Selasa, 14 Juli 2015

MENAKAR ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER


Islam sebagai teologi pembebasan menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif, juga sebagai pendorong sikap kritis.  Dimana kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri yaitu mengubah nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya dan teknologi menjadi tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.

(Kredit foto: wikipedia.org)

Oleh Rozi Hariansyah
Asghar Ali Engineer merupakan  pemikir kontemporer yang  membangun reputasinya sebagai ilmuwan, jurnalis ,reformer sosial, dan aktifis publik. Ketika dunia sedang tertidur, dia dengan mata terbuka menulis buku, artikel, kolom, dan memorandum tentang hak-hak sipil. Banyak orang terlantar dan hidup dengan ketidakpastian yang disebabkan meletusnya kerusuhan kota yang mengerikan. Merekam kesaksian para aktifis sosial dan politik dalam detik-detik kerusuhan komunal masa pasca-kemerdekaan india.

Inisiatif-inisiatifnya reformisnya muncul sebab terlalu sering teraniaya dan diserang secara fisik dalam kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme, suatu keadaan yang sangat sensitif diterima rakyat india kebanyakan saat itu.

Asghar Ali Engineer, dilahirkan dalam keluarga muslim pada 10 maret 1939 di Salumba, Rajashtan, India. Dimana Sheikh Qurban Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja di masjid yang mengelola semacam zakat).  Asghar telah diberi penjelasan mengenai tafsir Al Quran (komentar atau penjelasan tentang firman tuhan), ta’wil (makna ayat AL Quran yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi) dan hadist (perkataan nabi), Asghar juga mendapat pendidikan sekular di luar pendidikan agama. 

Asghar adalah lulusan teknik sipil dari indore (M.P) dengan tanda kehormatan, dalam pengabdiannya selama dua puluh tahun sebagai insinyur di korporasi kota praja Bombay, Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961.

Meskipun Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai pembela sendirian, namun ia tetap bersikukuh memutuskan diri dalam memerangi intoleransi dan kemunafikan religius. Eksistensinya betul-betul mengganggu status quo dan ancaman bagi kemapanan politik bagi mayoritas muslim dan agama di India saat itu.

Keprihatinan dan kegundahan Asghar mendorongnya untuk menggugat segala bentuk kemapanan yang menindas dan membodohi kaum yang lemah, pun harus berhadapan dengan pemimpin teras spiritual, semangat revolusionernya  cenderung bersifat praksis (teori-praktik) ketimbang teoritis semata,

Memahami proyek teologi pembebasan Asghar, memberi pencerahan pada kita mempraktekkan dan memandang sebuah agama. Hal ini berkaitan dengan proyek teologi pembebasannya yang cenderung praksis. Praksis yang dimaksud berkaitan dengan interaksi dialektis mengenai “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya. Menurutnya, Islam bersifat liberatif karena bisa menjadi ancaman bagi status quo atau pelindung ibarat peci dari kemapanan yang mengeksploitasi kaum yang lemah.

Agama mesti dilepaskan dari aspek yang bersifat filosofis dan mengawang di langit, berkembang pada puncaknya sebagai legitimasi kaum penindas. Asghar memberi pencerahan sebagaimana kekinian, teologi sekarang cenderung bersifat ritualistik, dogmatis dan bersifat metafisik yang membingungkan dan dikuasai oleh orang-orang yang duduk nyaman mendukung status quo. Sebuah penampilan yang sering kita lihat, di satu sisi pembangunan daerah dibangun dengan doa, sajen, jampi namun korupsi proyek menjadi ajang rebutan tender.

Para Pemimpin daerah membangun bamyak tempat ibadah untuk khayalak umat. Masjid sana sini, Gereja sini sana dan masih banyak lainnya. Namun jalanan berlubang bertahun-tahun tidak diperbaiki. Dalih bersaing saat pemilihan umum, citra baju rapih, lengkap peci menjadi identifikasi pemimpin yang bersih atas nama identitas, sebuah kegalauan politik citra di zaman sekarang dan agama sering dipakai dengan konsekuensi yang tidak bertanggung jawab.

 Menurut Asghar teologi pembebasan adalah :

1.      Mesti dimulai dengan melihat kehidupam manusia didunia dan akhirat
2.      Anti status quo yang melindungi golongan kaya daripada golongan miskin
3.      Pembela kelompok tertindas dan tercerabut hak miliknya, serta membekali senjata  
         ideologis milik kaum tertindas.
4.     Mempercayai realitas takdir, sebagai konsep metafisika Islam namun juga manusia bebas
       yang berhak menentukan takdirnya dalam berjuang melawan kaum penjajah.

Agama sebagai bentuk kepercayaan dalam kajian Marxisme, selain menempatkan sebagian unsur agama dalam bentuk ideologi yang digunakan oleh kelas dominan dan menyamarkan kenyataan dan mengendalikan kelas-kelas terhisap, juga menjelaskan sebagai empiris dalam wujud analisis pertarungan kelas dalam kurun waktu tertentu. Sebagai contoh munculnya kelompok-kelompok fundamentalis beratasnamakan agama yang bersifat fasis sering digunakan kelas penguasa dalam represif dan melindungi stabilitas politik dan isu-isu krisis yang disembunyikan, seperti pengalihan isu ekonomi-politik dengan terorisme, penyerbuan dan vandalisme yang bersifat merusak, Tidak jarang dengan memakai simbol agama secara militan yang anehnya dipelihara oleh Negara agar tetap hidup.

Dalam sejarah Islam, dikenal pula beberapa kelompok keagamaan yang menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai dasar perjuangan revolusioner melawan penguasa-penguasa yang zalim. Seperti kisah Musa memimpin Bani Israil melawan tirani Fir’aun yang zalim. Isa bersama kedua belas muridnya menyebarkan agama dalam bentuk perlawanan dengan Kekaisaran Romawi. serta Muhammad SAW yang rela bunuh diri kelas (lahir dari Suku Quraisy), dimana Suku Quraisi merupakan kelompok kelas penguasa yang diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak ingin kemapanannya diganggu oleh ajaran Islam, yang dibawa oleh Muhammad untuk memihak para budak dan rakyat kecil di Mekkah.

Pun dengan Mu’awiyyah, yang merebut kekuasaan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Melanggengkan kekuasaan keluarga dengan mewariskan jabatan pada putranya, Yazid. Sejak itu kepemimpinan dinasti berlangsung turun-temurun. Islam pun dijadikan ideologi milik kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Layaknya hukum sejarah, dimana perjuangan kelas dibarengi dengan pertarungan kelas, selalu ada dua kelompok yang berkontradiktif, kelas penguasa yang menindas dan kelompok teraniaya ditindas. Muncul lah kelompok-kelompok revolusioner perlawanan dinasti berbalut Khalifah oleh Khawarij dan Syiah.


ISLAM DAN KEKUATAN SOSIAL

Agama tidak selamanya menjadi candu dan seperangkat alat kepasrahan hidup. Namun bisa dipraktekkan sebagai pengubah tatanan sosial yang berkeadilan dan memihak rakyat yang ditindas penguasa.

Islam sebagai teologi pembebasan menurut Asghar ialah perjuangan persoalan bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang lebih adil, egaliter, dan tidak eksploitatif, juga sebagai pendorong sikap kritis.  Dimana kehidupan dan kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi. Asghar menjelaskan kembali bahwa teologi hanya akan bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan berangkat dari kondisi kemanusiaan itu sendiri yaitu mengubah nasib masyarakat dari penjajahan pengetahuan, budaya dan teknologi menjadi tatanan masyarakat yang adil dan bersifat maju anti penindasan.

Sebagai kekuatan sosial, proyek teologi pembebasan Asghar mendapat referensi berlawan bagi umat Islam dan umat manusia secara umum yang sedang melawan rezim penindas di berbagai belahan dunia,

Namun kenyataan di Indonesia, dengan warisan represif Negara yang begitu kuat dan mudah berubah, nampaknya masih meniduri penganut mayoritas muslim di Indonesia. Tidak aneh apabila di penghujung Bulan Ramadhan, seketika orang-orang sibuk bermewah-mewahan dalam menyiapkan hari raya dan sibuk menggadai barang untuk uang demi barang baru, di lain tempat orang miskin tak berpunya yang makan daging setahun sekali meratapi keadaan yang tidak mengubahnya sama sekali.

Ambil contoh pada pembagian zakat fitrah untuk kaum papa tak berpunya. Zakat fitrah merupakan anjuran wajib, tetapi pembagiaannya cenderung tidak merata, yang setiap tahun kita jumpai orang miskin berdesakkan demi beberapa lembar puluh-ribu rupiah. Seolah menegaskan jumlah orang miskin semakin bertambah. Di lain tempat orang kaya berdoa dengan syukuran makan-makan habis memenangkan tender proyek pembangunan, di lain tempat pula sekumpulan orang menangis menyebut dan meminta bantuan pada Tuhan akan keserakahan kaum pemodal yang menggusur paksa bangunan tempat tinggal dan lahan mata pencahariannya yang hilang.

Apakah agama sebagai teologi pembebasan, sebagai refleksi dan keharusan? keharusan kontra hegemoni melawan hegemoni penindas atasnama agama.

REFERENSI
Abror. H robby.2010, Gugatan Epistemologis-Liberatif ASGHAR ALI ENGINEER, Epistemologis-kiri. Ar-ruzzmedia
Dede Mulyanto.2011, Agama . Antropologi marx. Bandung : Penerbit buku Ultimus

*Tulisan ini pernah dimuat dalam akun penulis di situs Kompasiana.com


KETIKA PERSIAPAN LEBARAN TELAH MEMBEDAKAN KITA

Menghamburkan banyak uang menjelang lebaran rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Tak perduli bagi semua lapisan masyarakat. Baik yang kaya ataupun yang miskin. Apakah ini berlebihan? Aku khawatir iya. Di tengah harga kebutuhan pokok yang semakin sulit dijangkau, justru tradisi berbelanja bagi sebagian besar masyarakat menjadi gelombang pasang untuk menyambut hari lebaran.


(Kredit foto: Kaskus.com)

Oleh: Rozi H.
Hal ini yang aku temui secara berulang-ulang menjelang lebaran. Sepanjang hari ini aku berkendara menaiki sepeda motor. Bukan karena teriknya matahari yang memaksa aku berhenti pada suatu tempat. Aku terjebak pada kemacetan yang tidak biasa. Sejauh mata memandang, ternyata aku melihat jalan yang aku tuju disesaki oleh beberapa kendaraan terparkir semrawut. Jelas saja, jalan utama yang biasa dilewati dua jalur, kini seperti setengahnya. Sepanjang toko, pasar dan pusat perbelanjaan di depanku mendadak ramai. Tempat itu cenderung dipenuhi lautan manusia. Tidak heran, aku yang sedang tidak beruntung terjebak di tengah kemacetan, ingin sekali keluar secepatnya.

Menjelang lebaran  tempat-tempat tersebut memang menjadi ramai. Membayangi tempat ini saja, aku ingin berpikir keras. Apakah semua orang menjelang lebaran menjadi gelap mata dalam berbelanja untuk memenuhi kebutuhan menjelang lebaran?

Dalam lamunanku yang rapuh, seseorang menepuk pundakku.

“Woy Zi, mau kemana”?

Ternyata itu kawan lama ku, namanya Bodong, entah meskipun nama aslinya Rahmat, tapi sejak di bangku sekolah dasar, kami terbiasa memanggilnya Bodong.

“Hei, Bodong lagi ngapain disini”?

“Lah, lu sendiri ngapain Zi disini”?

“Kok ditanya, malah balik nanya? Gimana sih lu Dong, hehehe”

Aku sebenarnya hanya berbasa-basi. Aku tahu, sudah beberapa tahun ini Bodong bekerja serabutan. Semenjak dia putus sekolah sehabis lulus sekolah dasar, dia hanya membantu Ayahnya menjadi petugas keamanan di lingkungan tempat aku tinggal. Terkadang siang sampai malam Bodong juga menjaga kendaraan yang terparkir di beberapa minimarket terdekat.

Aku dengan senang hati meminggirkan motorku. Di depanku keadaan tak kunjung membaik, semakin ruwet malah. Bodong pun mengikutiku, tampaknya dia ingin sekali berbincang.

“Zi, bagi THR donk”

Aku terbengong sesaat. Aku yang tadinya hendak menyumpah serapah karena dipalak secara halus kini membisu. Itu karena aku melihat kaus hitam polos yang dipakai Bodong sudah robek di beberapa bagian. Belum lagi celana yang dipakai Bodong, cenderung kelonggaran. Semoga aku salah menebak, dengan warna coklat yang sudah memudar, bisa saja Bodong tidak mengganti celananya berhari-hari. Aku mengeluarkan sepuluh ribu rupiah dengan ikhlas.

“Buat uang rokok aja ya”

“Yah sudah, makasih ya Zi”

“Eh, Dong, Baju gak beli baru nih?”

“Entar aja, jangan beli disini juga kali, hehe”

Bodong pun berlalu, Aku tahu, Bodong berhasil membuat aku kehilangan uang bensin. Tapi tak apa, sebelum aku meninggalkan tempat ini, aku kembali berpikir keras.

Bodong dengan pakaiannya seolah menantang tren di tempat itu, berbelanja! Apakah Bodong menyadari kalau dia segera memerlukan pakaian baru?

Aku melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku membuka akun media sosial, Seperti biasa, banyak teman-temanku mengganti wajah terbarunya sebagai foto profil. Aku terlihat bosan.

Namun ada ekspresi menarik dari salah satu temanku di media sosial, teman dari sekolah dasar juga, sama seperti Bodong. Namanya Lili (Bukan nama sebenarnya). Perempuan itu sudah bekerja di salah satu Bank Swasta. Berbeda dengan Bodong, tampak pada profil barunya dia  senang memamerkan baju baru. Dengan posisi tangan yang lucu lengkap dengan jam tangan dan gelang manik-manik menambah silau pemandangan di media sosial miliknya itu. Lili sedang tidak memakai kacamata, dia menggantinya dengan lensa lembut untuk membantu matanya melihat. Di bawah fotonya, Lili menulis #THRLEBARAN.

Lili menurutku adalah perempuan yang imut bila tidak memakai apa-apa, maksudku bila tidak memakai aksesoris yang berlebihan. Lili memiliki kehidupan yang berkecukupan. Orang tua nya masih bekerja di salah satu lembaga pemerintahan sampai saat ini. Apalagi Lili kini sudah bekerja, membeli berbagai barang tentu bukan masalah baginya.

Beberapa bulan lalu sebenarnya aku sempat bertemu Lili, makanya aku berani bilang dia imut. Tapi aku jelas minder bila bertemu dengannya lagi. Terakhir dia bilang :

“Rozi sudah bekerja dimana?, Aku sudah kerja di Bank,”

Saat itu sebenarnya aku ingin mencubit pipi nya keras-keras, tapi aku tak berani, dari pertanyaan terakhirnya saja, jelas aku bukan level yang imbang dengannya.

Sebenarnya Bodong dan Lili pasti punya ceritanya tersendiri menghadapi persiapan lebaran. Sepanjang perjalanan aku pulang tadi, tidak hanya melihat Mal saja yang ramai. Di pinggir tikungan jalan menuju perumahan elit itu saja mendadak dipenuhi kios-kios kaki lima. Harga barang yang dijual pasti lebih murah dibandingkan dengan barang yang sama dijual di Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Tapi lagi-lagi keduanya memiliki kesamaan: sama-sama dipenuhi lautan manusia.

Orang-orang kayak Bodong mungkin saja lebih memilih berbelanja di pasar-pasar tradisional menjelang lebaran. Harga barang yang dijual pun cenderung mudah ditawar, meskipun tempatnya tidak senyaman di Mal. Berbeda dengan Lili, mungkin dia lebih memilih berbelanja di Mal, tempat yang cenderung lebih nyaman dan lebih dingin tentunya, meskipun harganya lebih mahal.
Keduanya tetap saja menggoda iman Bodong, Lili dan Kita semua: Hasrat konsumsi.

Masyarakat Konsumerisme dan Hasrat Konsumsi

Pada tahun 1844 Marx menjelaskan perihal kemunculan masyarakat konsumen. Transisi dari zaman feodalisme ke kapitalisme merupakan suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Singkatnya barang yang diproduksi tidak lagi untuk kebutuhan semata, namun memiliki tujuan keuntungan. Selain itu dalam masyarakat kapitalis, para buruh atau pekerja membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang tersebut, yang dijual di pasar dengan memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang-barang, pekerja harus membelinya dengan uang. Maka para pekerja menjadi konsumen, dan kita menyaksikan munculnya masyarakat konsumen, orang yang wajib mengonsumsi untuk memastikan perolehan keuntungan. [1]

Lili yang sudah memiliki penghasilan tetap, mungkin saja menganggap barang yang dia beli merupakan hasrat konsumsinya yang sudah dibayar dengan tenaga kerjanya. Berbeda dengan Bodong, yang belum memiliki kepastian upah yang tetap, sekedar menahan hasrat konsumsi untuk menyamai kebiasaan orang banyak: Berbelanja.

Pemahaman budaya konsumsi semakin bergeser pada awal 1960 an. Hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Periode ini merupakan pertama kalinya terdapat kemakmuran relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengonsumsi berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan, seperti kulkas, mobil, liburan ke luar negeri dan lain-lain. Pada periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola konsumsi untuk mempraktekkan identitas. [2]

Berbelanja adalah aktifitas yang kompleks. Orang-orang sepertinya tidak hanya sekedar beraktifitas secara ekonomi, mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas memuaskan kebutuhan yang utama, melainkan konsumsi yang berhubungan dengan hasrat manusia untuk membedakan identitas antara satu dengan yang lainnya.

Orang-orang seperti Bodong dan Lili bila dipertemukan dalam satu tempat pusat perbelanjaan menjelang lebaran, bisa kita duga apa yang mereka lakukan selanjutnya. Lili kembali membeli pakaian-pakaian mahal untuk bertemu saudara, ataupun kerabat pada lebaran nanti. Bodong hanya berhitung berapa uang yang dia punya untuk membeli barang, yang minimal memberi jarak identitas antara dia dan Lili. Bisa dikatakan budaya berbelanja berlebihan menjelang lebaran hanya mempertegas yang selama ini diabaikan oleh Negara, “Yang Kaya akan semakin terlihat kaya, yang Miskin akan semakin terlihat miskin”.

Referensi Bacaan
[1] John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra: 2006, hal. 143

[2] Ibid, hal. 148-149

Senin, 13 Juli 2015

4 HAL MEMBUAT MAHASISWA JOMBLO BERKUALITAS

Mahasiswa jaman dahulu lebih berkualitas dibanding mahasiswa jaman sekarang. Jaman dahulu mahasiswa sibuk berusaha menurunkan rezim yang dianggap tidak pro-rakyat. Kalau sekarang? Jangankan meluluhkan sebuah rezim, Meluluhkan hati gebetan aja rasanya ngos-ngosan.

Setelah orde baru tumbang, kebebasan ada dimana-mana. Tetapi kualitas mahasiswa malah menurun. Lihat saja jumlah mahasiswa jomblo ngenes semakin banyak. Apa buktinya? Tengok gerakan mahasiswa kekinian. Selain jumlahnya semakin sedikit, kalau kita mau ngecek lorong kampus masing-masing, pasti mereka lagi asyik nyepikin mahasiswi yang sedang lewat di lorong kampus.
Mahasiswa jomblo sekarang juga lebih sering haha-hihi-nya untuk nunjukin eksis depan gebetan. Yang gak kalah menyedihkan, hanya menyendiri di pojok kantin atau perpustakaan meratapi mantan dari kejauhan. Sisanya kuliah langsung pulang, buru-buru ngerjain tugas kuliah sambil stalking sosial media punya mantan.


(Diskusi Forum Mahasiswa IISIP Jakarta, 2011)

Oleh; Rozi H.

Memang, menjadi strategi kampus supaya mahasiswa hanya fokus urusan yang sifatnya akademis. Lulus cepat dan hanya “me-reproduksi mahasiswa jomblo tidak revolusioners” tanpa cerita apa-apa dari kampus. Bila tidak mengubah hidup secepatnya, niscaya masa kuliah menjadi suram, nestapa, dan berakhir galau dengan ngopi sendirian.

Oleh sebab itu, hal ini menjadi alasan kehidupan mahasiswa harus diubah dari dalam kampus. Setidaknya ada 4 hal bagi mahasiswa jomblo untuk tetap berkualitas pada jaman pasca-reformasi ini, yaitu:

GAUL

Enggak punya pacar di dalam kampus? Ya Tuhan, kesian bingits. Apalagi kalau kampusnya gak luas-luas amat tempat nongkrongnya. Lagi nongkrong sendiri tiba-tiba ngeliat teman lagi berduaan sama pacarnya, terus diejek lagi “kok sendirian aja?” lalu apa yang kamu rasa? Semoga tidak garuk-garuk tanah.

Bergaul tanpa membeda-beda kan adalah perbuatan yang baik. Apalagi  sebagai mahasiswa jomblo. Bergaul dengan mahasiswi, maunya ama mahasiswi yang baik,  yang pintar, yang lucu dan masih banyak lagi mau-mau nya (maaf, berlaku juga untuk sebaliknya).

Bergaul memudahkan kita memetakan mahasiswa-mahasiswa yang sedang jomblo atau tidak. Dengan begitu lebih memudahkan kita ngobrol dengan si “dia”. Ingat! awalnya 68% jadian itu berasal dari ngobrol berduaan. Yang 32% mungkin aja cuma dikasih harapan, PHP.

Buat yang pernah punya pacar, coba bergaul kembali dengan mantan. Memang tak mudah. Tetapi harus kita ketahui terkadang barisan para mantan memiliki jejaring perkawanan yang menyamai gerakan bawah tanah aktifis reformasi dahulu. Bisa saja kita jadi bahan omongan di banyak tongkrongan. Makanya kepada mantan juga harus berbaikan. Kalau tidak sengaja bertemu, jangan pura-pura tidak kenal yah.

 BIKIN RAMAI KOMUNITAS

Apa senjata pemusnah massal paling ditakuti oleh kaum jomblo se-dunia? Tentu saja jawabannya adalah KESEPIAN. Sebenarnya hal ini bisa di atasi di jaman sekarang yang mahasiswa nya sudah gak takut lagi mengekspresikan kebebasan.

Sebagai contoh, tidak sulit menemukan orang memakai baju dengan sketsa kamerad Che Guevara, Tan Malaka atau bahkan Karl Marx. Yah meskipun beberapa ada yang nyablon muka sendiri. Baca buku apa saja juga bebas. Gak ada lagi yang mengawasi dari atas pohon ataupun lubang ventilasi kos-kosan. Gak ada lagi orang berambut cepak yang mengawasi kamu, takut kamu mengorganisir gerakan jomblo bersatu tak bisa dikalahkan.

Maka setelah merasa gaul, segera lah buat perkumpulan atau komunitas mahasiswa yang senang membuat kegiatan rutin. Komunitas –komunitas di dalam kampus mulai banyak yang bertebaran sana dan sini. Kalau suka mengekspresikan puisi dan lagu untuk gebetan, mungkin saja komunitas seni adalah pilihan yang oke. Komunitas pencinta alam juga alternatif buat mahasiswa jomblo untuk sesekali merenung, Betapa alam mengajarkan, kamu tidak sendirian saat sepi menerjang.

Kalau tidak ada komunitas yang sesuai dengan DNA jomblo kita, mari buat komunitas baru. Misal, belum ada terbitan kreatif sekedar perang tulisan sesama jomblo, silahkan dibangun komunitas tersebut.

Banyak juga loh mahasiswa jomblo yang memanfaatkan komunitasnya sebagai dalih berkenalan dengan dedek-dedek cemingiw  nan prikitiw di awal semester baru. Bisa jadi suatu saat kita yang berhasil mengajak dedek-dedek wikwiw itu bergabung, eh gak tahunya, dia malah pacaran ama kawan sendiri. Yang kayak gini  ujung-ujung nya TTN- temen tapi nikung.

SENANG DISKUSI

Wiji Thukul pernah berkata, “Apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.”  Inilah kelemahan banyak mahasiswa jomblo yang kesulitan saat mengutarakan isi hati. Bagaimana nanti bisa jadian? Atau bahkan balikan ke (mantan)? kalau tidak pernah mendiskusikan permasalahan yang selalu terjadi di dalam kampus.

Seorang kawan saya pernah berujar, meski sama-sama jomblo, tapi menurutnya “diskusi itu ga bikin kece.” Siapa bilang? tengok orang suka ngomong berbusa-busa di dalam kelas-kelas kuliah. Di luar kelas, kemungkinan besar orang itu aktif berdiskusi.

Banyak kampus-kampus yang menerapkan pembelajaran di kelas dengan diskusi kelompok. Apalah namanya itu, diskusi-diskusi informal di luar kelas pastinya sangat membantu bagi mahasiswa jomblo saat presentasi makalah di kelas. Gebetan dijamin tidak akan kedip sedikitpun kalau kamu sampai orasi nantinya.

Tanpa adanya diskusi-diskusi informal antar mahasiswa, niscaya komite-komite aksi lintas kampus dan lintas sektor tidak akan terbentuk pada proses membangun persatuan melawan rezim orde baru. Gak ada lagi alasan bagi mahasiswa jomblo untuk malu berbicara di depan orang banyak. Apa kata mantan?

 BANYAKIN DEMO

Nah, setelah sudah gaul, punya komunitas, dan senang diskusi, namun rasanya ada yang kurang bila belum mencoba “Demo”. Ada adagium yang muncul, mahasiswa jaman dahulu kalau gak demo gak keren. Sekarang mahasiswa lagi demo dibilang kampungan, norak. Apalagi  mahasiswa yang hobi demo itu juga jomblo. Tapi sekarang kita bisa membuktikan bahwa mahasiswa jomblo yang hobi demo itu ga se-hina yang mereka maksud.

Baru-baru ini, demo mahasiswa kembali rame. Apa sebabnya? Meskipun karakter demo nya masih belum move-on, baca: jomblo sektoral. Berapi-api menebar ancaman akan menggulingkan rezim, eh ternyata malah rame-rame foto bareng Presiden J. Meskipun ga semua demo mahasiswa berakhir selingkuh seperti itu, masih banyak juga demo kok yang tulus untuk berteriak atas nama rakyat. Beberapa juga atas nama rakyat, alih-lih bareng demo-nya, jadi jangan heran ada beberapa  demo mahasiswa malah (di) bentrokin dengan warga setempat.

Demo bagi mahasiswa jomblo memiliki makna yang semakin luas. Sebagai contoh: demo masak ala Farah Quin- koki cantik sejuta impian dan khayalan jomblo ngenes, juga bisa dibilang demo. Bikin meme kreatif, bisa juga dibilang bentuk demo “kekinian”. Bayangkan, muka seorang pebasket kenamaan-Yao ming, pun nyinyir melawan dominasi gaya bahasa santun yang diciptakan penguasa.
Stalking facebook pacar orang saja kamu berani, mengapa mengumpulkan energi yang sama untuk sekedar demo kamu ga berani? Maka dengan demo, mahasiswa jomblo akan semakin kuat. Dijamin kebijakan-kebijakan kampus yang gak pro mahasiswa jomblo, bisa dihadapi dengan mudah.

4 hal ini diyakini akan mengubah gaya hidup mahasiswa jomblo pasca- reformasi sudah berjalan belasan tahun.. Perjuangan mereka yang sudah merelakan masa mudanya demi tata kehidupan sosial-masyarakat yang lebih adil, harus dikembangkan dengan kualitas yang baru, yah meskipun kita tetap jomblo.

Gak perlu lah kita ambil contoh orang-orang yng dahulu mendaku pejuang, nyata nya malah berpelukan dengan musuh rakyat. Sama seperti usaha mahasiswa jomblo berkali-kali demo melawan kesepian bareng kawan. Eh, Si kawan keburu memilih  jadian.


*Tulisan ini pernah dimuat situs jombloo.co, disebarluas untuk mengurangi rasa galau.

MERAWAT HARAPAN: MENCARI TEMAN TEMBAKAU SAMPAI PASAR GLODOK, JAKARTA


Manusia  butuh teman untuk menjalani hidup. Sebab teman ada untuk saling melengkapi. Saat sulit datang, teman bisa memberi solusi. Tidak hanya kita, manusia yang membutuhkan teman. Pun dengan tanaman tembakau  yang telah menghidupi  jutaan rakyat di Indonesia. Tembakau memiliki teman yang melengkapi hidup pencintanya.

(Kredit: Tanaman Tembakau)

Oleh: Rozi.H
Sejak  Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk membatasi bahan mengandung zat adiktif berupa  produk tembakau, yang muncul tahun 2012 lalu. Saya mencoba menjelajahi kawasan Pasar Glodok di Jalan Pancoran, Glodok Jakarta Barat, hanya untuk menemukan pedagang yang menjual teman tembakau.

Perburuan dimulai dengan berjalan-kaki. Sampai di Pasar Glodok membuat saya urung melangkah. Saya bertanya pada seorang petugas parkir, dimana lokasi pedagang tembakau itu berada. Ternyata dia tidak mengetahui secara persis. Terpaksa saya harus melangkah lebih jauh.

Saya tidak sendirian. Bersama seorang kawan, kami berdua melihat keadaan sekitar. Layaknya suasana Pasar, kawasan ini merupakan satu dari sekian Pasar yang tradisional yang memiliki karakternya sendiri. Masuk melalui jalan pintu utama akan disambut banyak motor yang terpakir secara liar, meskipun tertib.  Jalan tersebut terdapat  saluran air rendah yang membelah Pasar. Bila musim hujan tiba, sulit melihat jalan ini tidak tergenang air.
Di kanan-kiri bahu jalan, terdapat lorong yang selalu ramai oleh para pejalan kaki.  Banyak toko obat dan toko makanan di lorong jalan tersebut. Penjualnya rata-rata ber-etnis Tionghoa. Aroma Hio tercium dengan jelas. Menandakan kawasan ini memiliki karakter yang kuat.

Saya berjalan dari pintu masuk utama sebelah kiri lorong jalan. Kawan saya mengikuti dari belakang. Sampai di ujung lorong, ternyata saya tidak menemukan pedagang tembakau. Kawan saya memberi saran untuk segera pindah ke sebelah kanan lorong jalan. Melintasi jembatan kecil di atas saluran air dengan perlahan. Sampai di sebelah kanan lorong jalan, dari pintu masuk utama dan melewati satu-persatu  toko obat. Di Ujung lorong, secercah harapan kami muncul. Persis di sebelah Hotel Pancoran Jaya, akhirnya saya menemukan pedagang yang menjual berbagai  teman tembakau.


(Kredit foto: Moh.Jumri)


Tempatnya ternyata strategis. Orang akan berhenti sebentar untuk mengantri keluar dari lorong jalan tersebut. Sulit untuk tidak menghiraukan sebuah lapak berbahan kayu  dengan sampul kekuningan. Ada apa di sana? ternyata hiasan stiker “BolehMerokok” menempel di dinding, menandakan di situlah terdapat teman tembakau.

Langit Glodok sedang mendung, Asa tetap menggantung. Salah seorang pedagang sedang mengeluarkan salah satu teman tembakau,  yaitu pipa tembakau atau orang  mengenalnya “cangklong” dari sebuah kotak. Pipa tembakau berjejer sebagai pusat perhatian. Pun dengan kaleng-kaleng di bawahnya, yang ternyata berisi tembakau.

Kaleng-kaleng tersebut sepertinya berbahasa asing. Ada yang Inggris, Belanda bahkan bahasa Cina. Bukan berarti tembakaunya impor. Mungkin hanya kalengnya  impor. Tetapi tembakaunya bisa saja milik lokal. Hal ini membuktikan Indonesia masih bertahan dalam ekspor barang mentah. Indonesia masih kalah dengan Asing.

Slop rokok itu menumpuk. Sulit membedakan rokok impor atau lokal. Semua terlihat sama. Slop paling bawah tertulis “Made in Malaysia” dan “Made in Hongkong”. Di bawah rokok terdapat kotak-kotak cerutu “Made in Yogyakarta”.  Sebelahnya terdapat pembersih pipa, filter rokok dan kertas linting yang terbungkus rapi. Inilah tempat yang biasa disebut perkampungan “teman tembakau”. Kampung diketuai oleh Ritam.  

Ritam, 48 tahun. Akhirnya duduk bersantai di bangku merah miliknya. Waktu yang pas. Saya  ikut duduk di sebelahnya.  Laki-laki dengan baju motif garis abu-abu ini akhirnya menjelaskan bahwa harga barang yang dijualnya bervariasi. Untuk satu slop rokok baik barang impor atau lokal berisi dua belas bungkus, harga berkisar  Rp.250.000,00 sampai Rp500.000,00. Untuk pipa tembakau, panjang pipa tidak sama dengan pipa lainnya. Ada yang 7 cm – 8cm. Mangkuk pipa nya juga memiliki motif berbeda satu sama lain. Bahannya lebih banyak dari kayu.

“Pipa tembakau yang saya jual ini pipa lokal dari Ambarawa, Cirebon dan Tangerang. Harganya ada yang Rp.150.000,00 sampai Rp.200.000,00 tergantung berat dan panjang pipanya.” tutur Ritam.
Ritam pun mencontohkan gaya memakai pipa tembakau. Kawan saya menawari untuk memotretnya. Saya hanya tersenyum sekilas.

Di ujung lorong ini memang bukan Ritam saja yang menjual rokok dan pipa tembakau. Saya melirik sekilas ke seberang lapak milik Ritam.  Selagi Ritam asyik memakai pipa tembakau. Saya mendekati  seorang pedagang teman tembakau lainnya.

Udin, 47 tahun, laki-laki itu menyebut namanya dengan pelan. Saya bertanya lebih kepada  tembakau pipa yang dijualnya.

“Kaleng ini isinya tembakau lokal, harganya yah sekitar Rp.165.000,00, tergantung banyak isi tembakaunya, kalau yang ini harganya Rp.300.000,00”, ucap Udin sambil menunjukan bentuk kaleng yang lebih lebar.

Ritam mendengar percakapan saya dengan Udin. Dia menambahkan penjelasan untuk pemula yang  bisa membeli paket  berisi tembakau kaleng, Pipa tembakau dan pembersih pipa,
 “Kalau ada yang mau beli paket, bisa kita kasih harga Rp.400.000,00, isinya sudah ada tembakau kaleng, pipa dan pembersih pipa-nya”, tambah Ritam.

Baik Ritam dan Udin memiliki penghasilan yang relatif dari menjual barang dagangannya. “Sehari saya bisa mendapat Rp.800.000,00 – Rp.1000.000,00 tetapi itu kalau lagi laku saja, paling ramai hari sabtu-minggu” lugas Udin.

Saya mencoba berhitung, bila pendapatan sehari bisa mencapai satu juta rupiah, maka omset yang dicapai Ritam dalam sebulan berkisar dua puluh juta sampai tiga puluh juta rupiah.
Ternyata saya salah. Berjualan segala macam teman tembakau belum tentu memiliki pendapatan yang sama dalam setiap harinya. Ritam lalu menjawab santai,

“Adakala omset sebulan mencapai Rp.5000.000,00 – Rp.10.000.000 bisa kurang dan bisa lebih, tergantung sehar-hari nya kalau lagi banyak yang beli.” Sahut Ritam sambil mencontohkan gaya “Nyabar”- istilah menikmati tembakau yang dibakar lewat pipa tembakau.

Merintis Usaha Dalam Waktu
Pasar Glodok tempat Ritam dan Udin berdagang pada awalnya adalah tempat berdagang rempah-rempah, kuliner hingga obat-obatan. Pada tahun 1980-awal Pasar Glodok menjadi lebih dikenal sebagai surga peralatan dan barang-barang elektronik. Hal ini disebabkan banyaknya pendatang yang berdagang barang elektronik. Barang-barang elektronik ini rata-rata diimpor dari Negara Singapura, Tiongkok, Jepang, sampai Eropa dan Amerika.
Namun, pedagang rempah-rempah, kuliner dan obat-obatan masih banyak yang bertahan di kawasan tersebut. Ritam ternyata salah-satunya. Ritam mengakui ia merantau dari Kebumen ke Jakarta untuk meneruskan usaha Orang tua nya di Pasar Glodok.

“Saya dari Kebumen pergi ke sini sejak tahun 1986, meneruskan usaha Bapak saya yang sudah lama jadi Pedagang kaki lima tembakau di Pasar Glodok. Saya dulu di Kebumen menanam tembakau, namun semenjak tanah dijual, saya akhirnya berdagang disini.” kenang Ritam sambil menyalakan korek gas  kembali di pipa tembakau miliknya.

Siang menjelang, Pasar Glodok semakin ramai. Bajaj meraung, terdengar, mencari penumpang di Pasar. Orang-orang semakin banyak berlalu-lalang di  lorong jalan. Mampir untuk melihat ataupun membeli barang yang sedang dicari. Tidak ada  Rumah makan ataupun Restoran yang sepi. Orang-orang sudah mengantri untuk memesan makanan.
Seorang pembeli yang terbiasa datang mencari tembakau, ternyata tidak perlu memarkir kendaraan terlalu jauh dari lokasi tersebut. Tidak harus memasuki lorong jalan, pembeli itu langsung memarkirkan motor di depan  lapak milik Ritam.  Pembeli tersebut bingung memilih sambil menimbang barang yang akan dibelinya. Bila merasa tidak cocok, dia akan berpindah ke lapak sebelahnya.
(Kredit foto: Moh. Jumri)

Edrik, 29 tahun, laki-laki yang bekerja sebagai Supervisor ini baru saja membeli sebuah cerutu bermerek dari Yogyakarta. Dia memiliki alasan membeli sebuah teman tembakau di Pasar Glodok.
“Saya biasa menggunakan cerutu saat santai. Saya biasa datang ke sini untuk mencarinya. Hanya untuk menikmati tembakau yang saya beli. Alasannya, harga juga masih murah.” lugas Edrik,  sambil bergegas menyalakan motornya untuk pergi.

Asa Di Tengah Larangan
Tembakau merupakan tanaman yang menghidupi jutaan rakyat Indonesia. Sebab kehidupan petani tembakau, petani cengkeh, buruh linting kretek, sampai ribuan pengecer dan pedagang asongan  bergantung dari tanaman tembakau. Namun dengan adanya PP 109 Tahun 2012, sebuah Peraturan dari Pemerintah mengenai pengamanan zat adiktif dari tembakau bagi kesehatan. Jelas memiliki dampak pada pembatasan konsumsi bahan olahan tanaman Tembakau. Hal ini  ikut mempengaruhi kelanjutan nasib mereka.

Celakanya lagi, Peraturan tersebut merupakan turunan dari WHO & FCTC (Framing Convention on Tobacco) , sebuah Rezim Internasional yang berfungsi mengontrol hal-hal terkait produksi tembakau. Dengan adanya FCTC, tembakau, rokok dan “teman-temannya” sudah dianggap problem dari kesehatan, alih-alih menjawab berbagai problem di bidang ekonomi, perdagangan dan sosial.
Sudah banyak lahan yang tidak ditanami tembakau. Selain mempengaruhi kehidupan petani, juga menyebabkan  jumlah produksi Industri kretek yang menurun. Hal ini juga berdampak pada berkurangnya jumlah buruh linting. Bahkan ribuan Pedagang asongan dan Pengecer lokal pun terancam kehilangan mata pencaharian untuk berusaha.

Ritam dan Udin adalah  pedagang kaki lima yang beruntung, sebab masih bertahan di tengah gempuran peraturan yang tidak memihaknya.  Tembakau saja jelas tidak cukup menjadi barang yang satu-satunya dijual. Alasan Ini  yang buat mereka butuh teman tembakau.
Ritam pun mengakui bahwa berjualan disini bersama pedagang kaki lima lainnya bergantung pada kebaikan pengelola  Pasar Glodok.

 “Lapaknya memang  punya kami, tetapi  harus  membayar uang kebersihan Rp.90.000,00 perbulan pada pengelola, rinciannya Rp.3000,00 perhari.” ucap Ritam yang mengakui mampu “Nyabar” lima belas kali dalam sehari.

Matahari semakin meninggi. Sinarnya berusaha menembus sorot mata Ritam yang menerawang lurus ke depan. Senyumnya sekilas mengembang. Ada yang sedang dipikirkan. Bertahan hidup hanya dengan “teman tembakau“ merupakan sesuatu yang sudah disyukurinya.

“Kami punya harapan  ingin bertahan. Jangan lagi ada peraturan yang merugikan pedagang dan konsumen. Syukur suatu saat sudah  memiliki toko sendiri untuk berjualan. Agar tidak cemas kalau sewaktu-waktu digusur. Bagaimanapun tanah ini memang bukan punya kami”, tegas Ritam yang mengakui lapak miliknya buka setiap hari pada jam 09.00 pagi – jam 17.00 sore.*

*Tulisan ini pernah dimuat oleh situs MedanIISIP.wordpress.com

Sabtu, 27 Juni 2015

MELAWAN KUTIL DI TENGAH ANTI TEMBAKAU


Beberapa hari yang lalu jari tangan sebelah kiri saya kutilan. Penyebabnya kalau bukan seharian saya  tes penerimaan calon tenaga kerja baru di sebuah Perusahaan media beberapa hari yang lalu. Maklumi aja, status saya masih pengangguran bercelana bahan. Lantas hubungan dengannya apa? loh wonk, jari-jari tangan saya ini bermandikan keringat saat mengerjakan soal-soalnya. Belum lagi sambil mikir keras, tangan gemeteran, tegang dan Mbak-yang mengawas itu, iya cantik banget.


Sumber gambar: www.vemale.com

Oleh: Rozi Hariansyah
Maksudnya  bukan itu. Pokoknya pasca hari itu tiba-tiba tangan saya mendadak kutilan. Jangan tanya rasanya seperti apa. Kutilnya kalau dilihat, persis seukuran biji kacang hijau. Tenang saja saya tidak akan posting fotonya disini, saya tidak suka selfie kok. Lagipula tahu tidak, dalam dua hari kutil saya ternyata  sembuh. Kok bisa? apakah saya memakan jari tangan saya sendiri? Saya khawatir tidak. Saya mencoba cara lebih ekstrim. PAKE PUNTUNG ROKOK.
Dibakar gitu? ya mendekati sih. Ceritanya abis buka puasa, hari itu juga (Saya buka puasa pas maghrib) Bapak saya lagi asyik duduk di teras rumah. Ngeretek gitu lah. Karena efek sakit kutil ini semakin keterlaluan, saya dengan putus asa meminta tolong Bapak untuk minta duit eh maksudnya minta mendekatkan ujung batang rokok kreteknya ke kutil biadab di jari tangan saya.
Ternyata sukses. Puntung rokoknya tiba-tiba jatuh tepat di sela-sela selangkangan saya. Masa depan saya terancam. Untung saja tidak terasa. Maksudnya hanya mengenai celana. Selama lima menit saya menahan panas dari bara puntung rokok tepat beberapa senti di depan kutil kampret ini.
Saya berteriak, meringis, kepikiran mantan nya teman, dan ternyata Bapak memang sengaja menginjak kaki saya supaya mengalihkan rasa panas yang ada.
Efeknya, beberapa hari kemudian persoalan kutil kelar. Tetapi persoalan puntung rokok tidak selesai begitu saja.

Selasa (24/06) dimana kutil saya tiba-tiba tumbuh, seorang aktifis anti rokok meninggal. Almarhum meninggal setelah bertahun-tahun melawan penyakit kanker laring-salah satu organ saluran pernapasan eksternal pada manusia. Almarhum dalam sisa hidupnya seringkali mengajak orang lain untuk meninggalkan konsumsi rokok. Sungguh niat yang baik.  Semoga kebaikan almarhum selama ini menjadi amalan dan diterima di sisi Tuhan.

Saya tundukkan kepala saya sebagai bentuk respeknya terhadap sesama untuk mengingatkan bahaya akan suatu hal, ROKOK. Saya simpati pada perjuangan almarhum melawan penyakitnya. Tetapi untuk perjuangan mengkampanyekan bahaya rokok? saya khawatir tidak.
Dalam pengakuannya (yang banyak dicatut sepotong-potong oleh media yang senang huru-hara dan dipelintir riang oleh gerombolan anti tembakau), almarhum sudah merokok sejak kelas enam sekolah dasar. Kegemarannya inilah, yang membuat penyakit kanker laring datang dan sudah mengambil nyawanya tersebut? Benarkah hal itu diakibatkan oleh kebiasaannya?

Jadi ingat, tepatnya setahun yang lalu. Di sebuah desa persis di kaki gunung daerah Garut, Jawa Barat, Kebetulan saya  melakukan observasi kebutuhan mencari data terkait skripsi yang sedang saya kerjakan (Suatu saat saya akan review mengenai pengalaman tersebut di waktu yang lain). Berdiskusi, bertanya dan tidak lupa berjalan-jalan mengikuti aktifitas sehari-hari penduduk sekitar. Penduduknya mayoritas bertani. Sebagian menjadi pedagang dan peternak domba dan sapi. Ada yang membuat saya heran. Bapak-Bapak petani itu gemar melinting tembakau sendiri, menghisapnya- sejak puluhan tahun yang lalu. Tanaman yang ditanamnya sendiri. Dari segi usia. Para petani itu masih kuat.
Ah, mencangkul lahan di atas bukit yang curam dan terjal selama puluhan tahun saja masih semangat, apalagi hanya menghisap lintingan tembakau. Dari sini saya akhirnya menyimpulkan, tidak semua penyakit itu berasal dari aktifitas menghisap tembakau. Buktinya dari para petani itu. 

Lazimnya suasana desa yang berbeda dengan kota, keakraban penduduknya juga berbeda. Pun dengan udara yang dihirup. Udara di desa masih bersih dari polusi. Kalau di kota yang pembangunannya berjalan gila-gilaan dimana kendaraan bermotor tiap tahun meningkat jumlahnya, mau tidak mau jalan-jalan raya baru mesti dibangun juga. Bisa dibayangkan dari dua contoh tadi saja, polusi asap sudah mengudara dimana-mana. Apakah asap dari tembakau, khususnya rokok  lebih membahayakan dibanding jenis-jenis asap lainnya? Apalagi dijadikan satu-satunya kambing hitam penyebab polusi udara.  Kalau udara sekitarmu sehat, kamunya berpikiran sehat (saya jadi ingat senyuman Bapak petani itu), kamu tinggal berpikiran positif aja.


(Sumber gambar: Difoto teman )

Sekarang bisa dibayangkan, kalau senyuman Bapak petani itu perlahan-lahan memudar. Perampasan tanah milik petani memang lagi massif atas nama pembangunan yang memihak pemodal. Konflik terjadi dimana-mana. Bisa dibayangkan  kalau  ada aturan yang menghancurkan kehidupan petani, khususnya petani tembakau lalu bagaimana? saya tidak bilang itu aturan apa. Semoga saja, Framming Convention on Tobacco control atau biasa FCTC itu, selamanya tidak di RATIFIKASI di Indonesia, Eh smile emotikon .
Saya tahu, Gerombolan anti tembakau -cum yang juga anti terhadap ekonomi dan budayanya sendiri lebih sepakat aturan pembatasan zat dan bahan yang mengandung tembakau segera ditetapkan secepatnya. Saya menghargai kalian yang anti terhadap rokok atas nama kesehatan. Tapi ingat, terkait persoalan rokok, kita tidak hanya bicara tentang kesehatan. 6,6 juta lebih rakyat Indonesia hidupnya bergantung dengan tembakau. Buat yang hobi gerombolan nan keroyokan ini, coba saja pikirkan sendiri, siapa saja 6,6 juta rakyat Indonesia itu.
 Silahkan ikuti cara saya memberantas  kutil ini. Murah dan sederhana tentunya. Tapi jangan ikuti cara mereka-mereka yang senang menakut-nakuti orang lain. Bisa-bisa nanti disuruh minum obat penghilang panu lagi, hehehe.

Setelah kutil ini pergi, lalu apalagi yang nanti dilakukan gerombolan anti tembakau? :)