Kamis, 09 Maret 2017

Galaunya Mahasiswa Menjadi Agen Perubahan

Siapa yang masih berstatus mahasiswa? Ayo pakai lah almamatermu. Masa depan bangsa ada di pundak kita semua. Jangan ragu. Kita lah agen strategis pembangunan dan calon pemimpin bangsa di masa depan. Lagi-lagi jangan ragu. Kita harus percaya bahwa sebagai pendobrak paradigma dan stigma, kita lah gerakan perubahan negeri, karena kita mahasiswa!


(Sumber: nusantaranews.com)

Oleh: Rozi Hariansyah

Pertama-tama jangan menganggap tulisan ini sebagai sesuatu hal yang sangat serius. Yang perlu kita lakukan adalah mendifinisikan arti menjadi mahasiswa saat ini. Yah menjadi mahasiswa, berarti sebagai kaum terdidik intelektual yang diharapkan oleh segenap bangsa, harapan orang tua, harapan mertua, dan bisa saja harapan orang se-kampung. Setelah lulus kuliah tentu saja kita berharap memiliki masa depan yang cemerlang. Namun semakin banyak jumlah mahasiswa yang lulus kuliah, apa yang sudah berubah dari nasib  masyarakat yang tetap melarat?

Ups sudah, jangan terbawa seperti suasana ditengah-tengah demonstrasi.

Jadi begini, ada apa gerangan? mungkin sudah benar sejak dahulu kala mahasiswa adalah kaum terdidik-elit yang hanya menjadi kacung kolonial agen harapan bangsa, dalam konteks bangsa yang berupaya untuk mengusir penjajah-penjajah yang membodohi anak negeri untuk terus dieksploitasi.

Lalu sekarang penjajahannya masih ada atau tidak yah? Kalau masih ada, sekarang  berada  di mana? Penjajah itu ternyata berada di isi kepala kita sendiri, yang terkadang memisahkan materi pendidikan ekslusif yang dipelajari di ruang kelas dengan kehidupan nyata sehari-hari diluar kampus. Penjajah itu adalah ajaran-ajaran salah kaprah bahwasanya mahasiswa adalah agen perubahan.

Suryadi Rajab (1991) dalam tulisannya yang bejudul “Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru” menjabarkan secara ringkas mengenai mistisnya gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan yang menjauhkan pendidikan sebagai bagian dari realitas sosial-politik sehari-hari. Terbukti, warisannya yang sampai saat ini adalah masih asingnya bagi sebagian mahasiswa untuk diajak serius membicarakan realitas keadaan sosial-politik hari-hari ini.

 Mau jadi “orang penting” tapi kok menjauh dari lingkungannya sendiri.

Sejatinya pendidikan yang adil ialah pendidikan yang berguna membangun peradaban dari kebiadaban. Seperti yang diutarakan oleh seorang Filsuf Revolusioner dari Brazil, Paolo Freire mengenai pendidikan yang membebaskan. Bukan “Guru menerangkan, anak murid diam” tetapi “Guru menerangkan, anak murid bebas bertanya”. Pendidikan harus lah membebaskan bukan menciptakan sekumpulan orang yang patuh sambil menunduk.

Hal itu yang membuat sebagian besar dari banyak orang sekarang  ter diam ketika masih banyak adanya ketidak-adilan di ruang-ruang kehidupan sosial masyarakat. Sementara itu Negara jelas memiliki tanggung jawab mencerdaskan seganap rakyat dari segala lapisan. Tak peduli, anak desa, kaum miskin kota, masyarakat pinggiran dan segenap mayoritas masyarakat yang memang sampai hari ini belum bisa dikatakan merasakan hidup sejahtera. Benar kah harapan mahasiswa seolah menjadi kosong belaka, disaat bersamaan tidak semua pemuda harapan mertua eh harapan bangsa, bisa berkuliah karena biaya pendidikan yang semakin melangit?

Mari galau saat menjadi mahasiswa. Kebiasaan gaya hidup hedon, individualis dan egoisme mungkin hanyalah urat nadi yang nampak sebagai biang kerok yang mesti disalahkan. Tetapi "ruh" dari problem agen of change ini belum bisa terlihat oleh mata telanjang kita. Seperti ketika kita berjuang melawan kebijakan kampus mengenai catatan absensi yang menyuruh mahasiswa untuk tetap belajar di ruang kelas saja. Padahal kan belajar tidak hanya di ruang kelas?

Jika jawabannya seperti ini bisa saja mudah dipatahkan mengingat ternyata masih banyak kok mahasiswa yang lebih senang sebagai agen of nongkrong di sudut-sudut kampus dan warung pinggir jalan, sudahkah kita bijak ?

Sejatinya, bisa saja menjadi benar bahwa mahasiswa ialah agen perubahan. Tiada yang salah dengan ungkapan tersebut. Entah setelah lulus kuliah lebih memilih profesi menjadi dokter, insinyur, peneliti, akuntan, guru, dsb. Namun yang menjadi bermasalah adalah kalau kita lupa bahwa realitasnya sampai sekarang mahasiswa setelah lulus kuliah tentu berdesak-desakan mencari pekerjaan disaat jumlah lowongan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang baru lulus setiap enam bulan sekali. Setelah lulus kuliah tetaplah kita menjadi kaum pekerja, kaum pekerja yang tidak bisa hidup dari relasi kerja-upahan/gaji.

Tidak menjadi problem bagi kita yang menganggap menjadi mahasiswa adalah jembatan meraih karir/ jabatan. Atau kitalah yang saling bermusuhan mendapatkan kejelasan masa depan dengan saling sikut-sikutan. Dengan indeks nilai prestasi tinggi, kesempatan bagi si pintar untuk menghajar mahasiswa tolol nan pemalas demi  masa depan orang per orang. Meskipun nilai IPK yang tinggi bukan jaminan untuk mencapai karir yang cemerlang. Wong orang yang lulus dengan IPK nya yang super juga banyak kok yang jadi pengangguran.

Bukan berarti berprestasi dibidang akademik itu tidak penting. Banyak orang-orang yang rela peras keringat dan bekerja banting tulang untuk bela-belain bisa kuliah.

Seharusnya kita sadar, sejatinya pendidikan itu sendiri ialah untuk memanusiakan manusia bukan menghancurkan diri, apalagi membodohi orang lain. Siapa yang paling berpengetahuan maka memiliki kekuatan untuk berkuasa. Tidak ada relasi-relasi kekuasaan tanpa memiliki kelebihan berpengetahuan, begitu kata Filsuf Prancis, Michel Foucault.

Bila kita mengingat slogan tentang “pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat”, masih berani kah kita berteriak dengan kata-kata ini? Hayo loh, bukankah kita setiap hari hanya datang ke ruang kelas, lalu diam, sesekali mempermalukan kawan karena sok pintar? tidak lupa untuk nongkrong di pinggir jalan, lalu pulang ke rumah dan bergerak secara mekanik untuk melanjutkan rutinitas kehidupan mahasiswa seperti ini untuk hari-hari kedepan.

Pada klimaksnya, saya tidak berpendapat bahwa menjadi sebuah bagian dari agen perubahan itu merupakan pilihan yang buruk, bukan. Ada banyak pemuda-pemudi diluar sana yang berhasil jadi agen perubahan yang bisa dikatakan lebih progresif, misalnya saya memiliki beberapa teman yang sejak mahasiswa sudah rela mendampingi masyarakat pedesaan untuk membangun desa nya menjadi lebih maju, dibanding sekedar menjadi aktifis di dalam kampus. Atau mungkin coba kita nonton film dokumenter mengenai jahatnya penggusuran yang dibuat oleh sekelompok pemuda dan mahasiswa yang bertujuan mengunggah kesadaran terhadap orang banyak.

Namun percayalah, tantangan terberat menjadi agen perubahan justru bukan saat kita menggebu-gebu menjadi aktifis pada saat menjadi mahasiswa, tetapi saat lulus kuliah sesudahnya.**

**Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs https://komunitaspemudabergerak.wordpress.com/2017/03/05/galaunya-mahasiswa-menjadi-agen-perubahan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar