Menghamburkan
banyak uang menjelang lebaran rupanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat
Indonesia. Tak perduli bagi semua lapisan masyarakat. Baik yang kaya ataupun
yang miskin. Apakah ini berlebihan? Aku khawatir iya. Di tengah harga kebutuhan
pokok yang semakin sulit dijangkau, justru tradisi berbelanja bagi sebagian
besar masyarakat menjadi gelombang pasang untuk menyambut hari lebaran.
(Kredit foto: Kaskus.com)
Oleh: Rozi H.
Hal
ini yang aku temui secara berulang-ulang menjelang lebaran. Sepanjang hari ini
aku berkendara menaiki sepeda motor. Bukan karena teriknya matahari yang
memaksa aku berhenti pada suatu tempat. Aku terjebak pada kemacetan yang tidak
biasa. Sejauh mata memandang, ternyata aku melihat jalan yang aku tuju disesaki
oleh beberapa kendaraan terparkir semrawut. Jelas saja, jalan utama yang biasa
dilewati dua jalur, kini seperti setengahnya. Sepanjang toko, pasar dan pusat
perbelanjaan di depanku mendadak ramai. Tempat itu cenderung dipenuhi lautan
manusia. Tidak heran, aku yang sedang tidak beruntung terjebak di tengah kemacetan,
ingin sekali keluar secepatnya.
Menjelang
lebaran tempat-tempat tersebut memang menjadi ramai. Membayangi tempat
ini saja, aku ingin berpikir keras. Apakah semua orang menjelang lebaran
menjadi gelap mata dalam berbelanja untuk memenuhi kebutuhan menjelang lebaran?
Dalam
lamunanku yang rapuh, seseorang menepuk pundakku.
“Woy
Zi, mau kemana”?
Ternyata
itu kawan lama ku, namanya Bodong, entah meskipun nama aslinya Rahmat, tapi
sejak di bangku sekolah dasar, kami terbiasa memanggilnya Bodong.
“Hei,
Bodong lagi ngapain disini”?
“Lah,
lu sendiri ngapain Zi disini”?
“Kok
ditanya, malah balik nanya? Gimana sih lu Dong, hehehe”
Aku
sebenarnya hanya berbasa-basi. Aku tahu, sudah beberapa tahun ini Bodong
bekerja serabutan. Semenjak dia putus sekolah sehabis lulus sekolah dasar, dia
hanya membantu Ayahnya menjadi petugas keamanan di lingkungan tempat aku
tinggal. Terkadang siang sampai malam Bodong juga menjaga kendaraan yang
terparkir di beberapa minimarket terdekat.
Aku
dengan senang hati meminggirkan motorku. Di depanku keadaan tak kunjung
membaik, semakin ruwet malah. Bodong pun mengikutiku, tampaknya dia ingin
sekali berbincang.
“Zi,
bagi THR donk”
Aku
terbengong sesaat. Aku yang tadinya hendak menyumpah serapah karena dipalak
secara halus kini membisu. Itu karena aku melihat kaus hitam polos yang dipakai
Bodong sudah robek di beberapa bagian. Belum lagi celana yang dipakai Bodong,
cenderung kelonggaran. Semoga aku salah menebak, dengan warna coklat yang sudah
memudar, bisa saja Bodong tidak mengganti celananya berhari-hari. Aku
mengeluarkan sepuluh ribu rupiah dengan ikhlas.
“Buat
uang rokok aja ya”
“Yah
sudah, makasih ya Zi”
“Eh,
Dong, Baju gak beli baru nih?”
“Entar
aja, jangan beli disini juga kali, hehe”
Bodong
pun berlalu, Aku tahu, Bodong berhasil membuat aku kehilangan uang bensin. Tapi
tak apa, sebelum aku meninggalkan tempat ini, aku kembali berpikir keras.
Bodong
dengan pakaiannya seolah menantang tren di tempat itu, berbelanja! Apakah
Bodong menyadari kalau dia segera memerlukan pakaian baru?
Aku
melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku membuka akun media
sosial, Seperti biasa, banyak teman-temanku mengganti wajah terbarunya sebagai foto profil. Aku terlihat bosan.
Namun
ada ekspresi menarik dari salah satu temanku di media sosial, teman dari sekolah
dasar juga, sama seperti Bodong. Namanya Lili (Bukan nama sebenarnya).
Perempuan itu sudah bekerja di salah satu Bank Swasta. Berbeda dengan Bodong, tampak
pada profil barunya dia senang memamerkan baju baru. Dengan posisi
tangan yang lucu lengkap dengan jam tangan dan gelang manik-manik menambah
silau pemandangan di media sosial miliknya itu. Lili sedang tidak memakai
kacamata, dia menggantinya dengan lensa lembut untuk membantu matanya melihat.
Di bawah fotonya, Lili menulis #THRLEBARAN.
Lili
menurutku adalah perempuan yang imut bila tidak memakai apa-apa, maksudku bila
tidak memakai aksesoris yang berlebihan. Lili memiliki kehidupan yang
berkecukupan. Orang tua nya masih bekerja di salah satu lembaga pemerintahan
sampai saat ini. Apalagi Lili kini sudah bekerja, membeli berbagai barang tentu
bukan masalah baginya.
Beberapa
bulan lalu sebenarnya aku sempat bertemu Lili, makanya aku berani bilang dia
imut. Tapi aku jelas minder bila bertemu dengannya lagi. Terakhir dia bilang :
“Rozi
sudah bekerja dimana?, Aku sudah kerja di Bank,”
Saat
itu sebenarnya aku ingin mencubit pipi nya keras-keras, tapi aku tak berani,
dari pertanyaan terakhirnya saja, jelas aku bukan level yang imbang dengannya.
Sebenarnya
Bodong dan Lili pasti punya ceritanya tersendiri menghadapi persiapan lebaran.
Sepanjang perjalanan aku pulang tadi, tidak hanya melihat Mal saja yang ramai. Di
pinggir tikungan jalan menuju perumahan elit itu saja mendadak dipenuhi
kios-kios kaki lima. Harga barang yang dijual pasti lebih murah dibandingkan
dengan barang yang sama dijual di Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Tapi
lagi-lagi keduanya memiliki kesamaan: sama-sama dipenuhi lautan manusia.
Orang-orang
kayak Bodong mungkin saja lebih memilih berbelanja di pasar-pasar tradisional
menjelang lebaran. Harga barang yang dijual pun cenderung mudah ditawar,
meskipun tempatnya tidak senyaman di Mal. Berbeda dengan Lili, mungkin dia lebih
memilih berbelanja di Mal, tempat yang cenderung lebih nyaman dan lebih dingin
tentunya, meskipun harganya lebih mahal.
Keduanya
tetap saja menggoda iman Bodong, Lili dan Kita semua: Hasrat konsumsi.
Masyarakat Konsumerisme dan Hasrat
Konsumsi
Pada
tahun 1844 Marx menjelaskan perihal kemunculan masyarakat konsumen. Transisi
dari zaman feodalisme ke kapitalisme merupakan suatu transisi dari produksi
yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan.
Singkatnya barang yang diproduksi tidak lagi untuk kebutuhan semata, namun
memiliki tujuan keuntungan. Selain itu dalam masyarakat kapitalis, para buruh atau pekerja membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki
barang-barang tersebut, yang dijual di pasar dengan memperoleh keuntungan. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan barang-barang, pekerja harus membelinya dengan
uang. Maka para pekerja menjadi konsumen, dan kita menyaksikan munculnya
masyarakat konsumen, orang yang wajib mengonsumsi untuk memastikan perolehan
keuntungan. [1]
Lili
yang sudah memiliki penghasilan tetap, mungkin saja menganggap barang yang dia
beli merupakan hasrat konsumsinya yang sudah dibayar dengan tenaga kerjanya. Berbeda
dengan Bodong, yang belum memiliki kepastian upah yang tetap, sekedar menahan
hasrat konsumsi untuk menyamai kebiasaan orang banyak: Berbelanja.
Pemahaman
budaya konsumsi semakin bergeser pada awal 1960 an. Hakikat konsumsi berubah
secara mendasar. Periode ini merupakan pertama kalinya terdapat kemakmuran relatif
yang memadai bagi para pekerja untuk mengonsumsi berdasarkan keinginan dan
bukan kebutuhan, seperti kulkas, mobil, liburan ke luar negeri dan lain-lain.
Pada periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola konsumsi
untuk mempraktekkan identitas. [2]
Berbelanja
adalah aktifitas yang kompleks. Orang-orang sepertinya tidak hanya sekedar
beraktifitas secara ekonomi, mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas
memuaskan kebutuhan yang utama, melainkan konsumsi yang berhubungan dengan
hasrat manusia untuk membedakan identitas antara satu dengan yang lainnya.
Orang-orang
seperti Bodong dan Lili bila dipertemukan dalam satu tempat pusat perbelanjaan
menjelang lebaran, bisa kita duga apa yang mereka lakukan selanjutnya. Lili
kembali membeli pakaian-pakaian mahal untuk bertemu saudara, ataupun kerabat
pada lebaran nanti. Bodong hanya berhitung berapa uang yang dia punya untuk
membeli barang, yang minimal memberi jarak identitas antara dia dan Lili. Bisa
dikatakan budaya berbelanja berlebihan menjelang lebaran hanya mempertegas yang
selama ini diabaikan oleh Negara, “Yang Kaya akan semakin terlihat kaya, yang
Miskin akan semakin terlihat miskin”.
Referensi
Bacaan
[1]
John Storey, Pengantar Komprehensif Teori
dan Metode Cultural studies dan Kajian Budaya Pop, Jalasutra: 2006, hal.
143
[2]
Ibid, hal. 148-149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar