenal pula beberapa kelompok keagamaan yang menjadikan
ajaran-ajaran Islam sebagai dasar perjuangan revolusioner melawan
penguasa-penguasa yang zalim. Seperti kisah Musa memimpin Bani Israil melawan
tirani Fir’aun yang zalim. Isa bersama kedua belas muridnya menyebarkan agama dalam
bentuk perlawanan dengan Kekaisaran Romawi. serta Muhammad SAW yang rela bunuh
diri kelas (lahir dari Suku Quraisy), dimana Suku Quraisi merupakan kelompok
kelas penguasa yang diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak ingin kemapanannya
diganggu oleh ajaran Islam, yang dibawa oleh Muhammad untuk memihak para budak
dan rakyat kecil di Mekkah.
Pun
dengan Mu’awiyyah, yang merebut kekuasaan kepemimpinan umat Islam setelah
wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Melanggengkan kekuasaan keluarga dengan
mewariskan jabatan pada putranya, Yazid. Sejak itu kepemimpinan dinasti
berlangsung turun-temurun. Islam pun dijadikan ideologi milik kelas
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Layaknya hukum sejarah, dimana
perjuangan kelas dibarengi dengan pertarungan kelas, selalu ada dua kelompok
yang berkontradiktif, kelas penguasa yang menindas dan kelompok teraniaya
ditindas. Muncul lah kelompok-kelompok revolusioner perlawanan dinasti berbalut
Khalifah oleh Khawarij dan Syiah.
ISLAM DAN KEKUATAN SOSIAL
Agama
tidak selamanya menjadi candu dan seperangkat alat kepasrahan hidup. Namun bisa
dipraktekkan sebagai pengubah tatanan sosial yang berkeadilan dan memihak
rakyat yang ditindas penguasa.
Islam
sebagai teologi pembebasan menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas
spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial
sekarang menjadi tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif,
juga sebagai pendorong sikap kritis. Dimana
kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu
dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan bermanfaat bagi
tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri yaitu mengubah
nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya dan teknologi menjadi
tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.
Sebagai
kekuatan sosial, proyek teologi pembebasan Asghar mendapat referensi berlawan
bagi umat Islam dan umat manusia secara umum yang sedang melawan rezim penindas
di berbagai belahan dunia,
Namun
kenyataan di Indonesia, dengan warisan represif Negara yang begitu kuat dan mudah
berubah, nampaknya masih meniduri penganut mayoritas muslim di Indonesia. Tidak
aneh apabila di penghujung Bulan Ramadhan, seketika orang-orang sibuk
bermewah-mewahan dalam menyiapkan hari raya dan sibuk menggadai barang untuk
uang demi barang baru, di lain tempat orang miskin tak berpunya yang makan
daging setahun sekali meratapi keadaan yang tidak mengubahnya sama sekali.
Ambil contoh pada pembagian zakat
fitrah untuk kaum papa tak berpunya. Zakat fitrah merupakan anjuran wajib, tetapi pembagiaannya cenderung tidak merata, yang
setiap tahun kita jumpai orang miskin berdesakkan demi beberapa lembar puluh-ribu
rupiah. Seolah menegaskan jumlah orang miskin semakin bertambah. Di lain tempat
orang kaya berdoa dengan syukuran makan-makan habis memenangkan tender proyek
pembangunan, di lain tempat pula sekumpulan orang menangis menyebut dan meminta
bantuan pada Tuhan akan keserakahan kaum pemodal yang menggusur paksa bangunan
tempat tinggal dan lahan mata pencahariannya yang hilang.
Apakah
agama sebagai teologi pembebasan, sebagai refleksi dan keharusan? keharusan
kontra hegemoni melawan hegemoni penindas atasnama agama.
REFERENSI
Abror.
H robby.2010, Gugatan Epistemologis-Liberatif ASGHAR ALI ENGINEER,
Epistemologis-kiri. Ar-ruzzmedia
Dede
Mulyanto.2011, Agama . Antropologi marx. Bandung : Penerbit buku Ultimus
*Tulisan ini pernah dimuat dalam
akun penulis di situs Kompasiana.com