Jumat, 23 Agustus 2019

STAF PENDUKUNG


Awalnya aku mengira tidak ada pekerjaan yang lebih rumit saat kita berada di lapangan. Ini bukan tentang menjadi pesepakbola atau pemain basket. Kena sinar matahari, bertarung dengan macet, pun semanis kecap bila bertemu orang lain untuk yang kerjanya lebih banyak di luar kantor. Tentu saja aku tahu rasanya karena selama ini aku lebih banyak berkutat menjadi salesman. Maaf lebih tepatnya adalah tukang buku, tukang cokelat, tukang nawar iklan dan tukang kopi, barangkali…

Namun semua berubah saat mengira aku adalah orang lapangan. Menjadi seorang staf pendukung, itu berarti kamu juga harus bersiap bengong seharian di depan komputer.

(Goal.com)

Oleh : Rozi Hariansyah
Serba bisa. Kata yang tepat untuk menyebut orang-orang yang pandai mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, alih-alih menyebutnya ‘orang gila’, kata mantan bos ku dulu sewaktu masih bekerja di perusahaan penerbitan.

Aku bekerja sebagai administrasi operasional di sebuah bimbingan belajar. Jadi ingat waktu pertama kali diterima kerja. Bos ku bilang meski aku akan lebih banyak bekerja di depan komputer, tetapi juga harus siap sewaktu-waktu keluar kantor untuk promosi ke sekolah. Ambil inventaris barang ke gudang, mengganti staf yang tidak masuk dan  anterin kakak pengajar menyeberang ke cabang lain.

Bimbelnya memang punya banyak cabang. Maka aku kira tadinya akan bareng satu tempat dengan teman, yang sama-sama baru bekerja disini. Ternyata dia ditempatkan di cabang yang lain.

Tidak masalah sih, setidaknya bayangan bengong seharian melototin monitor sudah hilang dari kepala.

Input data absen, uang pendaftaran dan membuat laporan  ibarat sudah jadi teman setiap hari. Isi spidol, menyalakan AC di setiap ruang kelas, bersih-bersih komputer, merapikan bahan ajar siswa dan tentu saja godain mbak-mbak cantik yang lewat setiap hari depan kantor. Yang terakhir enggak deh.

Mana mungkin kami berani kurang ajar dengan tempat kerjaku yang mengatasnamakan bimbel islami. Sebagai tempat belajar alternatif selain di sekolah, jelas kami harus sigap melayani anak-anak sekolahan yang jajannya mengalahkan upah kami dalam sehari saat mereka datang jam empat sore. 

Apakah segitu aja rutinitasku sehari-hari? Yah enggak lah. Untuk menghilang penat, kadang kita suka nyolong waktu sekadar bercanda garing saja sama rekan kerja di kantor.

Lalu aku berfikir apakah dengan tugas ganda-campuran ini, kita bisa fokus menyelesaikan pekerjaan? Aku coba melemparkan tanya kepada temanku.

Sialnya yang lagi ditanya malah sedang asyik nonton film La la land. Jujur aja ini adalah film kedua selain High School Musical, yang sukses bikin aku pusing karena kebanyakan muter-muter sambil nyanyi-nyanyi.

Temanku lagi tidak muter-muter sih. Dia cuma jawab, “Yah begitulah petugas administasi”.

Apakah di tempat kerjamu petugas administrasi, kayak begini ini kerjanya? atau kamu yang ternyata seorang admin, hanya bisa senyum-senyum sakit gigi membaca pertanyaanku ini?

Pada akhirnya aku mengakui bahwa bekerja sebagai petugas administrasi tidak kalah capeknya dibandingkan dengan petugas di lapangan.

Apalagi kalau kerjaan keduanya digabungin. Rasanya seperti minum obat puyer. Puyeng gimana gitu yah.

Biasanya untuk tempat kerja yang bergelut didunia bisnis tentu saja membutuhkan promosi. Apalagi bisnis jasa pendidikan. Makanya aku sering promo sederhana, selain memanfaatkan alat telekomunikasi tentunya. Seperti menyebar brosur ke perumahan, sekolah, ataupun dijalanan strategis. Aku sering melakukannya bersama CS.

Kami memanggilnya CS, biar lebih setara. Meski sebenarnya CS ini layaknya orang yang sering dapat perlakuan kayak tukang disuruh-suruh. Aku tidak mau menganggapnya sebagai Office Boy, pembantu, tukang jaga markas,atau apalah yang sering disebut banyak orang. 

Lagipula asal tahu saja, CS lah yang paling paham dengan seluk-beluk kehidupan kantor. Karakter Bos, siapa yang paling nyebelin, siapa yang penakut, siapa yang paling baik, atau bahkan sekedar warung makan yang enak disekitar kantor.

Pak Sabar nama CS nya. Beliau ini yang mengajari aku menyebar brosur di rumah kosong. Enggak-enggak, bercanda kok. Pak Sabar, sesuai namanya memang sabar banget kok kalau menghadapi kami, staf-staf gak tahu diri yang kalau sekedar makan atau minum, piring dan gelas saja gak mau ditaruh di ember. Ditaruh di meja semua. Nah pas giliran mau minum, gelas abis salah siapa coba? Gelas masih ada di meja, ngapain lagi ngambil gelas baru yang ada di rak.

Kami yang cuma staf biasa, kadang bisa menjadi satu solidaritas kalau merasa capek sama-sama saat bekerja. Makanya ketika Pak Sabar yang sudah bekerja tujuh tahun lebih memutuskan resign, aku  merasa sedih kehilangan Pak Sabar. 

Kembali lagi saat aku mengerjakan tugas-tugas kantor. Kamu pernah merasa tidak sih, tugasmu sendiri saja sudah banyak tiba-tiba ada saja tugas yang baru datang lagi dan datang lagi. Menumpuk melulu.

Petugas Administrasi paling cuma cengar-cengir saja saat dimintain tolong seperti itu. Meskipun bisa jadi itu bukan tugasnya. Kalau begitu ingin rasanya berak sekebon.

Membangun rasa solid dan percaya antar rekan kerja menjadi sangat penting. Apapun jenis pekerjaannya kalau lingkunganmu mendukung, kamu bisa nyaman aja sih.

Tapi hidup di dunia ketidakpastian kerja gak bisa nyaman-nyaman aja sih sebenarnya. Periksa status kerjamu. Apakah masih magang, coba-coba, kontrak setiap tahun, kontrak selamanya atau sudah jadi dewa (pegawai tetap)? tenang saja, pekerja semestinya dilindungi Undang-Undang Tenaga Kerja yang berlaku kan?

Hayoloh, jangan bisanya  bikin grup whatsapp aja yang hobi gosipin soal kantor, hehehe.

Kalau sudah begini yah tidak mudah memang kalau jadi petugas administrasi-beban ganda kayak gini. Apakah lebih baik merasa syukur saja karena sudah bekerja disaat yang lain masih menganggur?

Tiba-tiba temanku menepuk pundakku, karena aku dari tadi kebanyakan bacot sendirian di depan kaca tempat wudhu. Dia bilang begini,

“Ojin, jangan bengong baek. Minta tolong yah nanti ada siswa kelas enam yang mau minta bantuan mengerjakan pr ipa.”

“Waduh, bukannya ada pengajar yang bisa? gue masih ada inputan data yang belum selesai nih om bro” kata ku.”

Temanku bilang bahwa pengajarnya lagi sibuk semua atau lagi tidak ada jadwal mengajar hari ini.

Aku mau protes, karena jadi pengajar adalah bukan tugasku. Aku kan hanya seorang petugas administrasi. Tapi temanku langsung cecar,

“Gapapa Ojin, jadi STAF PENDUKUNG itu dapat pahala loh”

Ah gigit nih.***

Selasa, 13 Agustus 2019

AH SHE ALL


Aku kembali memeriksa pesan masuk di email, demi meyakinkan bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah benar menyuruhku untuk hadir hari ini. Aku harus datang.

Saatnya berburu.



Oleh : Rozi Hariansyah
Memburu kepastian. Sudah lelah menjadi laki-laki panggilan karena menunggu untuk tawaran kerja. Menjadi ‘Co-Punk’, cowok panggilan – istilah kerennya. Sesuatu yang keren apaan? setelah lulus kuliah pada penghujung tahun 2014, saatnya aku mencari pekerjaan. Normal kan, memiliki penghasilan sendiri, dan syukur bisa membahagiakan orang tua.

Tetapi hampir enam bulan aku hanya beraktifitas dalam organisasi saja. Kadang nongkrong, minum kopi, bengong saat rapat atau ketiduran sampai siang.

Awalnya aku kira dengan sambil berorganisasi, otomatis kita akan memiliki pekerjaan. Organisasi yang jenis apa dulu? Iya sih pekerjaan memang banyak, namun jadi relawan. Tetapi namanya organisasi ‘Avenjer’, masa mau diduitin. Karena dompet di kantong sudah mulai tawuran dan keos massal, akhirnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaan yang memiliki penghasilan tetap. 

Pasti bosan kalau hidup begini-gini saja. Kita harus berkali-kali membongkar visi, meramu misi dan mengeksekusinya. Misal begini, waktu pertama kali masuk kuliah ditanya sama senior, “cita-cita mau jadi apa”? banyak yang menjawab, jadi politikus, jadi anggota dewan, jadi pengusaha, jadi menteri dan bahkan jadi presiden. Giliranku, Aku jawab, “kak aku salah jurusan”. 

Aku senang pelajaran fisika malah masuk jurusan ilmu politik.

Semua berubah ketika aku mendapat panggilan wawancara. Saatnya aku menjalankan misi. Yakinkan aku bahwa visi dan perjalanan sekarang adalah tidak salah jurusan saat menuju daerah Tebet, Jakarta Selatan.

Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang rem depannya tidak pakem, mungkin membuatmu benar-benar menjadi metahuman yang kebal dengan segala jenis koreng.

Aku sudah sampai. Alamatnya sih sudah benar sesuai dengan pesan masuk di email. Hanya modal kemeja rapih dimasukin dan bercelana bahan bersepatu bukan pantofel, dengan percaya diri aku memasuki sebuah rumah yang dikenal sebagai studio produksi berjenis film dokumenter. 

Sekeliling rumah ini banyak dipenuhi ornament-ornamen bernilai estetik. Ah pasti yang tinggal disini semuanya memiliki jiwa seni. Aku hanya punya jiwa ngebanyol saja.

Pandanganku berhenti setelah sesekali menyipitkan mata karena lampu-lampu di pojok ruangan menyala redup. Apakah ada yang mau syuting? Ternyata tidak. Samar aku lihat ada perempuan yang sedang menunggu juga. Lima jumlahnya. Baru kali ini aku merasa jadi paling ganteng.

Aku cengar-cengir untuk permisi duduk di bangku panjang seberang perempuan-perempuan itu. Sebagian dari mereka cuma senyum sambil bilang dalam hati, “ini-cowok-siapa-sih-sok-akrab-sok-rapih-jangan-jangan-mau-minta-sumbangan-yah”.

Mereka semua berpakaian lebih kasual tapi sopan. Aku sadar seandainya kalau kita semua dipanggil untuk ikut lomba peragaan busana, aku jelas kalah. Hanya aku sendiri yang memakai kemeja putih dimasukin, celana hitam, dan sepatu bukan pantofel.

Padahal kita tidak sedang menunggu untuk wawancara di Perusahaan atau Bank, kan?

Sambil menunggu si-empunya yang memanggil kita, seorang laki-laki menawari kami gorengan sepiring untuk ber-enam. Ada bakwan, cabe, tempe,tahu,risol, cabe lagi dan sebagainya. Para perempuan itu malu-malu untuk mengambil salah satunya. Padahal sudah lapar tuh, kan mereka sudah menunggu lebih lama. Dengan sikap cool, aku mempersilahkan untuk mereka mengambil gorengan diatas piring, tetapi tanganku sudah mencomot tahu isi duluan.

Aku si laki-laki jalang.

Akhirnya setelah menunggu setengah jam, yang memanggil kita wawancara sudah datang. Seorang perempuan juga. Lebih baik aku memanggilnya kakak, karena dia pasti lebih tua dariku. Barangkali kalau laki-laki yang bawain gorengan tadi aku kurung di dalam kamar mandi, aku menjadi mutlak paling tampan di rumah ini. 

Tetapi laki-laki yang tadi terlalu baik. Tidak sampai hati aku berniat jahat. Buktinya dia membawakan air mineral sambil permisi untuk berlalu. Nah gitu dong, seret kan abis makan gorengan.

Sesi wawancara dilakukan secara grup. Kakak pewawancara secara bergantian menanyakan informasi pribadi masing-masing. Sebagai laki-laki sendiri yang cuma sendirian, aku jadi panik at the disko. Bagaimana mungkin tiba-tiba introvert ku keluar. Setidaknya aku bisa mengatasi keadaan meskipun tangan gemetar sampai keluar keringat dingin.

Kakak pewawancara menjelaskan panjang lebar alasan kami dipanggil. Tentu untuk mengisi lowongan pekerjaan. Yang tersedia saat ini adalah jadi host atau pemandu acara yang bersifat sosial.

“Maksudnya bagaimana? tanya seorang perempuan berjilbab ungu”. Hai adek berjilbab ungu yang kayak ulet bulu. tolong jangan dicela dulu kakak pewawancaranya.

“Jadi kalau kalian pernah lihat acara di televisi, dimana setiap segmen selalu ada kisah, misal kakek yang sudah renta menangis melihat cucu nya berjualan sampai malam sehabis pulang sekolah, atau anak-anak bermain riang gembira saat pembangunan taman bermain berhasil dikerjakan oleh pengembang properti.” Kata kakak pewawancara.

Oh seperti acara ‘orang pojokan’ atau ‘andai aku menjadi avenjer’. Oh oke, aku paham sekarang. Aku tertarik banget mendengar cerita kakak pewawancara mengenai pentingnya film jenis dokumenter sosial-kemanusiaan ini. Intinya untuk membuka kesadaran banyak orang, bahwa masih banyak yang belum beruntung diluar sana.

aku tertarik ketika kakak pewawancara menjelaskan juga teknis pembuatan film jenis dokumenter ini. Dari cara membuat alur cerita, detail pengambilan gambar dan tentunya pemilihan tempat yang menjadi tantangan, misalnya di desa terpencil, perkampungan diluar pulau ataupun orang-orang yang tinggal di gubuk tapi sekelilingnya perumahan elit.

Namun aku bingung saat kakak pewawancara berkata, “kita perlu menggugah emosi banyak orang”. Aku semakin dibuat terkejut dan terheran-heran manakala kakak pewawancara juga bilang bahwa perlu seorang 'perempuan' yang menangani suasana agar emosinya terlihat dapat.

Hoey, memangnya laki-laki tidak bisa menangis? kalau kami ingin menangis tidak terang-terangan ditunjukkan kepada banyak orang, kakak. Menangis adalah hak setiap manusia. Gak tahu deh kalau diputusin pacar perempuan.

Memang sih jarang ada pemeran laki-laki yang kecuali agak-agak gimana gitu yang mau diajak menangis setelah menolong orang dengan kasih uang tubruk, operasi rumah dalam sehari ataupun nyamar jadi jomblo  gembel kasih uang untuk orang yang beruntung. Semoga saja itu semua bukan prank settingan.

Tapi aku tidak percaya saja yang ditonjolkan melulu soal kesedihan. Kenapa tidak dibangun wacana penyadaran sosio-ekonomi-politik alih-alih suasana kesedihan saja. Misalnya ini tanggung jawab pejabat tingkat lokal. Terus dicari tahu akar penyebab kondisi secara struktural. Masa  perempuan hanya sebagai subjek sekaligus objek yang emosinya bisa laku dijual. Eh nanti dimarahin sama aktifis feminisme loh.

Aku tidak tahu bisnis industri film dokumenter sosial-kemanusiaan. Dugaanku semoga saja meleset. Sebagai mantan anggota avenjer, aku hanya bisa kritis dalam kepala. Belum tentu dalam tindakan. Bukankah selama ini kita yang mendaku paling tahu segalanya ternyata Enol besar dalam memberi contoh terbaik?

Pejuang keadilan sosial bersatulah.

Balik lagi saat kakak pewawancara menjelaskan panjang lebar tugas kita nanti dalam syuting film dokumenter. Kita observasi lokasi, cari tokoh lokal setempat, dan penginapan untuk berhari-hari ataupun berminggu-minggu. Bisa di wisma atau di hotel. Setelahnya menyiapkan kebutuhan cerita dan perlengkapan.

Sebagai perbandingan aku pernah ditinggalin sama temanku yang bernama Alipkeriting untuk belajar politik pedesaan. Wilayah yang memiliki akar sejarah panjang konflik agraria. Tinggal di rumah petani anggota Serikat, makan bersama mereka dan mengikuti aktifitas harian. Senang dan susah selalu ada solusi. Yang paling penting beramai-ramai membangun kampung swakelola mandiri.

Sudah banyak contoh keberhasilan pembangunan politik seperti itu. Idealis dalam kepalaku bergejolak. Bagaimana mungkin kita berkepentingan datang ke suatu wilayah hanya untuk menjual kemiskinannya semata, alih-alih memberi solusi nyata untuk perbaikan kondisi. Semoga setelah proses syuting selesai, ada solusi perbaikan untuk masyarakat sekitar.

Ah masa bodo dengan idealisme kurang ajar yang bikin dompet ku kebanyakan angin ini. Aku cuma mau kerja. 

Kakak pewawancara sudah selesai menjabarkan detail-detail yang aku kurang perhatikan dengan seksama karena kebanyakan mikir dari tadi. Lalu kakak pewawancara bilang,

“Maaf mas Rozi, sebenarnya sesuai yang tadi saya jelaskan, kita hanya butuh seorang perempuan untuk direkrut jadi host dalam tim produksi dokumenter ini, maaf yah. Mungkin mas Rozi nanti kita tawarkan untuk posisi yang lain, misalnya pegangin baterai lampu atau jagain sandal tim kreatif mungkin?”

“Ha?” aku bingung.

“Bercanda mas Rozi, hehe. Mungkin kalau ada posisi yang pas sesuai dengan keahlian mas Rozi di CV-nya, nanti kita hubungi segera.”

Aku coba untuk melakukan kesetaraan nyender di tembok. Maksudnya untuk menenangkan diri dulu. Setelah aku sadar, aku cuma mengangguk-angguk saja.

Ternyata dugaan ku dari awal benar. Dari enam orang yang dipanggil wawancara, seharusnya perempuan semua. Lalu mengapa aku dipanggil untuk kesini?

Satu bulan kemudian sambil berharap aku dipanggil lagi untuk wawancara, aku kembali periksa pesan masuk di email, demi meyakinkan bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah benar menyuruhku untuk hadir untuk wawancara tempo hari. 

Aku hanya bisa berteriak,

AH SHE ALL

***