Kamis, 09 Maret 2017

Galaunya Mahasiswa Menjadi Agen Perubahan

Siapa yang masih berstatus mahasiswa? Ayo pakai lah almamatermu. Masa depan bangsa ada di pundak kita semua. Jangan ragu. Kita lah agen strategis pembangunan dan calon pemimpin bangsa di masa depan. Lagi-lagi jangan ragu. Kita harus percaya bahwa sebagai pendobrak paradigma dan stigma, kita lah gerakan perubahan negeri, karena kita mahasiswa!


(Sumber: nusantaranews.com)

Oleh: Rozi Hariansyah

Pertama-tama jangan menganggap tulisan ini sebagai sesuatu hal yang sangat serius. Yang perlu kita lakukan adalah mendifinisikan arti menjadi mahasiswa saat ini. Yah menjadi mahasiswa, berarti sebagai kaum terdidik intelektual yang diharapkan oleh segenap bangsa, harapan orang tua, harapan mertua, dan bisa saja harapan orang se-kampung. Setelah lulus kuliah tentu saja kita berharap memiliki masa depan yang cemerlang. Namun semakin banyak jumlah mahasiswa yang lulus kuliah, apa yang sudah berubah dari nasib  masyarakat yang tetap melarat?

Ups sudah, jangan terbawa seperti suasana ditengah-tengah demonstrasi.

Jadi begini, ada apa gerangan? mungkin sudah benar sejak dahulu kala mahasiswa adalah kaum terdidik-elit yang hanya menjadi kacung kolonial agen harapan bangsa, dalam konteks bangsa yang berupaya untuk mengusir penjajah-penjajah yang membodohi anak negeri untuk terus dieksploitasi.

Lalu sekarang penjajahannya masih ada atau tidak yah? Kalau masih ada, sekarang  berada  di mana? Penjajah itu ternyata berada di isi kepala kita sendiri, yang terkadang memisahkan materi pendidikan ekslusif yang dipelajari di ruang kelas dengan kehidupan nyata sehari-hari diluar kampus. Penjajah itu adalah ajaran-ajaran salah kaprah bahwasanya mahasiswa adalah agen perubahan.

Suryadi Rajab (1991) dalam tulisannya yang bejudul “Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru” menjabarkan secara ringkas mengenai mistisnya gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan yang menjauhkan pendidikan sebagai bagian dari realitas sosial-politik sehari-hari. Terbukti, warisannya yang sampai saat ini adalah masih asingnya bagi sebagian mahasiswa untuk diajak serius membicarakan realitas keadaan sosial-politik hari-hari ini.

 Mau jadi “orang penting” tapi kok menjauh dari lingkungannya sendiri.

Sejatinya pendidikan yang adil ialah pendidikan yang berguna membangun peradaban dari kebiadaban. Seperti yang diutarakan oleh seorang Filsuf Revolusioner dari Brazil, Paolo Freire mengenai pendidikan yang membebaskan. Bukan “Guru menerangkan, anak murid diam” tetapi “Guru menerangkan, anak murid bebas bertanya”. Pendidikan harus lah membebaskan bukan menciptakan sekumpulan orang yang patuh sambil menunduk.

Hal itu yang membuat sebagian besar dari banyak orang sekarang  ter diam ketika masih banyak adanya ketidak-adilan di ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat. Sementara itu Negara jelas memiliki tanggung jawab mencerdaskan seganap rakyat dari segala lapisan. Tak peduli, anak desa, kaum miskin kota, masyarakat pinggiran dan segenap mayoritas masyarakat yang memang sampai hari ini belum bisa dikatakan merasakan hidup sejahtera. Benar kah harapan mahasiswa seolah menjadi kosong belaka, disaat bersamaan tidak semua pemuda harapan mertua eh harapan bangsa, bisa berkuliah karena biaya pendidikan yang semakin melangit?

Mari galau saat menjadi mahasiswa. Kebiasaan gaya hidup hedon, individualis dan egoisme mungkin hanyalah urat nadi yang nampak sebagai biang kerok yang mesti disalahkan. Tetapi "ruh" dari problem agen of change ini belum bisa terlihat oleh mata telanjang kita. Seperti ketika kita berjuang melawan kebijakan kampus mengenai catatan absensi yang menyuruh mahasiswa untuk tetap belajar di ruang kelas saja. Padahal kan belajar tidak hanya di ruang kelas?

Jika jawabannya seperti ini bisa saja mudah dipatahkan mengingat ternyata masih banyak kok mahasiswa yang lebih senang sebagai agen of nongkrong di sudut-sudut kampus dan warung pinggir jalan, sudahkah kita bijak ?

Sejatinya, bisa saja menjadi benar bahwa mahasiswa ialah agen perubahan. Tiada yang salah dengan ungkapan tersebut. Entah setelah lulus kuliah lebih memilih profesi menjadi dokter, insinyur, peneliti, akuntan, guru, dsb. Namun yang menjadi bermasalah adalah kalau kita lupa bahwa realitasnya sampai sekarang mahasiswa setelah lulus kuliah tentu berdesak-desakan mencari pekerjaan disaat jumlah lowongan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang baru lulus setiap enam bulan sekali. Setelah lulus kuliah tetaplah kita menjadi kaum pekerja, kaum pekerja yang tidak bisa hidup dari relasi kerja-upahan/gaji.

Tidak menjadi problem bagi kita yang menganggap menjadi mahasiswa adalah jembatan meraih karir/ jabatan. Atau kitalah yang saling bermusuhan mendapatkan kejelasan masa depan dengan saling sikut-sikutan. Dengan indeks nilai prestasi tinggi, kesempatan bagi si pintar untuk menghajar mahasiswa tolol nan pemalas demi  masa depan orang per orang. Meskipun nilai IPK yang tinggi bukan jaminan untuk mencapai karir yang cemerlang. Wong orang yang lulus dengan IPK nya yang super juga banyak kok yang jadi pengangguran.

Bukan berarti berprestasi dibidang akademik itu tidak penting. Banyak orang-orang yang rela peras keringat dan bekerja banting tulang untuk bela-belain bisa kuliah.

Seharusnya kita sadar, sejatinya pendidikan itu sendiri ialah untuk memanusiakan manusia bukan menghancurkan diri, apalagi membodohi orang lain. Siapa yang paling berpengetahuan maka memiliki kekuatan untuk berkuasa. Tidak ada relasi-relasi kekuasaan tanpa memiliki kelebihan berpengetahuan, begitu kata Filsuf Prancis, Michel Foucault.

Bila kita mengingat slogan tentang “pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat”, masih berani kah kita berteriak dengan kata-kata ini? Hayo loh, bukankah kita setiap hari hanya datang ke ruang kelas, lalu diam, sesekali mempermalukan kawan karena sok pintar? tidak lupa untuk nongkrong di pinggir jalan, lalu pulang ke rumah dan bergerak secara mekanik untuk melanjutkan rutinitas kehidupan mahasiswa seperti ini untuk hari-hari kedepan.

Pada klimaksnya, saya tidak berpendapat bahwa menjadi sebuah bagian dari agen perubahan itu merupakan pilihan yang buruk, bukan. Ada banyak pemuda-pemudi diluar sana yang berhasil jadi agen perubahan yang bisa dikatakan lebih progresif, misalnya saya memiliki beberapa teman yang sejak mahasiswa sudah rela mendampingi masyarakat pedesaan untuk membangun desa nya menjadi lebih maju, dibanding sekedar menjadi aktifis di dalam kampus. Atau mungkin coba kita nonton film dokumenter mengenai jahatnya penggusuran yang dibuat oleh sekelompok pemuda dan mahasiswa yang bertujuan mengunggah kesadaran terhadap orang banyak.

Namun percayalah, tantangan terberat menjadi agen perubahan justru bukan saat kita menggebu-gebu menjadi aktifis pada saat menjadi mahasiswa, tetapi saat lulus kuliah sesudahnya.**

**Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs https://komunitaspemudabergerak.wordpress.com/2017/03/05/galaunya-mahasiswa-menjadi-agen-perubahan/

Minggu, 05 Maret 2017

ANAK MUDA DALAM PUSARAN HOAX


Semua ini bermula dari kepalsuan.

Apa kabar nih anak-anak muda? Apa masih sibuk bermain internet? Sudah memeriksa akun media sosial dari gadget kesayangan hari ini? Apa saja informasi yang sudah di-like dan di-share? Dan ada komentar menarik apa dari mereka? Benar kah informasi yang kamu terima dan kamu sebarkan bersifat nyata?

Begitu lah kira-kira kegaduhan yang terjadi akhir-akhir ini. Setiap orang tanpa sadar menerima akses informasi yang bersifat hoax ini. Di sisi lain, gaduh yang dibuat seolah-olah diciptakan hanya untuk alasan konyol. Misal nya: ayo dukung si ini atau si anu. Akibat nya kita saling menghujat tanpa batas. Kreatifitas membabi buta  menjadi  candu yang terlanjur  ingin dinikmati bersama. Belum lagi debat sana-sini. Kalau belum memberi komentar yang nyinyir rasa nya belum puas. Jangan lupa ditambah data yang meyakinkan meski tak jelas sumber nya. Jadi lah kita gerombolan penyebar kebencian yang kurang piknik.



(Sumber: news.babe.co.id)

Oleh: Rozi Hariansyah

Menurut Karlina Supelli dalam pidato budaya nya yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 2013 yang lalu, mengatakan bahwa “Sebagian masyarakat sudah merasa hebat dengan berkomentar pendek melalui media sosial. Ada problem yang sangat serius.” Karlina menambah kan bahwa masyarakat terlalu mudah terpengaruh dalam budaya komentar di media sosial.“Padahal,ada kenyataan lain yang lebih penting, tetapi kita tenggelam dalam hiruk-pikuk budaya komentar seperti itu.” ujar Karlina yang  menjabat sebagai Pengajar tetap di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. [1]

Sementara itu selama budaya “cerewet“ sudah terlanjur menggema dalam hiruk-pikuk media sosial sekarang, dan parah nya hal ini tidak diimbangi dengan pemahaman secara serius dari sesuatu yang sudah dibaca. Menurut data dalam World’s Most Literate Nations, yang diteliti oleh Central Connecticut State University tahun 2016, bahwa peringkat minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara. Di sisi lain nya, UNESCO, sebuah organisasi yang bergerak di bidang Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan yang berada di bawah naungan PBB, pada tahun 2012 melansir indeks tingkat membaca orang Indonesia yang tidak lebih dari angka 0,001. Ini arti nya berarti hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang mau membaca buku secara serius. [2]

Statistik data ini saya dapat dari jejaring informasi yang bersifat mengingatkan bahaya hoax yang berserakan sampai sekarang. Itu arti nya dari data tersebut mengartikan bahwa banyak orang-orang yang berselancar di dunia maya, ketahuan sudah cerewet, malas baca dan ditambah suka menyebar hoax.

Sama hal nya dengan generasi anak muda sekarang. Siapa generasi anak muda yang dulu pernah merasakan susah-payah nya memilah bacaan sembari mencari buku sampai ke pasar loak? Atau hanya mengandalkan media cetak yang isi nya huruf semua untuk dibaca. Semua itu dilakukan hanya untuk mengakses informasi. Tentu, generasi muda sekarang tak perlu lagi capek-capek melakukan hal tersebut. Tinggal klik, copypaste, dan enter dari literatur dan tulisan di dunia maya. Perubahan dan kemajuan teknologi seharus nya tidak membuat perilaku manusia nya tidak mengalami kemunduran atau bahkan semakin membodohi orang lain di saat kesadaran nya masih terbelakang.

Sebenarnya teknologi yang sedemikian canggih dan modern ini membuat orang semakin mudah untuk mendapat akses informasi. Tetapi kenyataan nya hal tersebut tidak diinjeksi dengan penyadaran bahaya hoax lain nya, contoh nya karakter intoleran. Lihat saja berita-berita yang sampai hari ini isi nya sengaja dipotong dan dipelintir. Belum lagi komodifikasi isu kebencian etnis tertentu untuk kepentingan politik-elit yang sedang bertarung dalam pesta demokrasi lima tahun sekali. Lalu bagaimana peran anak muda yang sekarang berada di garda terdepan memegang akses informasi tersebut?

Generasi muda kita sekarang mendadak menjadi ahli- dari segala bidang dalam setiap berkomentar di kolom media sosial.  Misal nya, menghujat orang yang sebenarnya jauh lebih berkompeten dari diri-nya sendiri hanya untuk memuaskan nafsu argumentasi semata. Anak muda sekarang mendadak paham menyoal situasi sosial-politik hari-hari ini. Siapa calon yang akan dipilih dan apa kah dia memiliki keunikan dari kepribadian hidup nya? Pemahaman politik hari ini dipersempit menjadi sebuah subjektif-personal alih-alih kebutuhan orang banyak. 

Saya memiliki pengalaman mengenai betapa kejam nya situasi dunia maya sekarang. Ketika berupaya menyebar sebuah berita yang berjudul “Petani Panen Kelapa di Tanah Sendiri, Petani Bohotokong Malah Masuk Bui” yang mana isi berita tersebut mengenai petani di daerah Banggai, Sulawesi Selatan pada bulan desember tahun 2016 yang lalu. Tak lama kemudian akun media sosial facebook saya langsung dihadiahi pertanyaan dari seorang teman lama yang sangat menggelitik. “Itu berita pengalihan isu, sebenar nya kamu dukung FPI atau Ahok”. Masa dibilang pengalihan isu? Apa hubungan nya? alih-alih menghindar dari jebakan kegaduhan yang berkembang sekarang. Saya pun kembali beringsut menuju kubangan perdebatan yang tak jelas ujung nya. [3]

Persoalan hari ini bukan hanya tentang dukung-mendukung. Loh bahkan bukan warga daerah asli saja ikut-ikutan komentar buat memanipulasi orang lain. Tentu saja ada dampak psikologis buat anak muda sekarang. Bukan nya menciptakan kesadaran yang lebih maju untuk orang banyak, malah membuat kesadaran orang lain jadi mundur ke belakang. Yang akhirnya anak muda dan mungkin masyarakat umum menjadi bosan membaca realitas sosial-politik hari ini. Jangan salahkan mereka untuk beralih mendukung figur alternatif seperti Young Lex atau Awkarin.

Dan paling penting kita bukan anak muda yang sudah jomblo sejak dalam pikiran. Misal nya, tidak sembarangan copypaste berita dari grup whatsapp sebelah. Ada kegiatan yang bisa kita lakukan lebih produktif dibanding sekadar menjadi tim hore internet, seperti menjabarkan fakta sebenarnya yang bisa ditulis. Itu pun kita masih harus memeras keringat melawan para penyebar hoax yang sebenarnya tidak bodoh-bodoh juga. Bisa jadi si penyebar hoax memang memiliki manajemen informasi yang canggih dan dibantu segerombolan kliktifis yang tangguh. Tugas kita yang masih berpikiran waras bertarung kebenaran dengan mereka.

Kita harus mengakui bahwa kita (anak muda) pun sebenar nya bisa menjadi pelaku yang dimaksud tadi. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 yang lalu, jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 132,7 juta. Diantara dari sekian jumlah tersebut, pengguna internet didominasi oleh anak muda berusia 18 – 24 tahun. [4]

Data tersebut memang akan terus berubah seiring semakin mudah nya orang lain mengakses informasi dari internet. Sementara itu anak muda pun sebenarnya galau dihadapan situasi sulit seperti ini. Belum lagi dari kita yang masih berharap terhadap slogan lama, anak muda adalah “agen of change”. Perubahan yang mana? Meski anak muda yang sering menamai diri nya sendiri sebagai agen yang paling kreatif, tetapi masih banyak dari kita yang belum mengidentifikasi diri untuk menciptakan kesadaran sosial kemajuan masyarakat tempat kita tinggal, malah membenarkan kepalsuan yang semakin menyebar. **

*Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat dalam situs www.komunitaspemudabergerak.wordpress.com

[1] Data ini saya kutip dari berita yang berjudul Karlina menawarkan perubahan keseharian. Dapat diakses melalui sumber http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/12/131228_tokoh_november_karlina_supelli

[2] Data ini saya kutip dari berita yang berjudul Parah! Minat Baca Indonesia Rendah Banget. Dapat diakses melalui sumber http://m.jpnn.com/news/parah-minat-baca-indonesia-rendah-banget

[3] Komentar ini dapat dilihat di akun media sosial facebook https://www.facebook.com/rozy.hariansyah pada tanggal 6 Desember 2016.

[4] Data ini berasal dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan dikutip melaluo sumber berita http://www.detiknas.go.id/2016/10/28/tahukah-kamu-perilaku-pengguna-internet-indonesia/ 



Sabtu, 04 Maret 2017

KONSOLIDASI GERAKAN SOSIAL, SAATNYA RAKYAT MEMBANGUN PARTAI POLITIK ALTERNATIF

Membangun partai politik alternatif bagi gerakan sosial merupakan jalan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Setelah 18 tahun reformasi, banyak partai politik yang bermunculan. Masing-masing dari partai politik memiliki visi ideologi, strategi dan program  yang berbeda dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Meski terlihat berbeda tetapi partai politik yang ada belum mampu menciptakan perbedaan yang mendasar. Lihat saja bagaimana kebijakan-kebijakan yang dimunculkan oleh partai-partai politik dan elitnya. Hampir semua kebijakan yang dimunculkan hanya mengutamakan kepentingan elit dan jaringan oligarki, sedangkan rakyat selalu dirugikan melalui kebijakan-kebijakan tersebut.
Untuk melawan kondisi tersebut, maka gagasan pembangunan partai politik alternatif muncul. Upaya gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif bukannya tidak ada sama sekali. Namun beberapa kali pengalamannya, upaya tersebut kandas di tengah jalan akibat strategi dan taktik legal-formal dari jaringan oligarki untuk mempersulit ruang bergerak kelas pekerja di arena elektoral. Walaupun beberapa kali kegagalan dalam upaya pembangunan partai politik alternatif dialami oleh gerakan rakyat, namun gagasan itu sendiri tidak pernah padam.
Demi menerabas taktik legal-formal yang dibuat jaringan oligarki untuk terlibat dalam arena elektoral, maka dibutuhkan persatuan seluruh gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif. Penyatuan visi perjuangan dalam membangun partai politik alternatif menjadi salah satu agenda terpenting bagi gerakan rakyat. Namun yang lebih terpenting lagi adalah gagasan pembangunan partai politik alternatif tersebut juga didukung oleh seluruh elemen gerakan rakyat serta masyarakat secara umum. Untuk itu, menciptakan kesadaran mengenai pentingnya pembangunan partai politik alternatif merupakan agenda utama dari seluruh gerakan rakyat.


Sumber foto: Penulis

Iklim politik reformasi telah memberi harapan bagi semua elemen gerakan sosial untuk mengalami perubahan di segala bidang, termasuk kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpolitik. Kebebasan tersebut disambut oleh kalangan aktifis dan elemen gerakan sosial  untuk membangun macam-macam organisasi sosial termasuk partai politik di dalamnya. Jumlah partai politik yang sebelumnya dibatasi oleh pemerintahan rezim Orde Baru, kini semakin banyak yang bermunculan. Beberapa diantaranya berhasil memenangkan pemilu tahun 1999, di mana pemilu di tahun tersebut dianggap sebagai pelaksanaan pemilu demokrasi pertama setelah Orde Baru tumbang.

Hingga saat ini, pemilu sudah berlangsung selama empat kali dan perubahan mulai tampak pada aspek kebebasan untuk berorganisasi, berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum. Tetapi kenyataannya pergantian kekuasaan dari tahun ke tahun belum mampu meningkatkan kesejahteraan  masyarakat di semua sektor. Walaupun angka kemiskinan mengalami pasang surut, namun hingga tahun 2015 angka kemiskinan tetap berada di kisaran 11%. Sementara daerah pedesaan tetap menjadi daerah termiskin jika dibandingkan dengan daerah perkotaan.

Di daerah pedesaan banyak petani yang sudah tidak memiliki tanah akibat kebijakan pemerintah untuk menarik investor dan akhirnya berpindah pekerjaan menjadi buruh-tani. Selain itu, juga banyak penduduk desa memilih berganti pekerjaan menjadi buruh pabrik atau perkantoran di kota. Namun sayangnya, pembangunan di perkotaan pun pada akhirnya menyingkirkan penduduk yang bermigrasi sehingga beberapa dari mereka tinggal di perkampungan kumuh. Aktivitas penggusuran terhadap masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh oleh pemerintah setempat pun menjadi ancaman yang nyata bagi mereka.

Situasi itulah yang menjadi salah satu gambaran dari penyingkiran terhadap rakyat pekerja akibat kebijakan jaringan oligarki dan pemilik modal. Masih adanya hubungan yang timpang antar kelompok di dalam masyarakat pada proses penentuan keputusan menyebabkan kelompok yang tidak memiliki modal tersingkir. Padahal kelompok yang tidak memiliki kekuatan modal tersebut atau bisa dibilang rakyat merupakan jumlah yang sangat mayoritas. Sementara di sisi lain ada kelompok masyarakat yang dari segi jumlahnya minoritas tetapi memiliki kekuasaan yang besar dengan ditopang modal atau kapital dan dilegitimasi oleh sistem ekonomi neoliberal yang mereproduksi kebijakan politik untuk memihak mereka. Kelompok ini bahkan menguasai sistem politik di Indonesia dengan membangun partai politik serta menguasai arena elektoral. Hal tersebut menyebabkan mereka memiliki kekuasaan yang berlebih dan mampu memproduksi kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi mereka.

Terkait kondisi tersebut di atas, menurut Deputi Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat Glorio Sanen,  kebijakan politik yang dibuat penguasa tidak lepas dari partai politik. Ironisnya, tambahnya, kebijakan politik yang dibuat sangat bergantung dengan kepentingan partai politik penguasa. Sehingga kepentingan rakyat secara umum yang berjumlah mayoritas menjadi terabaikan. Kebijakan politik yang dibuat oleh partai politik yang berkuasa tidak banyak mengalami perubahan sampai saat ini,sambung Sanen yang juga aktif sebagai Praktisi Hukum.

Senada dengan Sanen, Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Koswara mengungkapkan bahwa kebijakan partai politik saat ini tidak memihak kepada rakyat. Menurutnya kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah maupun partai politik tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. “Kami melihat bahwa hari ini kepentingan kaum modal yaitu kaum pengusaha yang menjadi agenda besar kepentingan mereka. Jadi belum ada yang mewakili kepentingan kaum rakyat khususnya kaum buruh, ujar Koswara.

Kesadaran tentang kepentingan partai politik yang tidak sejalan dengan kepentingan dengan rakyat bukan hanya dirasakan di sektor masyarakat adat ataupun di sektor buruh. Dalam sebuah diskusi di sekretariat bersama KPRI, Erni Kartini yang merupakan aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP) juga menyatakan hal yang serupa terkait tingkah laku partai politik yang tidak mensejahterakan rakyat. “Petani sadar bahwa sampai saat ini petani hanya menjadi alat pendulang suara momentum pemilihan umum. Itu artinya bahwa partai politik yang ada sekarang belum bisa mengakomodir kepentingan petani,” tutur Erni dalam diskusi di bulan Agustus lalu.

Kesadaran akan tingkah laku partai politik yang semakin merugikan bagi kepentingan rakyat mulai tumbuh di hampir seluruh lapisan masyarakat. Namun sayangnya, kesadaran tersebut tidak dibarengi dengan perumusan kerangka perjuangan gerakan rakyat yang politis. Sampai saat ini, menurut Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya, gerakan rakyat masih dalam kerangka perjuangan yang ekonomistik dan belum masif dalam konteks perjuangan politik. Meningkatnya kesadaran politik rakyat untuk melawan sistem kapitalisme-neoliberal, menurutnya harus dilanjutkan dengan pembangunan partai politik alternatif agar tidak tersebar atau masuk partai politik yang bukan miliknya. “Belajar dari pengalaman gerakan sosial yang hari ini berlawan, meskipun kesadaran rakyat untuk berlawan semakin meningkat, namun kelemahan dalam perjuangan politik tidak ada partai pelopornya. Sehingga strategi yang hari ini diyakini bisa memajukan gerakan ternyata gagal,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI) John Muhammad yang mengungkapkan gerakan sosial akan terus stagnan apabila tidak merebut sumber daya untuk mencapai kekuasaan. Strategi merebut sumber daya untuk mencapai kekuasaan tersebut tentunya harus dirumuskan bersama oleh gerakan rakyat, sehingga nantinya bersesuaian dengan kepentingan rakyat. Salah satunya, John menyoroti intervensi gerakan rakyat di Pemilu 2014 lalu oleh para relawan. Menurutnya, saat ini banyak aktivis sebagai relawan politik yang terjebak dalam kebijakan yang dibuat oleh penguasa, misalnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Sangat sulit bila ingin membuat kebijakan penyelesaian pelanggaran ham, tetapi di sisi lain kebijakan itu dibuat bersama dengan pelaku yang masih memiliki  kasus pelangaran ham di masa lalu. Dengan kolaborasi seperti ini menjadi sulit untuk berharap. Maka gerakan rakyat harus terus mengkritik dan melawan. Satu-satunya cara kita tidak bisa sekadar menjadi relawan pendukung namun tetap memperlakukan rezim Jokowi secara sama dengan rezim-rezim sebelumnya dalam penyelesaian kasus HAM, ungkapnya.

POLITIK DIASPORA BUKAN ALTERNATIF
Selain strategi aktivis mengintervensi kekuasaan melalui perannya sebagai relawan, strategi yang lainnya adalah melalui politik diaspora. Namun jalan ini sepertinya juga menemui jalan buntu karena tidak ada satupun hasil yang menggembirakan dari strategi politik diaspora yang dijalankan. Sebagian aktivis yang memilih politik diaspora malah terjatuh ke dalam oportunisme. Alih-alih membawa kepentigan rakyat ke dalam negara, sebagian malah terkooptasi menjadi aparatus negara borjuasi. Ini karena mereka masuk ke negara bukan sebagai bagian dari kekuatan politik progresif, sehingga mereka tidak punya kekuatan dan tidak ada yang mengontrol.

Perlunya mengevaluasi strategi politik diaspora pada akhirnya menjadi sebuah tuntutan bagi gerakan rakyat. Menurut Damar, politik diaspora dengan mengirimkan orang atau kader terbaik ke partai politik borjuis tidak menghasilkan apapun. “Evaluasinya, sudah banyak kader maju di dalam gerakan rakyat yang justru direkrut partai borjuis. Itu artinya harus segera dievaluasi di dalam tubuh gerakan rakyat.” tambah Damar.

Hal senada juga ditegaskan oleh Dirga Ardiansa, dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, dalam artikelnya yang berjudul Strategi Alternatif Politik Alternatif (Bagian Kedua) (2016), yang mengungkapkan politik diaspora elit perlu dirombak total. Pasalnya, hampir tidak ada capaian yang berarti hingga saat ini semenjak strategi diaspora elit dijalankan untuk masuk ke dalam partai politik oligarki, kementerian, atau lembaga negara lainnya. Dirga menilai diaspora elit justru lebih menjadi instrumen kekuatan oligarki melemahkan gerakan agar tidak pernah mencapai konsolidasinya, ketimbang apa yang diyakini sebagai strategi mempengaruhi dan mengubah. Hal ini juga dikarenakan diaspora elit menggunakan pendekatan yang sangat elitis.

Bagi Dirga, perombakan atau revisi yang dibutuhkan adalah mensinergikan strategi diaspora elit dengan strategi pembangunan politik alternatif. Strategi diaspora elit yang masuk ke dalam berbagai partai politik dan lembaga negara tersebut seharusnya dimanfaatkan untuk membuka ruang politik yang luas untuk membangun partai politik alternatif yang berasal dari gerakan rakyat.

Namun menurut Irwansyah, yang juga dosen Ilmu Politik di FISIP UI, mensinergikan strategi politik diaspora elit dengan strategi pembangunan partai politik alternatif akan menemui jalan terjal. Hal ini disebabkan karena partai-partai politik di Indonesia sudah ada pemiliknya atau bahkan sudah terbangun suatu dinasti politik di partai politik tersebut. Partai tempat berdiaspora sejatinya hanya sebagai properti milik privat, yang pemiliknya punya kepentingan berbeda. Secara logika sudah lemah dan secara ujicoba eksperimen  sudah  terbukti gagal. Apa yang ingin dipertahankan dengan diaspora?” jelas Irwansyah, yang saat ini sedang menempuh pendidikan untuk Program Doctoral di Murdoch University, Australia.

Hal inilah yang menurut aktivis Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Riani, politik diaspora hanya dijadikan alat penjajakan bagi elit-elit organisasi gerakan rakyat, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. “Kenyataannya orang yang berdiaspora pada akhirnya mengikut arus dari sistem kebijakan yang ditetapkan partai borjuis yang bukan miliknya,” ungkapnya.

GAGASAN MEMBANGUN PARTAI POLITIK ALTERNATIF
Politik diaspora sampai saat ini masih dipakai sebagai strategi politik alternatif di gerakan sosial. Namun di sisi lain hal tersebut sekaligus menunjukkan kekuatan gerakan rakyat belum terkonsolidasi, karena kader-kader yang terlibat dalam politik diaspora tidak mampu mengubah kebijakan dari dalam.

Berbagai hambatan di atas, tentunya harus menjadi pemicu bagi gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif. Partai politik alternatif menjadi solusi untuk melawan dominasi kekuatan oligarki untuk mempertahankan dalam demokrasi elektoral. Untuk itu, kekuatan oligarki memiliki kepentingan agar gerakan rakyat tidak dapat terlibat secara langsung untuk bertarung dalam arena elektoral.

Pentingnya gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif karena gerakan rakyat memiliki representasi yang lebih jelas dari partai-partai politik yang ada saat ini. Oleh karena itu, menurut Dirga, upaya membangun partai politik alternatif ini juga sekaligus mengatasi problem representasi politik. “Hasil pemilu selalu memunculkan ketimpangan representasi, di mana selalu meminggirkan kelompok rentan dan marjinal. Bisa dipastikan anggota parlemen sebagai miniatur populasi, yang berjumlah 550 orang itu tidak merepresentasikan identitas dan kepentingan kelompok marjinal, partai mana yang merepresentasikan kelompok buruh, partai mana yang merepresentasikan petani,ujar Dirga yang juga peneliti di Pusat Kajian Politik UI.

            Masalah lanjutan dari hal tersebut menurut Dirga adalah rakyat disuguhkan dengan keterbatasan pilihan dalam Pemilu. Partai politik atau individu yang dicalonkan oleh partai politik tidak mewakili sektor atau kepentingan rakyat. “Jadi seseorang dipaksa untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Itu akan berimplikasi menghasilkan representasi yang tidak utuh,” ujarnya.

Berbagai permasalahan itu sebenarnya semakin menunjukkan akan kebutuhan partai politik alternatif. Partai politik alternatif tentunya harus berbeda dengan partai partai-partai politik yang saat ini berkuasa. Representasi dan agregasi (menyerap) aspirasi kepentingan rakyat juga diakui sebagai langkah yang serius jika ingin membangun sebuah partai politik alternatif. Menurut John Muhammad, partai politik alternatif harus dibangun berdasarkan partisipasi dan kepentingan warga. “Pertama, partai dibangun harus berbasis anggota, Kedua partai harus dibangun berdasarkan agregasi kepentingan warga. Praktek partisipasi anggota yang memiliki semangat ini yang seharusnya dibangun untuk memiliki partainya sendiri” kata John.

Menurut John, agregasi kepentingan warga merupakan hal yang utama bagi basis perjuangan partai politik alternatif. Selama ini, tambahnya, jaringan oligarki politik hanya memanfaatkan partai untuk kepentingan pribadi elit atau kekuasaan, bukan untuk kepentingan warga. “Bila praktek politik seperti ini dilestarikan, semakin tertutup dan kesadaran palsu akan semakin meluas. Ke depannya hanya dari orang-orang yang punya kapital besar saja yang bisa masuk ke politik. Padahal agregasi kepentingan politik partai yah berasal dari anggota atau warga, bukan orang-orang yg punya kapital besar, sambung John.

Tidak adanya representasi politik yang diusung oleh partai-partai politik saat ini juga disinggung oleh Riani. Khusus mengenai keterwakilan perempuan, ia mengungkapkan aturan keterwakilan perempuan dengan kuota 30% hanya dipandang sebagai aturan formal belaka oleh partai-partai politik saat ini. Namun pada kenyataannya, partai-partai politik tersebut tidak mengangkat kepentingan kaum perempuan.

Sementara menurut koordinator Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) KPRI Sapei Rusin, partai politik alternatif yang dibangun oleh gerakan rakyat harus berbeda dengan partai-partai politik yang lainnya. Hal ini yang menunjukkan partai politik alternatif yang dibangun oleh gerakan rakyat lebih baik daripada partai-partai politik yang saat ini berkuasa. ...partai politik borjuasi sama sekali tidak memiliki tujuan untuk merombak corak produksi dan struktur masyarakat yang tidak adil. Sementara partai politik berbasis organisasi rakyat tujuan utamanya memperjuangkan kepentingan kelas massa rakyat yang selama ini menjadi korban dari ketidakadilan dalam corak produksi dan strukutr sosial yang ada,” ujarnya.

Selain tujuan dari partai politik itu sendiri, yang jelas membedakan antara partai politik alternatif dan partai politik yang berkuasa saat ini adalah unsur pembentuk partai politik itu sendiri. Riani mengingatkan agar partai politik alternatif benar-benar dibangun berbasis organisasi-organisasi rakyat. Ia juga mengungkapkan para pemimpin partai politik alternatif di tingkat daerah juga harus berasal dari daerah-daerah yang bersangkutan. “Itu artinya calon pemimpin dari partai politik alternatif adalah orang yang berasal dari daerah tersebut dan dipercaya oleh masyarakat setempat.” sambungnya.

Senada dengan hal itu, Sapei juga mengungkapkan partai-partai politik yang saat ini berkuasa hanya mengandalkan ketokohan dari mereka yang memiliki modal. Untuk itu, Sapei juga menekankan pentingnya unsur-unsur yang membentuk partai politik alternatif. Partai borjuasi dibentuk oleh sekelompok kecil elit-elit dalam masyarakat dan dibesarkan dengan mengandalkan pada ketokohan mereka yang punya modal atau hak istimewa lainnya dalam sistem sosial. Sementara partai politik rakyat dibentuk, dibesarkan dan dikontrol oleh kekuatan perjuangan kolektif massa rakyat bersama berbagai kekuatan yang hendak merombak tatanan lama tersebut,” tambah Sapei.

Untuk itu dibutuhkan dibutuhkan suatu instrumen agar keputusan atau kebijakan yang dimunculkan oleh partai politik alternatif nantinya tidak lagi mengandalkan ketokohan. Instrumen tersebut harus mampu untuk menyerap aspirasi anggota, atau bahkan rakyat secara keseluruhan. Menurut Dirga, memperkuat partisipasi warga dalam bentuk survey untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat di dalam partai politik alternatif bisa menjadi suatu solusi. “Survey warga bisa dilakukan sebagai instrument kepentingan warga, sebab karena dia melakukan klaim representasi untuk mempengaruhi budgeting dan legislasi. Yang harus dilakukan sekarang adalah memastikan agregasi itu didorong jauh sampai ke ruang legislasi dan anggaran. Yang bisa masuk ke legislasi dan anggaran, kalau tidak melalui partai politik, maka tidak mungkin,” ujar Dirga.

Membangun isu bersama untuk mencapai kesejahteraan juga menjadi penting untuk dirumuskan, mengingat unsur pembentuk partai politik alternatif berasal dari berbagai sektor. Untuk itu, menurut Irwansyah, perumusan agenda multi sektor di organisasi-organisasi gerakan rakyat yang ingin membangun partai politik alternatif menjadi sangat penting. “Organisasi dan serikat rakyat di partai politik alternatif harus menjahit agenda multisektor seperti agenda reforma agraria dan industrialisasi nasional di bawah kontrol rakyat. Hal ini harus menjadi pembicaraan utama di masa kampanye atau sesudah kampanye,kata Irwansyah.

*Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat dalam artikel dengan judul yang sama di situs http://pergerakan.org/partai-gerakan-wujudkan-mimpi-jadi-nyata/ . Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.