Minggu, 24 Maret 2019

POLITIK TERMINAL

Kamu akan mengira bahwa setiap yang kita pelajari, belum pasti akan berguna. Ilmu yang kamu dapat sewaktu di bangku sekolah, kuliah sampai kamu bekerja. Apakah semua ilmu itu kamu pakai saat kamu sudah lulus dan bekerja sekarang ? Kamu mungkin saja benar. Tetapi kamu punya pilihan untuk yakin dengan ilmu yang kamu punya. Yakin berguna atau tidak? Seperti penggalan dalam lirik lagu Band Rock RIFF, “Oh..oh..oh oww..oh..oh.oh .oww, aku-salah-naik -jurusan.” Seperti  itu lah kalau kamu belajar Ilmu Politik.

Yakin saja, kalau kamu sedang tidak salah jurusan.

Image result for ilustrasi terminal ramai
(Sumber: Elshinta.com)

OLEH ROZI HARIANSYAH

Panas terik matahari seperti membakar kulitku. Seperti ini suasana siang yang aku lalui sambil memboncengi manusia goa si Alipkeriting, yang terburu-buru untuk sampai ke kampus. Ceritanya aku dan Alipkeriting sedang pulang kampus. Mencari mantan dosen kita sewaktu berkuliah dahulu. Cuma masalahnya kita sudah telat ini. Janjian ketemu jam satu siang, baru berangkat jam dua siang. Memangnya jarak dari Mampang ke Lenteng Agung itu dekat? Alipkeriting pakai marah-marah lagi, gara-gara telat. Wong dia yang bikin telat. Dia baru bangun tidur aja jam dua belas. Kalau aku kesal, aku bikin terbang juga ini sepeda motor.

Kita sudah sampai di kampus. Mengingat aku bukan lagi mahasiswa, melihat anak-anak milenial berlalu-lalang menuju kelas kuliah ataupun tongkrongan masing-masing, aku jadi bingung. Sepertinya waktu cepat sekali berlalu.

Ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di halaman kampus. Maju beberapa langkah, beberapa anak kuliahan bertampang "ih ngeri" nongkrong sepanjang jalan menuju gedung kuliah. Belum lagi gerombolan para pembawa kresek item, lagi mata berwarna merah suka meracau tidak jelas. Tapi kalau kamu mau coba main-main ke Musala kampus, hatimu jadi terasa adem. Banyak juga mahasiswa yang berdakwah mengajak kebaikan.

Janganlah kamu sekali-kali ikutan main kartu gaplek dibawah pohon ceri tidak jauh dari perpustakaan, kamu bakal kena omel dan disindir, "main gaplek yes, baca buku no". Enggak-enggak, makna tulisannya terbalik. Lalu tinggal kamu loncat menuruni anak tangga, kamu pasti akan berfikir bakal ikutan main bola plastik sama senior-senior gokil bertelanjang kaki, yang secara brutal mengubah lapangan tenis meja jadi lapangan bola. Dan berteriak "bakarlah".

Buseh, main bola sambil ngerokok.

Bayangan keramaian itu seketika sirna. Ternyata kampus sedang direnovasi. Meski gedungnya sendiri baru saja dibangun ulang. Alipkeriting berjalan menuju ruangan dosen yang baru. Aku malas menunggu lama, dengan alasan ingin ke kamar mandi. Tapi si Alipkeriting malah bilang begini,

Alipkeriting : Bilang aja lau mau nyepikin cewek-cewek disini, jangan lupa itu resleting celana dibenerin.

Alipkeriting sok tahu banget. Tapi dia benar juga kalau resleting celanaku sedang terbuka. Untung saja hari ini aku pakai celana boxer, hehe.

Aku melangkah menjauh dari Alipkeriting. Biar dia mengurusi urusannya sendiri.  Aku beneran ke kamar mandi dahulu karena kebelet. Tahu gitu buka celana saja sekalian dari tadi.
***
Pertengahan April 2012.

Hanya ada satu kata, Mampus. Aku sudah telat nih masuk jam kuliah hari ini. Sebab jam setengah sebelas ada kelas mata kuliah oleh Pak Nazi. Mata kuliah Pemikiran-Politik Negara-Berkembang. Aku lihat jam di handphone, sekarang jam sebelas lewat lima belas menit. Aku langsung berlari, menaiki tangga, mendaki gunung, melewati lembah yang curam dan panjat tebing untuk sampai di puncak. Aku tahu kalau aku sebaiknya masuk Rumah Sakit Jiwa saja. Karena kelasku sebenarnya berada di lantai empat, mau ngapain sampai bawa-bawa tas ransel naik gunung? untung saja Pak Nazi belum datang di dalam kelas.

Aku buka pintu dan semua kaget. Bio yang lagi baca-baca makalah tugas sedikit lebih lega karena yang datang bukan Pak Nazi. Jek dan Pepe lagi main ceng-cengan ngeledekin Steven yang bangga-banggain kemeja yang sedang dipakainya. Kemejanya bertuliskan “Partai-Nasgor-Restoran-Indonesia”. 

Alipkeriting cengar-cengir karena dia berharap aku sudah mengerjakan tugas makalah. (Senyum mesumnya sudah ketahuan berharap dia nitip-nama meski aku yang mengerjakan tugas makalah ini sendirian). Lalu Ijar yang sedang tidur-tiduran eh ternyata tidur beneran. Beberapa anak politik sedang debat-debat tentang Pilkada DKI Jakarta yang sebentar lagi dilaksanakan. Aku sendiri tidak tahu mereka ngomong apa karena tidak ada subtitle penjelas dibawahnya. Sisanya anak-anak jurusan dari hubungan internasional yang kelihatan lagi boring, sebab mereka tahu, satu kelas dengan anak-anak jurusan ilmu politik, itu berarti kamu harus siap-siap mengantuk. 

Eh tapi ada Mas Lukas di kelas ini. Dan Mas Lukas memanggil aku,

Mas Lukas : Ojin, tugas dah kelar? Kemarin bagaimana bahan yang gue kasih udah terkirim kan?

Gue : Sudah Mas, makasih banyak Mas Lukas.

Sambil berterima kasih aku memperlihatkan judul tugas makalah-ku, PEMIKIRAN-POLITIK NEGARA-NEGARA-DI-DUNIA-KETIGA-STUDI-KASUS-PERJUANGAN-RAKYAT-VENEZUELA-MELAWAN-IMPREALISME.

Mas Lukas sedang meneliti isi makalah yang aku buat. Aku sedang memperhatikan serius. Pria botak berkaca-mata dan berkemeja seperti pemain bulu-tangkis ini bukan orang sembarangan. Pernah suatu waktu aku mengira dia ini seorang dosen. Ternyata masih kuliah juga. Sudah berapa dosen yang pemikiran-pemikirannya dihajar habis-habisan oleh Mas Lukas, kalau sudah berdebat.

Mas Lukas sudah kuliah dari tahun 1990-an, pantesan saja. Sebenarnya Mas Lukas yang mengajarkan kami semua menjadi seperti ini. Berkembang jauh dibanding yang lain. Kalau pada semester satu aku sering dibohongi ama senior pakai teori-teori yang bikin keblinger. Hanya butuh tiga semester, kita siap kalau diadu gagasan. Toh Mas Lukas sudah banyak mengajar kita untuk berani ambil sikap. Senior salah, yah disikat, hehe. Mas Lukas pula yang menjelaskan perbedaan apa itu aksi rakyat atau aksi elit. 

Kalau aksi rakyat, tuntutannya jelas. Persoalan sehari-hari yang dekat seperti persoalan pendidikan, kesehatan, upah layak bagi pekerja dan lain-lain. Berbeda kalau aksi elit. Isunya tidak jauh-jauh dari konflik antar pejabat politik. Seolah-olah masyarakat mesti ikut berdebat bela siapa elit politik yang paling jujur. Akhirnya berantem di media sosial, mau teman lama atau saudara sendiri, diblokir aja coy. 

Konflik elit terjadi hanya-jika mereka saling bergantian mengisi kekuasaan. Setelah salah-satu dari mereka ada yang menang, yah mereka melakukan bargain politik, yang kalah senang-senang saja tuh. Padahal dibelakang layar televisi, terkutuklah, para elit politik tadi malah sedang duduk-duduk dan -ngopi bareng.

Lalu Mas Lukas mengomentari isi makalah punyaku.

Mas Lukas: Makalahnya bagus nih Ojin. Hanya, kurang diperbandingkan ini sama kondisi sejarahnya. Apakah sama dengan sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam konteks melawan kolonial? Bagaimana watak dan karakter perjuangannya dan warisan yang dimilikinya?

Aku garuk-garuk kepala antara mengerti dan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Mas Lukas, dan Alipkeriting ikut mengomentari,

Alipkeriting : Apaan ini definisi Negara kebanyakan pakai teori, lau!. Udah tulis saja, Negara adalah Pentungan!!

Tadinya aku mau benar-benar pentung Alipkeriting.

Sementara itu terdengar perdebatan sengit antara Steven, Pepe dan Jek.

Pepe: Kenapa memang kalau mahasiswa belum membutuhkan partai politik borjuis?

Steven: Siapa bilang partai politik ini partai borjuis, jelas-jelas mahasiswa mesti berpartai untuk kepentingan perjuangannya setelah lulus berkuliah nanti.

Jek : Lau ngajak-ngajak mahasiswa baru nongkrong-nongkrong ngomongin hal-hal yang bahkan mereka hanya terpukau aje coy seperti karir dan jabatan jadi politisi. Baru jadi mahasiswa sudah kenal duit amplop.

Jek kasar banget. Tetapi ada benarnya kalau mahasiswa sudah dijanjiin punya karir politik yang bagus-tanpa mesti ngapa-ngapain itu juga salah menurutku. Aku pun menimpali,

Gue: Aleh, ngemeng aja lau bertiga. Lau ngebacot soal tugas-tugas mahasiswa mau berpartai atau tidak berpartai, tapi tugas lau dari Pak Nazi sudah dikerjakan belum?

Setelahnya mereka bertiga diam. Dasar karet sempak.
  
Untung saja Mas Lukas tidak ikut debat. Bisa habis mereka dikuliti isi pemikirannya. Lagipula itu si Steven ngapain bangga-banggain pakai kemeja partai ke dalam kelas kuliah. Malas juga secara pribadi aku melihatnya.

Pak Nazi sepertinya tidak datang nih. Aku main ceng-cengan saja sama Pepe, Jek dan Alipkeriting.

Gue: Dasar muke lau kayak politik sawah. (Aku ketawain Alipkeriting)

Pepe: Hahaha, becek dong.

Jek: Muke lau Ojin kayak pemikiran politik pinggir kali, sering banjir.

Alipkeriting: muke lau bertiga kayak politik pembangunan daerah tertinggal.

Eh Mas Lukas pada akhirnya ikut nimbrung.

Mas Lukas: Kalian ribut-ribut saling ceng-cengan muka. Padahal tanpa kalian sadari muka kalian dari politik yang sama.

Bio: Apa tuh mas? (Bio rupanya juga sedang menyimak)

Ijar: sudah gue duga, pasti politik –bangkitlah-kaum-yang-tertindas-bangkitlah-kaum-yang-lapar? (ini anak tadi sedang tidur, bisa-bisanya ikutan bercanda).

Mas Lukas: Muke lau semua kayak politik terminal.

HAHAHAHAHA, kami semua tertawa ngakak mendengar kata terminal. Memang apa yang lucu dari terminal?
***
Kita semua memang seperti berada di terminal.

Tidak ada yang tahu arah hidup diantara kita untuk menuju ke-mana. Mengaku saja. bagi kita anak-anak jurusan politik, aku yakin kalau kita semua pada awalnya bercita-cita jadi anggota dewan, pengurus partai, pejabat politik atau jadi presiden. Itu sah-sah saja loh. Tidak ada yang salah. Namun tidak semua yang lulus kuliah dari jurusan ilmu politik sesuai dengan cita-cita dari awal. 

Misalnya ada yang menginginkan berkarir di dunia politik, masa dilarang. Suatu waktu saat lagi nongkrong, Mas Lukas mengajari kami semua bahwa tujuan mulia berpolitik itu lebih dari sekedar karir.

Mas Lukas: Orang menjadi hebat bukan karena dia sendiri yang menilai hebat. Tetapi bagaimana cara lingkungan yang pernah dia kunjungi, berubah menjadi lebih baik. Apalagi jadi elit politik. Elit politik itu lahir dari masyarakat. Boro-boro mau jadi pejabat, masa sama tetangga terdekat malah tidak kenal.

Mas Lukas ada benarnya juga sih. Orang punya tujuan karir politik itu seharusnya membawa tujuan untuk kepentingan orang banyak, bukan diri sendiri saja.

Kayak di terminal saja yah berarti, kita menunggu kendaraan dengan jurusan yang berbeda lalu pergi dan meninggalkan begitu saja. Orang-orang berlalu-lalang dengan tujuannya sendiri-sendiri. Mungkin, ada yang Pilih kendaraan jurusan nomor satu ataupun nomor dua.

Mas Lukas pasti tahu banget keadaan terminal pada tahun 1990-an. Mas Lukas bercerita, bagi aktifis pada jaman itu, terminal bisa dijadikan tempat konsolidasi berbagai aktifis mahasiswa yang ingin demo ke jakarta dari berbagai daerah. Bayangkan saja kamu harus bolak-balik dari satu terminal ke terminal lainnya untuk menjemput teman.

Sekarang terminal rata-rata sepi. Lebih kelihatan ramai saat orang-orang ingin mudik pas lebaran. pulang kampungnya bertiga, lalu baliknya berlima. loh?


Pada akhirnya aku tahu alasan semuanya tertawa ngakak,  karena kita saling melihat penampilan kita masing-masing saat itu. Anjrit muka politik terminal.

Pak Nazi akhirnya tidak datang ke kelas. Semua senang-senang saja tuh. Dan aku mau ke kamar mandi lagi.

***
Selesai dari kamar mandi, aku tahu aku kembali ke jaman sekarang. Jaman dimana orang bebas ngomong politik. Tinggal ngomong “POLITIK”. Tidak begitu juga sih maksudnya.

Langkahku mesti melewati kerumunan anak-anak milenial (dan mungkin ada senior bangkotan juga disitu) yang sedang asyik berdebat soal jagoannya masing-masing di Pemilu 2019. Asal jangan sampai baku hantam saja kalau ada yang berbeda pendapat.

Aku kembali melangkah ke tempat Alipkeriting. Dia masih di dalam. Mungkin lagi banyak urusan dengan dosen. 

Oh ternyata Alipkeriting lagi butuh tanda tangan dosen untuk mencari rekomendasi beasiswa ke luar negeri. Hebat benar Alipkeriting. Meskipun sebenarnya Alipkeriting bisa ke luar negeri sendiri tanpa rekomendasi siapapun. Dia kan bisa melakukan perjalanan bayangan, namanya juga manusia goa, hehehe.

Lalu dengan tujuh tahun yang sudah berlalu. Aku paham, politik terminal tidak buat aku benar-benar salah jurusan.

Jumat, 01 Maret 2019

ANDAI AKU PAHLAWAN SUPER (HABIS)


Forever hold the dream inside, The chance to fight another fight
The breaking hearts that stand for all our lives…
Live tonight.

(Operation Ground And Pound, by Dragonforce:2006)


Kadang-kadang kita terlihat bahagia dihadapan orang lain. Meski sebenarnya tidak.

Bahagia bagaimanapun harus diperjuangkan. Apakah ada diantara kita yang belum bahagia sampai hari ini? Seperti yang dikatakan Dewi Athena dalam cerita Mitologi Yunani, Dewa-Dewi Olympia,Mencari adalah langkah awal dari kebijaksanaan”. Dewi Athena seolah-olah terlihat bijaksana. Eh tapi dia memang dewi kebijaksanaan sih. Kalau begitu mulai sekarang aku akan mencoba mencari makna sebenarnya apa itu bahagia.


(Sumber: Youtube/Dragonforce)

Oleh : Rozi Hariansyah

Tetapi tidak hari ini.

Karena sekarang aku harus mencari makhluk mitologi alias Pepe yang mengajak ketemuan di warteg daerah Mampang, Jakarta Selatan. Enggak jauh sih. Hanya saja kalau kamu tahu aku mesti menerebos jalan tegal parang raya pada sore hari. Aku seharusnya memutar lewat jalan mampang prapatan saja. Jalan ini lagi macet coy, orang-orang mulai berlalu-lalang pulang kerja. Klakson sini-sana bikin berisik. Sudah untung bisa lewat jalan tembus. Perilaku orang-orang yang tidak sabaran. Kelakuan minor.

Tapi soal kelakuan minor, Orang minor ini kemana ya, katanya janjian di warteg daerah sini, coba wa Pepe lagi ah.

Warteg yang dimana coy? gue udah keliling daerah tegal parang cuma buat ngintipin tiap warteg satu-persatu.” terkirim untuk Pepe.

Aku memberhentikan laju motor sejenak. Menengok warteg yang terletak di kanan-kiri jalan. Oh shit, aku terlihat seperti orang yang mencurigakan, kalau tidak buru-buru pergi, bisa-bisa aku dilempar pakai tempe orek. Tiba-tiba cewek cakep lewat dan hatiku handphone ku bergetar.

“Lau gak usah celingak-celinguk kek maling, ini gue ada di warteg di pertigaan jalan yang lau lewatin tadi, hehe.” Pepe membalas pesan dariku.

Kalau Pepe lihat aku melewati jalan pertigaan yang tadi, kenapa dia tidak memanggil? nanti aku sleding tackle dia

“Setan lau, gue kan harusnya gak bolak-balik gini” aku balas wa Pepe.

Sesampainya di warteg, Pepe ternyata lagi nongkrong bareng Opan.

Wartegnya bernama Warteg-Semogah-Berkah-Sayang-(Sayang Duitnya Gue Mah)

‘’Wei, ini dia jagoannya, nongkrong dulu lah, ngopi dulu.” cecar Pepe

Sepertinya nasibku bisa terancam kalau berlama-lama di dalam warteg ini. Bisa-bisa disuruh traktir.

“Nah ini, ayok duduk kandah” Opan penuh dengan senyum-mesum.

“Iye gue tahu kalian minta dibayarin kopi” jawabku tanpa basa-basi.

Opan dan Pepe sudah kelihatan hidung belangnya. Dari dua piring sisa bekas nasi dan puntung rokok yang buyar didalam gelas-gelas kopi tak berdosa. Pantas saja wajah mbak warteg yang berada di dekatnya agak misuh. Mungkin senewen  meskipun sudah ada asbak, dua bocah planet namek ini buang puntungnya masih sembarangan.

Jadi coy, mau ke bursa kerja nih, siapa yang mau cari kerja?” tanya ku cepat.   
  
“Iya nih gue mau cari kerjaan”. Pepe melirik Opan. Sepertinya ada maksud tertentu.

“Gue nemenin aja yah”. Opan mulai terasa bosan.

Tadinya aku curiga bahwa aku dipanggil untuk bayar kopi dan nasi saja. Kubayar tagihan mereka berdua untuk memastikan Pepe dan Opan tidak jadi tahanan seumur hidup di warteg ini  .

Lalu… kenapa mesti ke Bursa Kerja? kita bertiga tahu bahwa harga diri dari seorang laki-laki adalah bekerja.

Tiba-tiba kita sudah sampai didepan pintu masuk antrian Bursa Kerja. Papan lampu menyala-nyala itu bertuliskan Selamat-Datang-Para-Pencari-Kerja.

Aku dan Pepe sebenarnya sudah punya pekerjaan rutin. Aku yang mesti menunggu tempat les anak-anak pulang sekolah dan Pepe yang menjadi guru di sekolahan swasta. Tetapi tidak dari wajah Opan yang terlihat bosan dari tadi. Dia mempersilahkan kami berdua saja yang masuk kedalam.

“Gue mau ngerokok dulu diluar ya, kalian saja yang masuk kedalam”. ujar Opan.

Aku tahu Opan tidak akan masuk kedalam. Lagipula di Bursa Kerja ini lebih banyak dikunjungi orang-orang yang memiliki ijasah S2, S1 ataupun D3. Sangat jarang dijumpai orang yang hanya lulus SMA saja untuk mencari kerja disini.

Opan bukan orang yang payah. Aku tahu dia pernah merelakan untuk tidak lanjut kuliah karena diputusin pacar, maksudnya dia memilih terjun aktif di organisasi politik meskipun kemudian hari- dia dikecewakan oleh seniornya sendiri. Aku merasa berdosa dulu sering ceng-cengin dia dan organisasinya.

Kalau kamu pernah lihat tempat Bursa Kerja, yah begini ini. Orang bergerombol berbaris tertib. Pakai baju kemeja rapih, necis dan wangi. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Kita terlihat sama. Untuk sebuah harapan yang lebih baik.

Tiba-tiba Pepe gokil.

“Aku hanyalah manusia biasa yang tak pernah lepas dari, khilafku mencoba mengubah segalanya…”

Anjriiiiit, Pepe malah nyetel lagu disini. Aku tahu dia sudah puber saat Band Radja lagi jaya-jaya nya.

“Sori kepencet player musik” Pepe nyengir tanpa rasa malu

Orang-orang tadinya kaget disangkain ada Ian Kasela disini. Tetapi Pepe lagi tidak memakai kacamata hitam tuh.

Orang-orang disini pada akhirnya tidak peduli juga tuh dengan kejadian yang tadi. Masih dengan harapan yag besar untuk rela berbaris berdesakan mencari peluang kerja yang lebih baik. Samar aku melihat dari luar, sudah banyak stand dan meja yang berjejer didalam. Bentuknya kotak-kotak. Lalu orang-orang rela antri untuk sekedar menaruh daftar riwayat hidupnya. Ada perusahaan di bidang jasa, keuangan, perbankan, otomotif, ritel, yang online-online juga ada. Kemungkinan lengkap.

“Pepe lau siap nih masuk dengan kondisi ramai begini?” tanyaku pada Pepe.

Lah tiba-tiba Pepe menghilang dibelakangku.


***

Aku seperti mengalami gempa waktu.

Pada penghujung bulan Januari 2015. Aku mendatangi tempat yang ramai dikunjungi para pencari kerja dari pelosok Jabodetabek. Lapangan Bola daerah Senayan. Seribuan kira-kira jumlahnya. Ah, tidak. Kayaknya sepuluh-ribuan orang ada disini. Ada yang masih baru lulus kuliah sama sepertiku, ada juga yang brewokan kayak sudah tua. Tapi mungkin memang wajahnya saja yang terlihat tua, tapi usia sama sepertiku. Kami rela membayar tiket lumayan mahal-tiga puluh lima ribu- dan berdesak-desakan bau keringat, jempol tangan,  bahkan bau jempol kaki juga ada, saking padatnya tempat ini.

Modal ku hanya ijasah dan nilai indeks prestasi kumulatik (IPK) saat kuliah. Nilai IPK ku sebenarnya diatas rata-rata. Tapi sepertinya tidak ada pengaruhnya kalau mencari kerja ramai-ramai begini.

Aku tahu bahwa mendapat IPK yang bagus bukan jaminan dapat kerja lebih cepat. Mungkin saja kamu pernah punya kawan yang bahkan waktu kuliahnya biasa-biasa saja dan cenderung biasa-diluar-maksudnya, suka bolos tidak kuliah. Meski memiliki pekerjaan yang upahnya lebih dari cukup bahkan sejahtera. Kesalahanku adalah tidak memahami bahwa realitas tidak melulu soal nilai akademis. Aku tidak pernah iri dengan orang yang beruntung. Aku hanya perlu berhitung dengan kemampuanku sendiri.

Dan … lama aku menunggu panggilan kerja dari mencari pekerjaan di tempat yang kemarin, aku baru sadar namanya Bursa Kerja.

Pada akhirnya aku berhasil mendapat pekerjaan pertamaku di bulan Oktober 2015, bukan dari Bursa Kerja sih, tapi dari situs pencari kerja. Pekerjaan pertamaku adalah menjadi sales majalah dan komik pengetahuan alam untuk anak-anak.

Aku lagi memperagakan sebuah stik bekas es krim untuk dijadikan mainan harmonika disamping siswa sekolah. Kira-kira kelas empat, yang sedang duduk-duduk  tidak jauh dari sekolahnya. Aku ingin memberinya gratis, Barangkali bocah ini senang dengan pengetahuan alam. Misalnya kenapa terjadinya sebuah bunyi? karena adanya getaran yang merambat.

Akhirnya Harmonika mini itu berbunyi setelah ditiup. Lalu Emaknya si anak kelas empat itu datang.

“Jangan duduk disitu, nanti disuruh beli” emak-emak itu sekonyong-konyong menyindirku.

Ya Tuhan, aku sabar. Kadang niat tulus tidak mesti dibalas dengan hal baik.

Kemudian pikiranku kembali.

“Coy jangan bengong aje,” tepukan Pepe kenceng banget..

“Lau kemana aja coy?” aku tanya Pepe.

“Dari tadi gue keliling coy” kata Pepe.

“Perasaan lau dibelakang gue tadi?” aku terheran.

“Udah temenin gue yuk” Pepe menarikku dari samping.

Aku khawatir ini si Pepe bakal kumat gilanya. Benar saja, tidak lama ada seorang perempuan yang meringis karena kakinya terinjak Pepe. Eh Pepe malah cengir sambil bilang,

“Maafin temen gue yang Mbak” Pepe jawab kalem.

Pepe setan.
***

Setengah jam aku dan Pepe terombang-ambing ditengah lautan manusia. Pepe semangat banget cari kerja disini. Aku hanya ingin ketemu Pepe dan Opan saja sebenarnya, tidak ada maksud cari pekerjaan lain, meski selalu ada yang membisik dalam kepalaku akhir-akhir ini.

Pepe aku bawa ke pojokkan.

“Pepe, lau kan sudah kerja coy, ngapain cari kerja lagi”? aku bertanya

“Lau kira orang-orang yang datang disini hanya yang belum kerja semua? Banyak coy yang nyari peluang lebih bagus”kata Pepe.

Aku tak sampai hati bila ingin keluar dari tempat kerjaku dengan cara ini. Kalaupun itu terjadi, aku pasti pamit secara baik-baik, baru mencari yang baru.

Tapi Pepe sepertinya punya pemikiran lain. Aku tahu usia dia lebih tua dari aku. Kalau aku mengungkitnya lagi soal usia, tanganku bisa digigit olehnya. Ini memang Bursa kerja pertamanya, setelah lulus kuliah. Dia pernah bilang, andai bisa kembali ke jaman tahun 2009an, dia lebih baik kerja saja dibanding lebih banyak main game di rental PS alih-alih berkuliah.

Setelah itu aku dan Pepe keluar dari tempat Bursa Kerja.

“Opan mana ya”? tanya pepe.

“Gue jadi gak enak, ninggalin dia sendirian” jawabku

Dikejauhan Opan terlihat lagi diskusi sama tukang siomay, semoga dia tidak cerita-cerita soal Avengers lagi.

“Opan, balik yuk coy” tereak Pepe.

Kami bertiga janjian untuk ngopi di kedai temanku di daerah Mampang. Aku masih belum mengerti mengapa Pepe dan Opan mengajakku ke Bursa Kerja.

“Coy lau mau tahu gak, kenapa lau gue panggil kesini?” tiba-tiba Pepe bisa baca pikiranku.

“LAU SIH KERJA MELULU JARANG NONGKRONG HAHAHA. SEKALINYA LIBURAN, MASIH HARUS CARI KERJA, HAHAHA.” Pepe tiba-tiba kayak zombie, yang perlahan memakan isi kepalaku.

“sebenarnya gak mesti kesini juga, gue males nunggu kalian berdua.” Opan jawab datar.


***
Aku kembali fokus melihat si Thanos-botak-berdagu-getuk-lindri-ungu lagi menghajar habis-habisan para avengers. Tidak lama filmnya selesai dan sebagian pahlawan menjadi debu. Thor idiot banget, gagal bunuh Thanos.Tidak lama, aku memencet tombol off penanda monitor komputer itu sudah tidak menyala lagi.

“Aduh Dadang lama banget pulang nya” aku beranjak dari kursi.

Aku memang sedang libur kerja hari ini. Bolak-balik aku melihat wa, tidak ada pesan yang masuk. Paling sebal kalau nge-chat, dibaca doang kayak wa si Pepe ini. Mentang-mentang sedang asyik kerja jadi guru dia.

Pun dengan Opan, sepertinya dia sudah menemukan dunianya untuk bertarung di lapangan politik. Buat dia, politik itu adalah AKAL-CAIR, bukan akal sehat yang didengung-dengungkan Filsuf artis yang sering nongol di televisi.

Bukankah bekerja memang untuk mengaktualisasi diri dan sebuah kebutuhan?

Mungkin aku merasa capek. Aku bukan Superhero yang bisa melakukan segalanya. Hari libur ini akan kumaksimalkan untuk nongkrong bareng teman-teman perjuangan dahulu.

Kali ini wa ku mendapat pesan dari kawan lama.

“titittirittitit….titittirittitit…” kok bunyinya kayak gini? ternyata ini wa dari Pepe.

“Coy, temenin gue ke Bursa Kerja yuk, gak jauh  dari Mampang kok”.

Sudahi saja, Aku bukan pahlawan super dan aku akan cari kebahagian ku sendiri.

Kehidupan akan tetap terus berjalan. (Habis).