Selasa, 14 Juli 2015

MENAKAR ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER


Islam sebagai teologi pembebasan menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif, juga sebagai pendorong sikap kritis.  Dimana kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri yaitu mengubah nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya dan teknologi menjadi tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.

(Kredit foto: wikipedia.org)

Oleh Rozi Hariansyah
Asghar Ali Engineer merupakan  pemikir kontemporer yang  membangun reputasinya sebagai ilmuwan, jurnalis ,reformer sosial, dan aktifis publik. Ketika dunia sedang tertidur, dia dengan mata terbuka menulis buku, artikel, kolom, dan memorandum tentang hak-hak sipil. Banyak orang terlantar dan hidup dengan ketidakpastian yang disebabkan meletusnya kerusuhan kota yang mengerikan. Merekam kesaksian para aktifis sosial dan politik dalam detik-detik kerusuhan komunal masa pasca-kemerdekaan india.

Inisiatif-inisiatifnya reformisnya muncul sebab terlalu sering teraniaya dan diserang secara fisik dalam kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme, suatu keadaan yang sangat sensitif diterima rakyat india kebanyakan saat itu.

Asghar Ali Engineer, dilahirkan dalam keluarga muslim pada 10 maret 1939 di Salumba, Rajashtan, India. Dimana Sheikh Qurban Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja di masjid yang mengelola semacam zakat).  Asghar telah diberi penjelasan mengenai tafsir Al Quran (komentar atau penjelasan tentang firman tuhan), ta’wil (makna ayat AL Quran yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi) dan hadist (perkataan nabi), Asghar juga mendapat pendidikan sekular di luar pendidikan agama. 

Asghar adalah lulusan teknik sipil dari indore (M.P) dengan tanda kehormatan, dalam pengabdiannya selama dua puluh tahun sebagai insinyur di korporasi kota praja Bombay, Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961.

Meskipun Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai pembela sendirian, namun ia tetap bersikukuh memutuskan diri dalam memerangi intoleransi dan kemunafikan religius. Eksistensinya betul-betul mengganggu status quo dan ancaman bagi kemapanan politik bagi mayoritas muslim dan agama di India saat itu.

Keprihatinan dan kegundahan Asghar mendorongnya untuk menggugat segala bentuk kemapanan yang menindas dan membodohi kaum yang lemah, pun harus berhadapan dengan pemimpin teras spiritual, semangat revolusionernya  cenderung bersifat praksis (teori-praktik) ketimbang teoritis semata,

Memahami proyek teologi pembebasan Asghar, memberi pencerahan pada kita mempraktekkan dan memandang sebuah agama. Hal ini berkaitan dengan proyek teologi pembebasannya yang cenderung praksis. Praksis yang dimaksud berkaitan dengan interaksi dialektis mengenai “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya. Menurutnya, Islam bersifat liberatif karena bisa menjadi ancaman bagi status quo atau pelindung ibarat peci dari kemapanan yang mengeksploitasi kaum yang lemah.

Agama mesti dilepaskan dari aspek yang bersifat filosofis dan mengawang di langit, berkembang pada puncaknya sebagai legitimasi kaum penindas. Asghar memberi pencerahan sebagaimana kekinian, teologi sekarang cenderung bersifat ritualistik, dogmatis dan bersifat metafisik yang membingungkan dan dikuasai oleh orang-orang yang duduk nyaman mendukung status quo. Sebuah penampilan yang sering kita lihat, di satu sisi pembangunan daerah dibangun dengan doa, sajen, jampi namun korupsi proyek menjadi ajang rebutan tender.

Para Pemimpin daerah membangun bamyak tempat ibadah untuk khayalak umat. Masjid sana sini, Gereja sini sana dan masih banyak lainnya. Namun jalanan berlubang bertahun-tahun tidak diperbaiki. Dalih bersaing saat pemilihan umum, citra baju rapih, lengkap peci menjadi identifikasi pemimpin yang bersih atas nama identitas, sebuah kegalauan politik citra di zaman sekarang dan agama sering dipakai dengan konsekuensi yang tidak bertanggung jawab.

 Menurut Asghar teologi pembebasan adalah :

1.      Mesti dimulai dengan melihat kehidupam manusia didunia dan akhirat
2.      Anti status quo yang melindungi golongan kaya daripada golongan miskin
3.      Pembela kelompok tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta membekali senjata  
         ideologis milik kaum tertindas.
4.     Mempercayai realitas takdir, sebagai konsep metafisika Islam namun juga manusia bebas
       yang berhak menentukan takdirnya dalam berjuang melawan kaum penjajah.

Agama sebagai bentuk kepercayaan dalam kajian Marxisme, selain menempatkan sebagian unsur agama dalam bentuk ideologi yang digunakan oleh kelas dominan dan menyamarkan kenyataan dan mengendalikan kelas-kelas terhisap, juga menjelaskan sebagai empiris dalam wujud analisis pertarungan kelas dalam kurun waktu tertentu. Sebagai contoh munculnya kelompok-kelompok fundamentalis beratasnamakan agama yang bersifat fasis sering digunakan kelas penguasa dalam represif dan melindungi stabilitas politik dan isu-isu krisis yang disembunyikan, seperti pengalihan isu ekonomi-politik dengan terorisme, penyerbuan dan vandalisme yang bersifat merusak, Tidak jarang dengan memakai simbol agama secara militan yang anehnya dipelihara oleh Negara agar tetap hidup.

Dalam sejarah Islam, dikenal pula beberapa kelompok keagamaan yang menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai dasar perjuangan revolusioner melawan penguasa-penguasa yang zalim. Seperti kisah Musa memimpin Bani Israil melawan tirani Fir’aun yang zalim. Isa bersama kedua belas muridnya menyebarkan agama dalam bentuk perlawanan dengan Kekaisaran Romawi. serta Muhammad SAW yang rela bunuh diri kelas (lahir dari Suku Quraisy), dimana Suku Quraisi merupakan kelompok kelas penguasa yang diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak ingin kemapanannya diganggu oleh ajaran Islam, yang dibawa oleh Muhammad untuk memihak para budak dan rakyat kecil di Mekkah.

Pun dengan Mu’awiyyah, yang merebut kekuasaan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Melanggengkan kekuasaan keluarga dengan mewariskan jabatan pada putranya, Yazid. Sejak itu kepemimpinan dinasti berlangsung turun-temurun. Islam pun dijadikan ideologi milik kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Layaknya hukum sejarah, dimana perjuangan kelas dibarengi dengan pertarungan kelas, selalu ada dua kelompok yang berkontradiktif, kelas penguasa yang menindas dan kelompok teraniaya ditindas. Muncul lah kelompok-kelompok revolusioner perlawanan dinasti berbalut Khalifah oleh Khawarij dan Syiah.


ISLAM DAN KEKUATAN SOSIAL

Agama tidak selamanya menjadi candu dan seperangkat alat kepasrahan hidup. Namun bisa dipraktekkan sebagai pengubah tatanan sosial yang berkeadilan dan memihak rakyat yang ditindas penguasa.

Islam sebagai teologi pembebasan menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif, juga sebagai pendorong sikap kritis.  Dimana kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri yaitu mengubah nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya dan teknologi menjadi tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.

Sebagai kekuatan sosial, proyek teologi pembebasan Asghar mendapat referensi berlawan bagi umat Islam dan umat manusia secara umum yang sedang melawan rezim penindas di berbagai belahan dunia,

Namun kenyataan di Indonesia, dengan warisan represif Negara yang begitu kuat dan mudah berubah, nampaknya masih meniduri penganut mayoritas muslim di Indonesia. Tidak aneh apabila di penghujung Bulan Ramadhan, seketika orang-orang sibuk bermewah-mewahan dalam menyiapkan hari raya dan sibuk menggadai barang untuk uang demi barang baru, di lain tempat orang miskin tak berpunya yang makan daging setahun sekali meratapi keadaan yang tidak mengubahnya sama sekali.

Ambil contoh pada pembagian zakat fitrah untuk kaum papa tak berpunya. Zakat fitrah merupakan anjuran wajib, tetapi pembagiaannya cenderung tidak merata, yang setiap tahun kita jumpai orang miskin berdesakkan demi beberapa lembar puluh-ribu rupiah. Seolah menegaskan jumlah orang miskin semakin bertambah. Di lain tempat orang kaya berdoa dengan syukuran makan-makan habis memenangkan tender proyek pembangunan, di lain tempat pula sekumpulan orang menangis menyebut dan meminta bantuan pada Tuhan akan keserakahan kaum pemodal yang menggusur paksa bangunan tempat tinggal dan lahan mata pencahariannya yang hilang.

Apakah agama sebagai teologi pembebasan, sebagai refleksi dan keharusan? keharusan kontra hegemoni melawan hegemoni penindas atasnama agama.

REFERENSI
Abror. H robby.2010, Gugatan Epistemologis-Liberatif ASGHAR ALI ENGINEER, Epistemologis-kiri. Ar-ruzzmedia
Dede Mulyanto.2011, Agama . Antropologi marx. Bandung : Penerbit buku Ultimus

*Tulisan ini pernah dimuat dalam akun penulis di situs Kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar