Kamis, 01 September 2016

WUJUD PERLINDUNGAN SOSIAL TRANSFORMATIF, APA TANTANGAN YANG MESTI DIHADAPI?

Perlindungan sosial yang transformatif merupakan wujud perluasan dari perlindungan sosial yang sedang diterapkan di Indonesia. Program perlindungan sosial yang berlangsung sekarang diyakini masih belum menyentuh akar kebutuhan hidup rakyat Indonesia dan menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Semua bentuk perlindungan sosial tersebut lebih bersifat bantuan sosial yang hanya menciptakan ketergantungan terhadap bantuan yang diberikan oleh negara tanpa ada solusi untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara. Perlindungan sosial yang transformatif diharapkan menjadi sebuah gagasan yang muncul untuk melampaui kelemahan dari perlindungan sosial sebelumnya.

Oleh: Rozi Hariansyah & Dadan Abdullah*
Perlindungan sosial yang transformatif sendiri merupakan gagasan yang muncul dari makna demokrasi. Partisipasi dari masyarakat menjadi kata kunci dari kehidupan demokrasi, begitu juga dalam penyelenggaraan perlindungan sosial yang mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat.

Menurut Wasi Gede, peneliti dari lembaga riset Inkrispena, mengatakan bahwa makna gagasan tersebut menyaratkan adanya metode penyelenggaraan yang bersifat partisipasi dari setiap masyarakat. Bentuk partisipasi dalam wujud perlindungan sosial yang transformatif ini mengikuti proses demokratik, yaitu menentukan apa yang dibutuhkan, mengetahui apa yang dibutuhkan, dan adanya jaminan kebutuhan hidup masyarakat yang diakomodir oleh Negara.

Namun pada prakteknya, perlindungan sosial yang transformatif harus memiliki pengertian yang lebih luas dari kebijakan perlindungan sosial sekarang. Ruth Indiah Rahayu, aktifis dan peneliti dari lembaga riset yang sama, menjelaskan bahwa perlindungan sosial transformatif dalam skema kebutuhan rakyat secara luas merupakan alternatif dari skema jaminan sosial menurut kebijakan pemerintah yang diterapkan sekarang. Perlindungan sosial tersebut dirumuskan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) tahun 2004, UU Kesejahteraan Sosial No 11 Tahun 2009 dan UU BPJS Tahun 2011, yang lebih didominasi oleh kepentingan elit politik yang berkuasa.

Masih menurut Ruth Indiah Rahayu, perlindungan sosial yang transformatif harus bersifat “bottom up”, maka untuk  merumuskan gagasan transformatif perlu adanya serangkaian lokakarya dan diskusi dengan basis-basis rakyat di gerakan sosial dan melahirkan solusi gagasan nyata untuk mengabarkan nya ke masyarakat secara luas.

Mohammad Zaki, dari Partai Rakyat Pekerja (PRP) mencontoh kan perlindungan sosial yang bersifat “bottom up” melalui proses penentuan anggaran yang bersifat partisipatoris di negara Brazil. Di setiap distrik, dimana memiliki dewan anggaran yang memiliki perencanaan anggaran. Jadi anggaran dibutuhkan dan dirumuskan oleh kebutuhan masyarakat sesuai lapisan struktur politik paling bawah. Bila dicontohkan di Indonesia, mencakup wilayah kelurahan, rukun warga atau rukun tetangga. Metode penyelenggaraan partisipasi masyarakat secara luas , diyakini dapat mengetahui kebutuhan masyarakat itu sendiri bukan hanya oleh segelintir elit atau ahli.


Merdeka.com


Berkesadaran Warga Negara
Turut serta nya masyarakat secara kolektif ikut menentukan rencana kebutuhan hidup, yang melahirkan perlindungan sosial alternatif juga diamini oleh Sapei Rusin, Koordinator Majelis Pengarah Organisasi (MPO) Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), yang mengatakan bahwa mewujud kan perlindungan sosial yang transformatif dapat dimulai dari sisi masyarakat. Cara nya dengan membangun kesadaran bekerja secara kolektif dalam membangun sistem perlindungan sosial sehari-hari, berbasis kemandirian dan keswadayaan masyarakat seperti dengan penyelenggaraan ekonomi bersama, pemilikan tanah komunal, dan membiasakan kegiatan berbudaya lokal. Hal tersebut dapat membangun masyarakat untuk selalu bergotong-royong.

Praktek tersebut nyatanya masih mendapat hambatan. Misalnya mengenai kehidupan petani di sektor wilayah pedesaan. Menurut Yayan, ketua KPRI Wilayah Jawa Barat mengatakan bahwa yang terjadi hari ini sarat dengan kepentingan kekuasaan dan kepentingan politik praktis. Untuk mewujudkan perlindungan sosial yang transformatif dari sisi masyarakat, dimana masyarakat sampai hari ini lebih banyak menerima program perlindungan sosial yang hanya bersifat bantuan seperti beras miskin (Raskin), bantuan langsung tunai (BLT), dan lebih menciptakan ketergantungan pada bantuan sosial alih-alih untuk meningkatkan kualitas hidup petani.

Yayan menuturkan seharusnya perlindungan sosial yang transformatif berbicara mengenai peluang kemandirian hidup petani. Negara harus mewujudkan kehidupan petani yang sebenarnya. Seperti petani yang memiliki tanah dan dijamin oleh Negara, sebab faktanya sudah banyak petani yang berpindah menjadi buruh-tani karena tidak lagi memiliki tanah. Belum lagi persoalan kebutuhan sosial secara umum di setiap desa yang kehidupannya masih dibawah garis kemiskinan, seperti tempat tinggal layak, pendidikan sekolah murah dan perbaikan infrastruktur jalan.  Maka perlu ada penyadaran secara luas bahwa petani merupakan bagian dari Warga Negara yang hak nya harus terpenuhi.

Senada dengan hal tersebut, Anwar Sastro Maaruf, Sekretaris Dewan Pimpinan Nasional (DPN) KPRI, menjelaskan bahwa membangun kesadaran sebagai Warga Negara harus dilakukan sebagai bagian dari wujud perlindungan sosial yang transformatif. Namun Negara juga bisa menghegemoni sebuah kebijakan agar masyarakat selalu bergantung kepada bantuan sosial yang selalu diberikan pemerintah. Contohnya kebijakan jaminan sosial di kehidupan sektor pekerja/ buruh perkotaan. Perlindungan sosial bagi buruh selalu dipahami sebagai jaminan kepastian pekerjaan yang layak dan bermartabat, yang pada akhirnya buruh hanya mengetahui perlindungan sosial sekedar dibatasi jaminan sosial.

Masih menurut Sastro, yang memiliki pengalaman memimpin serikat buruh selama puluhan tahun, bahwa sampai saat ini kaum buruh masih terjebak pada perjuangan hak isu normatif. Salah-satunya memperjuangkan hak upah yang layak. Selama ini menurut kaum buruh, pemahaman perlindungan sosial sebatas hanya melalui apa yang sudah diberikan oleh perusahaan atau tempat nya bekerja. Buruh pun harus mulai membangun kesadaran partisipatif sebagai warga negara yang aktif memperjuangkan isu-isu diluar hak normatif nya. Di sebagian serikat buruh sudah ada peningkatan kesadaran memprotes berbagai kebijakan pemerintah seperti kelemahan BPJS, pendidikan murah, perumahan layak, dan transportasi publik yang nyaman. Berkesadaran sebagai warga negara ini yang menjadi tantangan bagi buruh untuk menjadi pra-syarat mewujudkan perlindungan sosial yang transformatif.

Perlindungan Sosial Yang Menyeluruh
Perlindungan sosial di Indonesia secara konsep dapat ditemukan dalam naskah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ketika Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat itu menyusun pasal 33 UUD 1945 yang secara eksplisit menjelaskan negara menguasai dan mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Ditambah dengan rumusan pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dari dua pasal tersebut sudah menjelaskan secara langsung tanggung jawab negara Republik Indonesia memberi perlindungan sosial untuk rakyat nya.

Perlindungan sosial juga diatur dalam undang-undang kesejahteraan sosial nomor 11 tahun 2009. Undang-undang tersebut berisi tentang komponen perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan jaminan sosial. Perlindungan sosial dalam undang-undang tersebut dianggap sebagai satu implementasi dari komponen kesejahteraan sosial.

Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Doni Setiawan, Sekretaris Jenderal dari lembaga Perkumpulan Inisiatif yang mengatakan perlindungan sosial yang dimaksud untuk merespon kerentanan warga, dan antisipasi dari kerentanan baik karena bencana alam, konflik dan yang lainnya. Sementara yang sifatnya langsung  berhubungan dengan pelayanan publik, seperti sosial  pendidikan, kesehatan dan macam lai nya juga diatur dalam undang-undang tersebut.

Doni juga menambahkan, skema perlindungan sosial tersebut secara komprehensif sudah menjelaskan bahwa masyarakat sudah terpenuhi layanan publiknya, misal akses kesehatan terpenuhi. Masyarakat yang rentan seperti kelompok miskin, manula, anak-anak dan masyarakat yang butuh bantuan hukum juga ikut terpenuhi. Masih menurut Doni, skema perlindungan sosial ini tentu belum sempurna, sebab di dalam nya masih memiliki masalah dari tergantung kebijakan elit politik mengimplementasikan nya dengan baik.

Masalah dari implementasi kebijakan negara tersebut dikemukakan secara tegas oleh Sapei Rusin, yang menjelaskan bahwa undang-undang itu menempatkan perlindungan sosial hanya untuk menghadapi goncangan yang dihadapi oleh masyarakat pada situasi tertentu. Seperti bencana, wabah, dan sebagai nya. Sehingga perlindungan sosial itu sejajar dengan bantuan sosial, yang tidak cukup komprehensif sebagai program ekonomi politik yang memastikan keterjaminan atau terpenuhinya hak-hak sosial ekonomi politik masyarakat. Secara prinsip, nampaknya untuk mewujudkan partisipatif dan pola redistribusinya maksimal untuk membangun kualitas hidup rakyat  tampaknya belum ada.

Pemahaman ini diperjelas oleh Harry Wibowo, peneliti dan juga aktifis ham yang mengatakan  perlindungan sosial yang transformatif harus dibuat secara menyeluruh  untuk membangun life-cycle  (lingkaran kehidupan) demi meningkatkan kualitas hidup rakyat. Untuk mewujudkan perlindungan sosial yang transformatif, perlu ada nya perencanaan dari partisipasi masyarakat. Namun orang sering memisah-misah praktek jaminan sosial. Misal mengenai jaminan sosial, orang hanya tahu mengenai praktek di dalam BPJS.

Padahal masih menurut Harry Wibowo, sebagai contoh hak atas kesehatan sering dipahami agar membuat orang menjadi tidak sakit. Seharusnya setiap orang berhak diberikan standar tertinggi kesehatan yang disediakan Negara. Hak atas tempat tinggal memiliki pengertian yang sama. Bila orang tidak punya rumah, sementara itu adalah bagian  hak mendasar, maka Negara harus menyediakannya. Begitu juga dengan pendidikan. Negara berfungsi untuk memenuhi hak-hak tersebut. Bila ada anak yang putus sekolah, maka bagaimana Negara harus menyekolah kan anak tersebut. Wacana pendidikan sebagai hak publik dari yang biasa nya hanya dikritisi dari segi pembiayaan, tetapi dalam skema gagasan perlindungan sosial yang transformatif, pendidikan  juga harus mencakup soal kurikulum sampai penentuan kurikulum pendidikan

Mohammad Zaki juga memberi penjelasan mengenai tantangan yang akan dihadapi perlindungan sosial yang transformatif. Di Indonesia, selain harus memperbaiki masalah di sistem jaminan sosial, harus dipahami juga bahwa di industri kesehatan pun bermasalah. Ambil contoh Di Negara Inggris, dari segi  jumlah rumah sakit publik dan dokter yang dimiliki Negara sangat melimpah. Bahkan di rumah sakit swasta, dokter Negara boleh bekerja di sana. Berbeda dengan di Indonesia yang masih  minim gagasan  terkait dengan memperbanyak dokter Negara dan meningkatkan jumlah rumah sakit yang dimiliki oleh Negara. Dalam hal ini sudah jelas terlihat bahwa di Indonesia sendiri, modus operasi kesehatan adalah dengan mencari laba atau keuntungan. Zaki menambahkan apabila perlindungan sosial selalu bersifat mencari untung seperti bisnis alih-alih meningkatkan kualitas kehidupan rakyat, maka pelaksanaan perlindungan sosial tersebut akan selalu merasa terbebani defisit anggaran.

Anggaran Tepat Guna
Berbeda dengan  perlindungan sosial yang memiliki modus mencari untung, perlindungan sosial yang transformatif  harus membuat perencanaan anggaran yang tepat guna. Menurut Doni Setiawan, Anggaran merupakan instrument untuk mewujudkan pembangunan suatu Negara. Sehingga anggaran yang digunakan untuk mencapai tujuan Negara, yaitu untuk sebesar-besarnya digunakan demi kemakmuran rakyat.

Namun pertanyaannya, bagaimana formulasi perencanaan anggaran dari pusat ke daerah? Banyak riset dan analisis yang dilakukan bahwa penerima manfaat dalam Negara ini mayoritas adalah penyelenggara Negara sendiri, bukan rakyatnya. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan keuangan Negara masih belum baik, dan belum dapat digunakan sebesar-besarnya untuk mendorong kemakmuran rakyat.

Doni Setiawan menjabarkan bahwa untuk menerapkan kebijakan perlindungan sosial harus dilihat dari sumber pendapatan anggaran tersebut. Misalnya, berapa anggaran pemerintah untuk mengalokasikan anggaran jaminan sosial? Dari mana sumber anggarannya? di dalam UU kesejahteraan sosial menjelaskan bahwa sumber pembiayaan untuk mewujudkan perlindungan sosial dibuat cukup melebar. Ada yang dibiayai pemerintah, Ada yang dibiayai oleh  swasta, Ada yang  dibiayai masyarakat, bahkan boleh dibiayai bantuan-bantuan lain termasuk asing. Masih menurut Doni Setiawan, yang mengatakan bahwa alokasi anggaran jaminan sosial dan perlindungan sosial kurang lebih sekitar 130 triliun. dari total penerimaan APBN sebesar 3000 triliun rupiah pada tahun 2015. Ini artinya  alokasi anggaran tersebut hanya kurang dari 20 persen, sambungnya.

Di satu sisi dengan ruang lingkup yang sangat melebar dan menyebabkan bias keberpihakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial terutama dari aspek pembiayaan dan sumberdaya yang digunakan, Negara dapat mengklaim bahwa sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas untuk mewujudkan perlindungan sosial. Sehingga Negara membuka ruang bagi partisipasi warga, dan mendorong pihak swasta untuk terlibat di penyelenggaraan jaminan sosial.

Sapei Rusin menjelaskan bahwa pemanfaatan anggaran dalam perlindungan sosial yang transformatif dapat disiapkan dari pengoptimalan pendapatan Negara. Dari sisi belanja, bagaimana alokasi yang serius untuk program perlindungan sosial. Senada dengan hal tersebut, Doni Setiawan juga menambahkan bahwa ada tiga hal yang harus diuji dalam alokasi penganggaran perlindungan sosial, yaitu menguji UU kesejahteraan sosial, menguji kapabilitas kemampuan oleh Negara dan menguji implementasi di lapangan. Sebab perlindungan sosial masih menjadi tanggung-jawab Negara, namun semua pihak sampai masyarakat marjinal juga harus terlibat merencanakan sampai tahap mengawasi anggaran.**



 * Tulisan ini merupakan laporan utama ke-dua dalam Tabloid Bergerak yang dapat diunduh di situs http://pergerakan.org/perlindungan-sosial-untuk-siapa/. Tulisan ini diedit kembali sesuai kebutuhan.

** Biodata Penulis










Rozi Hariansyah, Alumni IISIP Jakarta. Bekerja di Tabloid Bergerak.








Dadan Abdullah, Mahasiswa Universitas Subang. Aktif sebagai anggota Pergerakan Inisiatif Rakyat Subang (PIRS).

Diskusi Kopi Sampai Politik Elektoral: Mewujudkan Partai Politik Alternatif Milik Rakyat.

Gerakan sosial di Indonesia selalu bergerak menuntut perubahan sosial yang lebih baik. Tentunya perubahan sosial itu harus meliputi perubahan di semua lini, yaitu tingkat ekonomi, politik dan budaya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka beberapa organisasi sosial sudah memulai berkonsolidasi diri membentuk sebuah gerakan politik yang bersifat alternatif. Itu artinya gerakan sosial ini sudah saatnya membangun partai politik alternatif.

Topkids.id


Oleh: Rozi Hariansyah
Realisasi ini yang  menjadi topik pembahasan dalam acara  diskusi ringan bertema “Politik Elektoral 2019 dan Prospek Gerakan Rakyat” yang diselenggarakan oleh Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) pada pertengahan bulan agustus tahun 2016 yang lalu. Acara tersebut juga dihadiri oleh lima puluh orang yang berasal dari organisasi  anggota KPRI sendiri maupun organisasi lain yang diundang oleh KPRI.

Sebelum memulai acara, KPRI turut memperkenalkan sebuah Kedai kopi bernama KaPe RI yang beralamat di Jl Mampang Prapatan IV, No.80 Jakarta Selatan.  Sebagai wujud kemandirian ekonomi yang selama ini digagas oleh KPRI, tentunya hasil produksi dari serikat dan organisasi rakyat yang menjadi anggota KPRI, dapat dikelola dengan sebaik mungkin.

Kedai kopi ini menurut Anwar Maaruf, merupakan wujud salah-satu mandat dari Kongres KPRI yang ke-4, sesuai tiga pilar perjuangan, yaitu : perjuangan ekonomi, perjuangan politik dan perlindungan sosial transformatif.

“KPRI sudah memulai sebuah agenda kemandirian ekonomi dalam pengelolaan produksi kopi. Biji kopi yang kita produksi, sebagian besar dihasilkan dari tanah-tanah hasil reclaiming (perjuangan membebaskan tanah kembali yang sudah direbut oleh perusahaan). Kopi mungkin hanya sebagai salah satu simbol, tapi memiliki makna panjang perjuangan. Mulai dari proses produksi ditanam, dipetik, didistribusikan dan diolah di rumah produksi kopi yang beralamat di Bandung. Ternyata kita dapat menghasilkan sebuah kopi premium atau kopi murni yang berbeda dengan kopi residu sebagai sisa ampas kopi yang diekspor ke negara lain. Kopi kualitas single origin ini kami beri nama Kopi Congress“ ujar Anwar dalam perkenalannya mengenai kopi.


Pergerakan.org


Acara diskusi berlanjut. Untuk memantik diskusi mengenai pembangunan partai politik elektoral, Menurut Sapei Rusin, tahapan menuju sebuah pembangunan partai politik elektoral yang bersifat alternatif, harus dimulai dengan membangun kesadaran politik di tingkat massa organisasi akar rumput. 

“Kita harus memulai membangun kesadaran politik di berbagai sektor organisasi rakyat yang ada sekarang. Sangat penting untuk kawan-kawan yang beraktifitas mengorganisasi gerakan agar selalu konsisten untuk membangun partai politik alternatif yang memperjuangkan nasib dirinya sendiri.” Ujar Sapei yang aktif sebagai Kordinator Majelis Pengarah Organisasi (MPO) KPRI.

Sapei juga mengatakan bahwa organisasi rakyat yang ada sekarang harus bergerak melampaui kegiatan rutinitas seperti advokasi kasus dan aksi-aksi yang dilakukan dalam setiap momentum.

“Kita perlu memperjuangkan lebih jauh sebuah capaian organisasi yang selama ini sudah dilakukan oleh kawan-kawan yang bergerak untuk melindungi anggota, seperti advokasi dan melakukan aksi dalam setiap momentum baik momentum besar seperti hari buruh dan hari tani. Capaian tersebut adalah pembangunan partai politik alternatif yang lahir dari kepentingan rakyat itu sendiri.” tambah Sapei.


Pergerakan.org


MELAWAN POLITIK DIASPORA
Selama ini menurut Dirga, berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI, yang mengatakan bahwa menjelang pemilihan umum, tokoh yang muncul berdasarkan figur seperti artis cenderung menurun dalam meraih popularitas, sementara tokoh yg lahir dari gerakan akar rumput memiliki kecenderungan meraih popularitas yang meningkat. Ini adalah sebuah fenomena yang harus disikapi serius di tingkat organisasi rakyat. Namun kenyataannya, saat ini banyak dari pemimpin organisasi rakyat yang ada di Indonesia lebih memilih jalur diaspora (menyebar) ke partai politik borjuasi.

“Artinya ada peluang dari gerakan sosial untuk mengusung tokoh populis yang memiliki pengalaman membangun organisasi rakyat. Namun untuk mengusung tokoh populis ini, harus menyertakan ada nya partai politik yang dibangun sendiri oleh gerakan rakyat. Partai politik yang dibangun oleh gerakan rakyat ini harus mengikuti jalur politik elektoral untuk menjadi wadah politik bagi pemimpin potensial yang lahir dari gerakan rakyat. Hal ini menjawab bahwa posisi yang selalu mengandalkan strategi berdiaspora harus segera ditutup.”

Politik berdiaspora ini dapat dihentikan dengan melakukan penyadaran politik di tingkat basis-basis organisasi rakyat. Penyadaran politik ini dapat berupa pendidikan politik mengenai pembangunan partai politik dan strategi menghadapi momentum politik elektoral seperti pemilihan umum di tingkat akar rumput. Tetapi, menurut Erni, sebagai pendamping petani anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) Kabupaten Tasikmalaya, yang mengatakan bahwa masyarakat pedesaan khususnya petani, mereka tidak seluruhnya menjadi apatis terhadap kehidupan berpolitik.

“Dari pengalaman melakukan pendampingan terhadap kehidupan sehari-hari petani. Saya melihat apa yang dibicarakan petani terkait politik. Di satu sisi mereka sadar bahwa sampai saat ini petani hanya menjadi alat pendulang suara momentum pemilihan umum. Artinya petani sadar bahwa partai politik yg ada sekarang belum bisa mengakomodir kepentingan petani. Sebab di benak mereka, siapapun pemimpin yang terpilih nanti sulit bagi mereka untuk mengaktualisasikan kepentingan petani. Namun di sisi lain, mereka juga memiliki kerinduan terhadap kehidupan yg lebih baik dr aspek politik di tataran elitis, seperti pimpinan organisasi, atau aktifis yang selalu mendampingi advokasi masalah tanah dan sebagainya.Mereka hanya percaya kepada figur yang selalu hadir untuk petani. Hal ini yang mengakibatkan petani tidak terlalu percaya kepada partai politik. Saya sepakat bahwa sudah saatnya pendidikan politik akan pentingnya partai politik alternatif untuk membawa kepentingan isu petani dan kepentingan sektor rakyat lainnya.”

Kecenderungan politik berdiaspora ini yang menjadi sebuah kebiasaan yang sering dilakukan menjelang pemilihan umum di tingkat gerakan sosial. Ada hal strategis yang diperhitungkan untuk kepentingan basis di organisasi rakyat.

Hal itu tidak perlu lagi dilakukan menurut Andreas Iswantoro, anggota Serikat Hijau Indonesia (SHI). Agar tidak lagi memakai strategi politik menyebar ke partai politik borjuasi. Partai politik yang dibangun bersama-sama oleh gerakan sosial dapat dimulai dari kesamaan ideologi. 

“Pengalaman kami di level gerakan lingkungan, belum ada pengurus SHI yang berdiaspora masuk partai politik yg lain. Sebab belum ada isu gerakan lingkungan sampai level nasional.”. tambah Andreas yang juga berprofesi sebagai seniman di Galleri Lentera Pembebasan.

Senada dengan hal tersebut. Yoga mengatakan bahwa gerakan rakyat memang harus mengubah bentuk menjadi sebuah gerakan politik. Indikatornya adalah  menyamakan visi gerakan dan menyosialisasikannya kepada orang banyak. 

“untuk gerakan rakyat yg sedang dibicarakan saat ini. Dasar peringkatnya memang harus berdasarkan visi yang sama. Agar kita memiliki dasar mengajak orang lain untuk membangun perjuangan politik elektoral.” Ujar Yoga yang pernah menjadi anggota serikat pekerja salah satu Perusahaan Media Cetak.

KONSOLIDASI VISI
Acara diskusi semakin menarik. Beberapa orang yang hadir mulai menyampaikan pendapat. Dengan diselingi hidangan makanan tradisional seperti singkong dan pisang rebus yang memang sengaja disajikan untuk menemani kopi, diskusi pun terus berlanjut. Pembahasan kali ini dibuka mengenai tahapan apa yang akan dipersiapkan bila organisasi rakyat serius untuk mendaftarkan diri menjadi sebuah partai politik yang siap ikut pemilu.

Upaya mewujudkan gerakan sosial  menjadi sebuah gerakan politik tentu mendapat sebuah tantangan dari aturan yang berlaku untuk menutup ruang muncul nya partai-partai baru. John Muhammad, dari Partai Hijau Indonesia (PHI) menjelaskan bahwa PHI selama ini sudah berusaha mengonsolidasikan secara internal dari anggota dan pengurus untuk mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak bulan juli 2016 di 9 provinsi. Menurutnya dengan adanya tafsir yang berbeda mengenai UU Pemilu, maka sangat mempengaruhi kerja dari PHI itu sendiri. 

“Menurut UU Pemilu yang baru, batas waktu untuk mendaftar sebagai partai elektoral adalah 2,5 tahun setelah pemilu 2014, itu artinya adalah sebelum bulan oktober 2016. Akan tetapi ada perbedaan tafsir dari Departemen Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) yang mengatakan bahwa sebelum Bulan Oktober , harus dilakukan verifikasi. Jelas ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap UU itu sendiri. Hal ini menyebabkan PHI pada akhirnya tetap membutuhkan kekuatan dari teman-teman gerakan sosial untuk menyatukan visi yang sama sebagai salah satu peserta partai politik elektoral.

Undang-Undang Pemilu ini dijelaskan lebih jauh oleh Muhammad Ridha, menurutnya Undang-undang ini sudah masuk menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas). 

“Ini artinya UU tersebut sudah menjadi satu mengenai pemilihan di tingkat DPR, DPD dan Presiden. UU pemilu ini semakin memperkecil peluang membuat partai baru. Di dalam naskah akademik DPD ternyata tidak memiliki payung hukum yang jelas. Tuntutan kita seharusnya tidak hanya terkait UU Sistem Pemilu, tetapi juga mengenai UU Sistem Kepartaian. Masalah yang muncul adalah UU ini dapat mengecilkan perayaan demokrasi rakyat.”ujar Ridha yang juga menjabat sebagai Sekretaris Wilayah KPRI DKI Jakarta.

Ada nya Multitafsir terhadap UU Pemilu tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Dirga, yang mengatakan bahwa memiliki konsekuensi bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pemilu proposional yang tertutup. “Ada esensi bahaya yang selalu disebut kan bahwa APBN selalu krisis dan Pemerintah dapat menjustifikasi penyelenggaraan pemilu harus efisien, mudah dan murah.” lugas Dirga yang berprofesi sebagai peneliti Pusat Kajian Politik UI

Acara diskusi dan halal bi halal yang diselenggarakan KPRI akan berakhir. Acara yang berlangsung kurang-lebih empat jam ini dimulai pada pukul 14.00 Wib. Sebelum acara benar-benar ditutup oleh moderator, Dirga memberi pendapat tambahan untuk strategi ke-depan.


Dinamika di ruang politik elektoral memiliki dua hal yg harus diintervensi. Bila pemerintah sudah memutuskan akan memilih sistem proposional yg sama, dan sebelum itu berubah, kita dapat rumuskan bahwa kita harus bergerak dlm level praktek dan memiliki posisi. Cara ini yang paling murah untuk memanfaatkan elektoral dan menghadirkan eksistensi wadah menjadi sebuah partai politik elektoral yang solid.” tutup nya. *


*Tulisan ini sebelumnya dibuat dalam bentuk straight news di situs http://pergerakan.org/politik-elektoral-2019-partai-politik-alternatif-dan-tantangan-regulasi/.