Selasa, 14 Juli 2015

KETIKA PERSIAPAN LEBARAN TELAH MEMBEDAKAN KITA

Menghamburkan banyak uang menjelang lebaran rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Tak perduli bagi semua lapisan masyarakat. Baik yang kaya ataupun yang miskin. Apakah ini berlebihan? Aku khawatir iya. Di tengah harga kebutuhan pokok yang semakin sulit dijangkau, justru tradisi berbelanja bagi sebagian besar masyarakat menjadi gelombang pasang untuk menyambut hari lebaran.


(Kredit foto: Kaskus.com)

Oleh: Rozi H.
Hal ini yang aku temui secara berulang-ulang menjelang lebaran. Sepanjang hari ini aku berkendara menaiki sepeda motor. Bukan karena teriknya matahari yang memaksa aku berhenti pada suatu tempat. Aku terjebak pada kemacetan yang tidak biasa. Sejauh mata memandang, ternyata aku melihat jalan yang aku tuju disesaki oleh beberapa kendaraan terparkir semrawut. Jelas saja, jalan utama yang biasa dilewati dua jalur, kini seperti setengahnya. Sepanjang toko, pasar dan pusat perbelanjaan di depanku mendadak ramai. Tempat itu cenderung dipenuhi lautan manusia. Tidak heran, aku yang sedang tidak beruntung terjebak di tengah kemacetan, ingin sekali keluar secepatnya.

Menjelang lebaran  tempat-tempat tersebut memang menjadi ramai. Membayangi tempat ini saja, aku ingin berpikir keras. Apakah semua orang menjelang lebaran menjadi gelap mata dalam berbelanja untuk memenuhi kebutuhan menjelang lebaran?

Dalam lamunanku yang rapuh, seseorang menepuk pundakku.

“Woy Zi, mau kemana”?

Ternyata itu kawan lama ku, namanya Bodong, entah meskipun nama aslinya Rahmat, tapi sejak di bangku sekolah dasar, kami terbiasa memanggilnya Bodong.

“Hei, Bodong lagi ngapain disini”?

“Lah, lu sendiri ngapain Zi disini”?

“Kok ditanya, malah balik nanya? Gimana sih lu Dong, hehehe”

Aku sebenarnya hanya berbasa-basi. Aku tahu, sudah beberapa tahun ini Bodong bekerja serabutan. Semenjak dia putus sekolah sehabis lulus sekolah dasar, dia hanya membantu Ayahnya menjadi petugas keamanan di lingkungan tempat aku tinggal. Terkadang siang sampai malam Bodong juga menjaga kendaraan yang terparkir di beberapa minimarket terdekat.

Aku dengan senang hati meminggirkan motorku. Di depanku keadaan tak kunjung membaik, semakin ruwet malah. Bodong pun mengikutiku, tampaknya dia ingin sekali berbincang.

“Zi, bagi THR donk”

Aku terbengong sesaat. Aku yang tadinya hendak menyumpah serapah karena dipalak secara halus kini membisu. Itu karena aku melihat kaus hitam polos yang dipakai Bodong sudah robek di beberapa bagian. Belum lagi celana yang dipakai Bodong, cenderung kelonggaran. Semoga aku salah menebak, dengan warna coklat yang sudah memudar, bisa saja Bodong tidak mengganti celananya berhari-hari. Aku mengeluarkan sepuluh ribu rupiah dengan ikhlas.

“Buat uang rokok aja ya”

“Yah sudah, makasih ya Zi”

“Eh, Dong, Baju gak beli baru nih?”

“Entar aja, jangan beli disini juga kali, hehe”

Bodong pun berlalu, Aku tahu, Bodong berhasil membuat aku kehilangan uang bensin. Tapi tak apa, sebelum aku meninggalkan tempat ini, aku kembali berpikir keras.

Bodong dengan pakaiannya seolah menantang tren di tempat itu, berbelanja! Apakah Bodong menyadari kalau dia segera memerlukan pakaian baru?

Aku melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku membuka akun media sosial, Seperti biasa, banyak teman-temanku mengganti wajah terbarunya sebagai foto profil. Aku terlihat bosan.

Namun ada ekspresi menarik dari salah satu temanku di media sosial, teman dari sekolah dasar juga, sama seperti Bodong. Namanya Lili (Bukan nama sebenarnya). Perempuan itu sudah bekerja di salah satu Bank Swasta. Berbeda dengan Bodong, tampak pada profil barunya dia  senang memamerkan baju baru. Dengan posisi tangan yang lucu lengkap dengan jam tangan dan gelang manik-manik menambah silau pemandangan di media sosial miliknya itu. Lili sedang tidak memakai kacamata, dia menggantinya dengan lensa lembut untuk membantu matanya melihat. Di bawah fotonya, Lili menulis #THRLEBARAN.

Lili menurutku adalah perempuan yang imut bila tidak memakai apa-apa, maksudku bila tidak memakai aksesoris yang berlebihan. Lili memiliki kehidupan yang berkecukupan. Orang tua nya masih bekerja di salah satu lembaga pemerintahan sampai saat ini. Apalagi Lili kini sudah bekerja, membeli berbagai barang tentu bukan masalah baginya.

Beberapa bulan lalu sebenarnya aku sempat bertemu Lili, makanya aku berani bilang dia imut. Tapi aku jelas minder bila bertemu dengannya lagi. Terakhir dia bilang :

“Rozi sudah bekerja dimana?, Aku sudah kerja di Bank,”

Saat itu sebenarnya aku ingin mencubit pipi nya keras-keras, tapi aku tak berani, dari pertanyaan terakhirnya saja, jelas aku bukan level yang imbang dengannya.

Sebenarnya Bodong dan Lili pasti punya ceritanya tersendiri menghadapi persiapan lebaran. Sepanjang perjalanan aku pulang tadi, tidak hanya melihat Mal saja yang ramai. Di pinggir tikungan jalan menuju perumahan elit itu saja mendadak dipenuhi kios-kios kaki lima. Harga barang yang dijual pasti lebih murah dibandingkan dengan barang yang sama dijual di Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Tapi lagi-lagi keduanya memiliki kesamaan: sama-sama dipenuhi lautan manusia.

Orang-orang kayak Bodong mungkin saja lebih memilih berbelanja di pasar-pasar tradisional menjelang lebaran. Harga barang yang dijual pun cenderung mudah ditawar, meskipun tempatnya tidak senyaman di Mal. Berbeda dengan Lili, mungkin dia lebih memilih berbelanja di Mal, tempat yang cenderung lebih nyaman dan lebih dingin tentunya, meskipun harganya lebih mahal.
Keduanya tetap saja menggoda iman Bodong, Lili dan Kita semua: Hasrat konsumsi.

Masyarakat Konsumerisme dan Hasrat Konsumsi

Pada tahun 1844 Marx menjelaskan perihal kemunculan masyarakat konsumen. Transisi dari zaman feodalisme ke kapitalisme merupakan suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Singkatnya barang yang diproduksi tidak lagi untuk kebutuhan semata, namun memiliki tujuan keuntungan. Selain itu dalam masyarakat kapitalis, para buruh atau pekerja membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang tersebut, yang dijual di pasar dengan memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang-barang, pekerja harus membelinya dengan uang. Maka para pekerja menjadi konsumen, dan kita menyaksikan munculnya masyarakat konsumen, orang yang wajib mengonsumsi untuk memastikan perolehan keuntungan. [1]

Lili yang sudah memiliki penghasilan tetap, mungkin saja menganggap barang yang dia beli merupakan hasrat konsumsinya yang sudah dibayar dengan tenaga kerjanya. Berbeda dengan Bodong, yang belum memiliki kepastian upah yang tetap, sekedar menahan hasrat konsumsi untuk menyamai kebiasaan orang banyak: Berbelanja.

Pemahaman budaya konsumsi semakin bergeser pada awal 1960 an. Hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Periode ini merupakan pertama kalinya terdapat kemakmuran relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengonsumsi berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan, seperti kulkas, mobil, liburan ke luar negeri dan lain-lain. Pada periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola konsumsi untuk mempraktekkan identitas. [2]

Berbelanja adalah aktifitas yang kompleks. Orang-orang sepertinya tidak hanya sekedar beraktifitas secara ekonomi, mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas memuaskan kebutuhan yang utama, melainkan konsumsi yang berhubungan dengan hasrat manusia untuk membedakan identitas antara satu dengan yang lainnya.

Orang-orang seperti Bodong dan Lili bila dipertemukan dalam satu tempat pusat perbelanjaan menjelang lebaran, bisa kita duga apa yang mereka lakukan selanjutnya. Lili kembali membeli pakaian-pakaian mahal untuk bertemu saudara, ataupun kerabat pada lebaran nanti. Bodong hanya berhitung berapa uang yang dia punya untuk membeli barang, yang minimal memberi jarak identitas antara dia dan Lili. Bisa dikatakan budaya berbelanja berlebihan menjelang lebaran hanya mempertegas yang selama ini diabaikan oleh Negara, “Yang Kaya akan semakin terlihat kaya, yang Miskin akan semakin terlihat miskin”.

Referensi Bacaan
[1] John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra: 2006, hal. 143

[2] Ibid, hal. 148-149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar