Aku kembali memeriksa pesan masuk di email, demi meyakinkan
bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah benar menyuruhku untuk hadir
hari ini. Aku harus datang.
Saatnya berburu.
Oleh : Rozi Hariansyah
Memburu kepastian.
Sudah lelah menjadi laki-laki panggilan karena menunggu untuk tawaran kerja. Menjadi
‘Co-Punk’, cowok panggilan – istilah kerennya. Sesuatu yang keren apaan? setelah
lulus kuliah pada penghujung tahun 2014, saatnya aku mencari pekerjaan. Normal
kan, memiliki penghasilan sendiri, dan syukur bisa membahagiakan orang tua.
Tetapi hampir enam bulan
aku hanya beraktifitas dalam organisasi saja. Kadang nongkrong, minum kopi,
bengong saat rapat atau ketiduran sampai siang.
Awalnya aku kira dengan
sambil berorganisasi, otomatis kita akan memiliki pekerjaan. Organisasi yang
jenis apa dulu? Iya sih pekerjaan memang banyak, namun jadi relawan. Tetapi
namanya organisasi ‘Avenjer’, masa mau diduitin. Karena dompet di kantong sudah
mulai tawuran dan keos massal, akhirnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaan
yang memiliki penghasilan tetap.
Pasti bosan kalau hidup begini-gini saja. Kita
harus berkali-kali membongkar visi, meramu misi dan mengeksekusinya. Misal
begini, waktu pertama kali masuk kuliah ditanya sama senior, “cita-cita mau
jadi apa”? banyak yang menjawab, jadi politikus, jadi anggota dewan, jadi
pengusaha, jadi menteri dan bahkan jadi presiden. Giliranku, Aku jawab, “kak aku salah
jurusan”.
Aku senang pelajaran fisika malah masuk jurusan ilmu politik.
Semua berubah ketika
aku mendapat panggilan wawancara. Saatnya aku menjalankan misi. Yakinkan aku
bahwa visi dan perjalanan sekarang adalah tidak salah jurusan saat menuju
daerah Tebet, Jakarta Selatan.
Mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan tinggi yang rem depannya tidak pakem, mungkin membuatmu
benar-benar menjadi metahuman yang
kebal dengan segala jenis koreng.
Aku sudah sampai.
Alamatnya sih sudah benar sesuai dengan pesan masuk di email. Hanya modal kemeja rapih dimasukin dan bercelana bahan
bersepatu bukan pantofel, dengan
percaya diri aku memasuki sebuah rumah yang dikenal sebagai studio produksi berjenis film dokumenter.
Sekeliling rumah ini
banyak dipenuhi ornament-ornamen bernilai estetik. Ah pasti yang tinggal disini
semuanya memiliki jiwa seni. Aku hanya punya jiwa ngebanyol saja.
Pandanganku berhenti
setelah sesekali menyipitkan mata karena lampu-lampu di pojok ruangan menyala
redup. Apakah ada yang mau syuting? Ternyata tidak. Samar aku lihat ada
perempuan yang sedang menunggu juga. Lima jumlahnya. Baru kali ini aku merasa jadi
paling ganteng.
Aku cengar-cengir untuk
permisi duduk di bangku panjang seberang perempuan-perempuan itu. Sebagian dari
mereka cuma senyum sambil bilang dalam hati, “ini-cowok-siapa-sih-sok-akrab-sok-rapih-jangan-jangan-mau-minta-sumbangan-yah”.
Mereka semua berpakaian
lebih kasual tapi sopan. Aku sadar seandainya kalau kita semua dipanggil untuk ikut
lomba peragaan busana, aku jelas kalah. Hanya aku sendiri yang memakai kemeja
putih dimasukin, celana hitam, dan sepatu bukan pantofel.
Padahal kita tidak
sedang menunggu untuk wawancara di Perusahaan atau Bank, kan?
Sambil menunggu si-empunya
yang memanggil kita, seorang laki-laki menawari kami gorengan sepiring untuk
ber-enam. Ada bakwan, cabe, tempe,tahu,risol, cabe lagi dan sebagainya. Para
perempuan itu malu-malu untuk mengambil salah satunya. Padahal sudah lapar tuh,
kan mereka sudah menunggu lebih lama. Dengan sikap cool, aku mempersilahkan untuk mereka mengambil gorengan diatas
piring, tetapi tanganku sudah mencomot tahu isi duluan.
Aku si laki-laki jalang.
Akhirnya setelah
menunggu setengah jam, yang memanggil kita wawancara sudah datang. Seorang
perempuan juga. Lebih baik aku memanggilnya kakak, karena dia pasti lebih tua
dariku. Barangkali kalau laki-laki yang bawain gorengan tadi aku kurung di
dalam kamar mandi, aku menjadi mutlak paling tampan di rumah ini.
Tetapi laki-laki yang
tadi terlalu baik. Tidak sampai hati aku berniat jahat. Buktinya dia membawakan
air mineral sambil permisi untuk berlalu. Nah gitu dong, seret kan abis makan
gorengan.
Sesi wawancara
dilakukan secara grup. Kakak pewawancara secara bergantian menanyakan informasi
pribadi masing-masing. Sebagai laki-laki sendiri yang cuma sendirian, aku
jadi panik at the disko. Bagaimana mungkin tiba-tiba introvert ku keluar. Setidaknya aku bisa mengatasi keadaan meskipun
tangan gemetar sampai keluar keringat dingin.
Kakak pewawancara
menjelaskan panjang lebar alasan kami dipanggil. Tentu untuk mengisi lowongan
pekerjaan. Yang tersedia saat ini adalah jadi host atau pemandu acara yang bersifat sosial.
“Maksudnya bagaimana?
tanya seorang perempuan berjilbab ungu”. Hai adek berjilbab ungu yang kayak ulet
bulu. tolong jangan dicela dulu kakak pewawancaranya.
“Jadi kalau kalian
pernah lihat acara di televisi, dimana setiap segmen selalu ada kisah, misal
kakek yang sudah renta menangis melihat cucu nya berjualan sampai malam sehabis
pulang sekolah, atau anak-anak bermain riang gembira saat pembangunan taman
bermain berhasil dikerjakan oleh pengembang properti.” Kata kakak pewawancara.
Oh seperti acara ‘orang
pojokan’ atau ‘andai aku menjadi avenjer’. Oh oke, aku paham sekarang. Aku
tertarik banget mendengar cerita kakak pewawancara mengenai pentingnya film
jenis dokumenter sosial-kemanusiaan ini. Intinya untuk membuka kesadaran banyak
orang, bahwa masih banyak yang belum beruntung diluar sana.
aku tertarik ketika
kakak pewawancara menjelaskan juga teknis pembuatan film jenis dokumenter ini. Dari
cara membuat alur cerita, detail pengambilan gambar dan tentunya pemilihan
tempat yang menjadi tantangan, misalnya di desa terpencil, perkampungan diluar
pulau ataupun orang-orang yang tinggal di gubuk tapi sekelilingnya perumahan
elit.
Namun aku bingung saat
kakak pewawancara berkata, “kita perlu menggugah emosi banyak orang”. Aku
semakin dibuat terkejut dan terheran-heran manakala kakak pewawancara juga
bilang bahwa perlu seorang 'perempuan' yang menangani suasana agar emosinya
terlihat dapat.
Hoey, memangnya laki-laki tidak bisa menangis? kalau kami ingin menangis tidak terang-terangan ditunjukkan kepada banyak orang, kakak. Menangis adalah hak setiap manusia. Gak tahu deh kalau diputusin pacar perempuan.
Memang sih jarang ada
pemeran laki-laki yang kecuali agak-agak gimana gitu yang mau diajak menangis
setelah menolong orang dengan kasih uang tubruk, operasi rumah dalam sehari
ataupun nyamar jadi jomblo gembel
kasih uang untuk orang yang beruntung. Semoga saja itu semua bukan prank settingan.
Tapi aku tidak percaya
saja yang ditonjolkan melulu soal kesedihan. Kenapa tidak dibangun wacana
penyadaran sosio-ekonomi-politik alih-alih suasana kesedihan saja. Misalnya ini
tanggung jawab pejabat tingkat lokal. Terus dicari tahu akar penyebab kondisi
secara struktural. Masa perempuan hanya sebagai
subjek sekaligus objek yang emosinya bisa laku dijual. Eh nanti dimarahin sama
aktifis feminisme loh.
Aku tidak tahu bisnis industri
film dokumenter sosial-kemanusiaan. Dugaanku semoga saja meleset. Sebagai
mantan anggota avenjer, aku hanya bisa kritis dalam kepala. Belum tentu dalam
tindakan. Bukankah selama ini kita yang mendaku paling tahu segalanya ternyata
Enol besar dalam memberi contoh terbaik?
Pejuang keadilan sosial
bersatulah.
Balik lagi saat kakak
pewawancara menjelaskan panjang lebar tugas kita nanti dalam syuting film dokumenter.
Kita observasi lokasi, cari tokoh lokal setempat, dan penginapan untuk
berhari-hari ataupun berminggu-minggu. Bisa di wisma atau di hotel. Setelahnya
menyiapkan kebutuhan cerita dan perlengkapan.
Sebagai perbandingan
aku pernah ditinggalin sama temanku yang bernama Alipkeriting untuk belajar
politik pedesaan. Wilayah yang memiliki akar sejarah panjang konflik agraria. Tinggal
di rumah petani anggota Serikat, makan bersama mereka dan mengikuti aktifitas
harian. Senang dan susah selalu ada solusi. Yang paling penting beramai-ramai
membangun kampung swakelola mandiri.
Sudah banyak contoh
keberhasilan pembangunan politik seperti itu. Idealis dalam kepalaku
bergejolak. Bagaimana mungkin kita berkepentingan datang ke suatu wilayah hanya
untuk menjual kemiskinannya semata, alih-alih memberi solusi nyata untuk
perbaikan kondisi. Semoga setelah proses syuting selesai, ada solusi perbaikan
untuk masyarakat sekitar.
Ah masa bodo dengan idealisme
kurang ajar yang bikin dompet ku kebanyakan angin ini. Aku cuma mau kerja.
Kakak pewawancara sudah
selesai menjabarkan detail-detail yang aku kurang perhatikan dengan seksama
karena kebanyakan mikir dari tadi. Lalu kakak pewawancara bilang,
“Maaf mas Rozi,
sebenarnya sesuai yang tadi saya jelaskan, kita hanya butuh seorang perempuan
untuk direkrut jadi host dalam tim
produksi dokumenter ini, maaf yah. Mungkin mas Rozi nanti kita tawarkan untuk
posisi yang lain, misalnya pegangin baterai lampu atau jagain sandal tim kreatif
mungkin?”
“Ha?” aku bingung.
“Bercanda mas Rozi,
hehe. Mungkin kalau ada posisi yang pas sesuai dengan keahlian mas Rozi di CV-nya, nanti kita hubungi segera.”
Aku coba untuk
melakukan kesetaraan nyender di tembok. Maksudnya untuk menenangkan diri dulu.
Setelah aku sadar, aku cuma mengangguk-angguk saja.
Ternyata dugaan ku dari
awal benar. Dari enam orang yang dipanggil wawancara, seharusnya perempuan
semua. Lalu mengapa aku dipanggil untuk kesini?
Satu bulan kemudian
sambil berharap aku dipanggil lagi untuk wawancara, aku kembali periksa pesan
masuk di email, demi meyakinkan bahwa aku tidak keliru. Seorang perempuan sudah
benar menyuruhku untuk hadir untuk wawancara tempo hari.
Aku hanya bisa
berteriak,
AH SHE ALL
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar