Minggu, 24 Maret 2019

POLITIK TERMINAL

Kamu akan mengira bahwa setiap yang kita pelajari, belum pasti akan berguna. Ilmu yang kamu dapat sewaktu di bangku sekolah, kuliah sampai kamu bekerja. Apakah semua ilmu itu kamu pakai saat kamu sudah lulus dan bekerja sekarang ? Kamu mungkin saja benar. Tetapi kamu punya pilihan untuk yakin dengan ilmu yang kamu punya. Yakin berguna atau tidak? Seperti penggalan dalam lirik lagu Band Rock RIFF, “Oh..oh..oh oww..oh..oh.oh .oww, aku-salah-naik -jurusan.” Seperti  itu lah kalau kamu belajar Ilmu Politik.

Yakin saja, kalau kamu sedang tidak salah jurusan.

Image result for ilustrasi terminal ramai
(Sumber: Elshinta.com)

OLEH ROZI HARIANSYAH

Panas terik matahari seperti membakar kulitku. Seperti ini suasana siang yang aku lalui sambil memboncengi manusia goa si Alipkeriting, yang terburu-buru untuk sampai ke kampus. Ceritanya aku dan Alipkeriting sedang pulang kampus. Mencari mantan dosen kita sewaktu berkuliah dahulu. Cuma masalahnya kita sudah telat ini. Janjian ketemu jam satu siang, baru berangkat jam dua siang. Memangnya jarak dari Mampang ke Lenteng Agung itu dekat? Alipkeriting pakai marah-marah lagi, gara-gara telat. Wong dia yang bikin telat. Dia baru bangun tidur aja jam dua belas. Kalau aku kesal, aku bikin terbang juga ini sepeda motor.

Kita sudah sampai di kampus. Mengingat aku bukan lagi mahasiswa, melihat anak-anak milenial berlalu-lalang menuju kelas kuliah ataupun tongkrongan masing-masing, aku jadi bingung. Sepertinya waktu cepat sekali berlalu.

Ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di halaman kampus. Maju beberapa langkah, beberapa anak kuliahan bertampang "ih ngeri" nongkrong sepanjang jalan menuju gedung kuliah. Belum lagi gerombolan para pembawa kresek item, lagi mata berwarna merah suka meracau tidak jelas. Tapi kalau kamu mau coba main-main ke Musala kampus, hatimu jadi terasa adem. Banyak juga mahasiswa yang berdakwah mengajak kebaikan.

Janganlah kamu sekali-kali ikutan main kartu gaplek dibawah pohon ceri tidak jauh dari perpustakaan, kamu bakal kena omel dan disindir, "main gaplek yes, baca buku no". Enggak-enggak, makna tulisannya terbalik. Lalu tinggal kamu loncat menuruni anak tangga, kamu pasti akan berfikir bakal ikutan main bola plastik sama senior-senior gokil bertelanjang kaki, yang secara brutal mengubah lapangan tenis meja jadi lapangan bola. Dan berteriak "bakarlah".

Buseh, main bola sambil ngerokok.

Bayangan keramaian itu seketika sirna. Ternyata kampus sedang direnovasi. Meski gedungnya sendiri baru saja dibangun ulang. Alipkeriting berjalan menuju ruangan dosen yang baru. Aku malas menunggu lama, dengan alasan ingin ke kamar mandi. Tapi si Alipkeriting malah bilang begini,

Alipkeriting : Bilang aja lau mau nyepikin cewek-cewek disini, jangan lupa itu resleting celana dibenerin.

Alipkeriting sok tahu banget. Tapi dia benar juga kalau resleting celanaku sedang terbuka. Untung saja hari ini aku pakai celana boxer, hehe.

Aku melangkah menjauh dari Alipkeriting. Biar dia mengurusi urusannya sendiri.  Aku beneran ke kamar mandi dahulu karena kebelet. Tahu gitu buka celana saja sekalian dari tadi.
***
Pertengahan April 2012.

Hanya ada satu kata, Mampus. Aku sudah telat nih masuk jam kuliah hari ini. Sebab jam setengah sebelas ada kelas mata kuliah oleh Pak Nazi. Mata kuliah Pemikiran-Politik Negara-Berkembang. Aku lihat jam di handphone, sekarang jam sebelas lewat lima belas menit. Aku langsung berlari, menaiki tangga, mendaki gunung, melewati lembah yang curam dan panjat tebing untuk sampai di puncak. Aku tahu kalau aku sebaiknya masuk Rumah Sakit Jiwa saja. Karena kelasku sebenarnya berada di lantai empat, mau ngapain sampai bawa-bawa tas ransel naik gunung? untung saja Pak Nazi belum datang di dalam kelas.

Aku buka pintu dan semua kaget. Bio yang lagi baca-baca makalah tugas sedikit lebih lega karena yang datang bukan Pak Nazi. Jek dan Pepe lagi main ceng-cengan ngeledekin Steven yang bangga-banggain kemeja yang sedang dipakainya. Kemejanya bertuliskan “Partai-Nasgor-Restoran-Indonesia”. 

Alipkeriting cengar-cengir karena dia berharap aku sudah mengerjakan tugas makalah. (Senyum mesumnya sudah ketahuan berharap dia nitip-nama meski aku yang mengerjakan tugas makalah ini sendirian). Lalu Ijar yang sedang tidur-tiduran eh ternyata tidur beneran. Beberapa anak politik sedang debat-debat tentang Pilkada DKI Jakarta yang sebentar lagi dilaksanakan. Aku sendiri tidak tahu mereka ngomong apa karena tidak ada subtitle penjelas dibawahnya. Sisanya anak-anak jurusan dari hubungan internasional yang kelihatan lagi boring, sebab mereka tahu, satu kelas dengan anak-anak jurusan ilmu politik, itu berarti kamu harus siap-siap mengantuk. 

Eh tapi ada Mas Lukas di kelas ini. Dan Mas Lukas memanggil aku,

Mas Lukas : Ojin, tugas dah kelar? Kemarin bagaimana bahan yang gue kasih udah terkirim kan?

Gue : Sudah Mas, makasih banyak Mas Lukas.

Sambil berterima kasih aku memperlihatkan judul tugas makalah-ku, PEMIKIRAN-POLITIK NEGARA-NEGARA-DI-DUNIA-KETIGA-STUDI-KASUS-PERJUANGAN-RAKYAT-VENEZUELA-MELAWAN-IMPREALISME.

Mas Lukas sedang meneliti isi makalah yang aku buat. Aku sedang memperhatikan serius. Pria botak berkaca-mata dan berkemeja seperti pemain bulu-tangkis ini bukan orang sembarangan. Pernah suatu waktu aku mengira dia ini seorang dosen. Ternyata masih kuliah juga. Sudah berapa dosen yang pemikiran-pemikirannya dihajar habis-habisan oleh Mas Lukas, kalau sudah berdebat.

Mas Lukas sudah kuliah dari tahun 1990-an, pantesan saja. Sebenarnya Mas Lukas yang mengajarkan kami semua menjadi seperti ini. Berkembang jauh dibanding yang lain. Kalau pada semester satu aku sering dibohongi ama senior pakai teori-teori yang bikin keblinger. Hanya butuh tiga semester, kita siap kalau diadu gagasan. Toh Mas Lukas sudah banyak mengajar kita untuk berani ambil sikap. Senior salah, yah disikat, hehe. Mas Lukas pula yang menjelaskan perbedaan apa itu aksi rakyat atau aksi elit. 

Kalau aksi rakyat, tuntutannya jelas. Persoalan sehari-hari yang dekat seperti persoalan pendidikan, kesehatan, upah layak bagi pekerja dan lain-lain. Berbeda kalau aksi elit. Isunya tidak jauh-jauh dari konflik antar pejabat politik. Seolah-olah masyarakat mesti ikut berdebat bela siapa elit politik yang paling jujur. Akhirnya berantem di media sosial, mau teman lama atau saudara sendiri, diblokir aja coy. 

Konflik elit terjadi hanya-jika mereka saling bergantian mengisi kekuasaan. Setelah salah-satu dari mereka ada yang menang, yah mereka melakukan bargain politik, yang kalah senang-senang saja tuh. Padahal dibelakang layar televisi, terkutuklah, para elit politik tadi malah sedang duduk-duduk dan -ngopi bareng.

Lalu Mas Lukas mengomentari isi makalah punyaku.

Mas Lukas: Makalahnya bagus nih Ojin. Hanya, kurang diperbandingkan ini sama kondisi sejarahnya. Apakah sama dengan sejarah perjuangan rakyat Indonesia dalam konteks melawan kolonial? Bagaimana watak dan karakter perjuangannya dan warisan yang dimilikinya?

Aku garuk-garuk kepala antara mengerti dan tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Mas Lukas, dan Alipkeriting ikut mengomentari,

Alipkeriting : Apaan ini definisi Negara kebanyakan pakai teori, lau!. Udah tulis saja, Negara adalah Pentungan!!

Tadinya aku mau benar-benar pentung Alipkeriting.

Sementara itu terdengar perdebatan sengit antara Steven, Pepe dan Jek.

Pepe: Kenapa memang kalau mahasiswa belum membutuhkan partai politik borjuis?

Steven: Siapa bilang partai politik ini partai borjuis, jelas-jelas mahasiswa mesti berpartai untuk kepentingan perjuangannya setelah lulus berkuliah nanti.

Jek : Lau ngajak-ngajak mahasiswa baru nongkrong-nongkrong ngomongin hal-hal yang bahkan mereka hanya terpukau aje coy seperti karir dan jabatan jadi politisi. Baru jadi mahasiswa sudah kenal duit amplop.

Jek kasar banget. Tetapi ada benarnya kalau mahasiswa sudah dijanjiin punya karir politik yang bagus-tanpa mesti ngapa-ngapain itu juga salah menurutku. Aku pun menimpali,

Gue: Aleh, ngemeng aja lau bertiga. Lau ngebacot soal tugas-tugas mahasiswa mau berpartai atau tidak berpartai, tapi tugas lau dari Pak Nazi sudah dikerjakan belum?

Setelahnya mereka bertiga diam. Dasar karet sempak.
  
Untung saja Mas Lukas tidak ikut debat. Bisa habis mereka dikuliti isi pemikirannya. Lagipula itu si Steven ngapain bangga-banggain pakai kemeja partai ke dalam kelas kuliah. Malas juga secara pribadi aku melihatnya.

Pak Nazi sepertinya tidak datang nih. Aku main ceng-cengan saja sama Pepe, Jek dan Alipkeriting.

Gue: Dasar muke lau kayak politik sawah. (Aku ketawain Alipkeriting)

Pepe: Hahaha, becek dong.

Jek: Muke lau Ojin kayak pemikiran politik pinggir kali, sering banjir.

Alipkeriting: muke lau bertiga kayak politik pembangunan daerah tertinggal.

Eh Mas Lukas pada akhirnya ikut nimbrung.

Mas Lukas: Kalian ribut-ribut saling ceng-cengan muka. Padahal tanpa kalian sadari muka kalian dari politik yang sama.

Bio: Apa tuh mas? (Bio rupanya juga sedang menyimak)

Ijar: sudah gue duga, pasti politik –bangkitlah-kaum-yang-tertindas-bangkitlah-kaum-yang-lapar? (ini anak tadi sedang tidur, bisa-bisanya ikutan bercanda).

Mas Lukas: Muke lau semua kayak politik terminal.

HAHAHAHAHA, kami semua tertawa ngakak mendengar kata terminal. Memang apa yang lucu dari terminal?
***
Kita semua memang seperti berada di terminal.

Tidak ada yang tahu arah hidup diantara kita untuk menuju ke-mana. Mengaku saja. bagi kita anak-anak jurusan politik, aku yakin kalau kita semua pada awalnya bercita-cita jadi anggota dewan, pengurus partai, pejabat politik atau jadi presiden. Itu sah-sah saja loh. Tidak ada yang salah. Namun tidak semua yang lulus kuliah dari jurusan ilmu politik sesuai dengan cita-cita dari awal. 

Misalnya ada yang menginginkan berkarir di dunia politik, masa dilarang. Suatu waktu saat lagi nongkrong, Mas Lukas mengajari kami semua bahwa tujuan mulia berpolitik itu lebih dari sekedar karir.

Mas Lukas: Orang menjadi hebat bukan karena dia sendiri yang menilai hebat. Tetapi bagaimana cara lingkungan yang pernah dia kunjungi, berubah menjadi lebih baik. Apalagi jadi elit politik. Elit politik itu lahir dari masyarakat. Boro-boro mau jadi pejabat, masa sama tetangga terdekat malah tidak kenal.

Mas Lukas ada benarnya juga sih. Orang punya tujuan karir politik itu seharusnya membawa tujuan untuk kepentingan orang banyak, bukan diri sendiri saja.

Kayak di terminal saja yah berarti, kita menunggu kendaraan dengan jurusan yang berbeda lalu pergi dan meninggalkan begitu saja. Orang-orang berlalu-lalang dengan tujuannya sendiri-sendiri. Mungkin, ada yang Pilih kendaraan jurusan nomor satu ataupun nomor dua.

Mas Lukas pasti tahu banget keadaan terminal pada tahun 1990-an. Mas Lukas bercerita, bagi aktifis pada jaman itu, terminal bisa dijadikan tempat konsolidasi berbagai aktifis mahasiswa yang ingin demo ke jakarta dari berbagai daerah. Bayangkan saja kamu harus bolak-balik dari satu terminal ke terminal lainnya untuk menjemput teman.

Sekarang terminal rata-rata sepi. Lebih kelihatan ramai saat orang-orang ingin mudik pas lebaran. pulang kampungnya bertiga, lalu baliknya berlima. loh?


Pada akhirnya aku tahu alasan semuanya tertawa ngakak,  karena kita saling melihat penampilan kita masing-masing saat itu. Anjrit muka politik terminal.

Pak Nazi akhirnya tidak datang ke kelas. Semua senang-senang saja tuh. Dan aku mau ke kamar mandi lagi.

***
Selesai dari kamar mandi, aku tahu aku kembali ke jaman sekarang. Jaman dimana orang bebas ngomong politik. Tinggal ngomong “POLITIK”. Tidak begitu juga sih maksudnya.

Langkahku mesti melewati kerumunan anak-anak milenial (dan mungkin ada senior bangkotan juga disitu) yang sedang asyik berdebat soal jagoannya masing-masing di Pemilu 2019. Asal jangan sampai baku hantam saja kalau ada yang berbeda pendapat.

Aku kembali melangkah ke tempat Alipkeriting. Dia masih di dalam. Mungkin lagi banyak urusan dengan dosen. 

Oh ternyata Alipkeriting lagi butuh tanda tangan dosen untuk mencari rekomendasi beasiswa ke luar negeri. Hebat benar Alipkeriting. Meskipun sebenarnya Alipkeriting bisa ke luar negeri sendiri tanpa rekomendasi siapapun. Dia kan bisa melakukan perjalanan bayangan, namanya juga manusia goa, hehehe.

Lalu dengan tujuh tahun yang sudah berlalu. Aku paham, politik terminal tidak buat aku benar-benar salah jurusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar