Manusia butuh teman untuk menjalani hidup. Sebab
teman ada untuk saling melengkapi. Saat sulit datang, teman bisa memberi solusi.
Tidak hanya kita, manusia yang membutuhkan teman. Pun dengan tanaman tembakau yang telah menghidupi jutaan rakyat di Indonesia. Tembakau memiliki
teman yang melengkapi hidup pencintanya.
(Kredit: Tanaman Tembakau)
Oleh: Rozi.H
Sejak Pemerintah mengeluarkan peraturan untuk
membatasi bahan mengandung zat adiktif berupa
produk tembakau, yang muncul tahun 2012 lalu. Saya mencoba menjelajahi kawasan
Pasar Glodok di Jalan Pancoran, Glodok Jakarta Barat, hanya untuk menemukan pedagang
yang menjual teman tembakau.
Perburuan dimulai dengan berjalan-kaki. Sampai di Pasar Glodok membuat saya urung melangkah. Saya bertanya pada seorang petugas parkir, dimana lokasi pedagang tembakau itu berada. Ternyata dia tidak mengetahui secara persis. Terpaksa saya harus melangkah lebih jauh.
Perburuan dimulai dengan berjalan-kaki. Sampai di Pasar Glodok membuat saya urung melangkah. Saya bertanya pada seorang petugas parkir, dimana lokasi pedagang tembakau itu berada. Ternyata dia tidak mengetahui secara persis. Terpaksa saya harus melangkah lebih jauh.
Saya tidak sendirian. Bersama seorang kawan, kami berdua melihat keadaan sekitar. Layaknya suasana Pasar, kawasan ini merupakan satu dari sekian Pasar yang tradisional yang memiliki karakternya sendiri. Masuk melalui jalan pintu utama akan disambut banyak motor yang terpakir secara liar, meskipun tertib. Jalan tersebut terdapat saluran air rendah yang membelah Pasar. Bila musim hujan tiba, sulit melihat jalan ini tidak tergenang air.
Di kanan-kiri bahu
jalan, terdapat lorong yang selalu ramai oleh para pejalan kaki. Banyak toko obat dan toko makanan di lorong jalan
tersebut. Penjualnya rata-rata ber-etnis Tionghoa. Aroma Hio tercium dengan
jelas. Menandakan kawasan ini memiliki karakter yang kuat.
Saya berjalan dari pintu masuk utama sebelah kiri lorong jalan. Kawan saya mengikuti dari belakang. Sampai di ujung lorong, ternyata saya tidak menemukan pedagang tembakau. Kawan saya memberi saran untuk segera pindah ke sebelah kanan lorong jalan. Melintasi jembatan kecil di atas saluran air dengan perlahan. Sampai di sebelah kanan lorong jalan, dari pintu masuk utama dan melewati satu-persatu toko obat. Di Ujung lorong, secercah harapan kami muncul. Persis di sebelah Hotel Pancoran Jaya, akhirnya saya menemukan pedagang yang menjual berbagai teman tembakau.
Tempatnya ternyata strategis.
Orang akan berhenti sebentar untuk mengantri keluar dari lorong jalan tersebut.
Sulit untuk tidak menghiraukan sebuah lapak berbahan kayu dengan sampul kekuningan. Ada apa di sana? ternyata
hiasan stiker “BolehMerokok” menempel di dinding, menandakan di situlah terdapat
teman tembakau.
Langit Glodok sedang
mendung, Asa tetap menggantung. Salah seorang pedagang sedang mengeluarkan
salah satu teman tembakau, yaitu pipa
tembakau atau orang mengenalnya
“cangklong” dari sebuah kotak. Pipa tembakau berjejer sebagai pusat perhatian. Pun
dengan kaleng-kaleng di bawahnya, yang ternyata berisi tembakau.
Kaleng-kaleng tersebut
sepertinya berbahasa asing. Ada yang Inggris, Belanda bahkan bahasa Cina. Bukan
berarti tembakaunya impor. Mungkin hanya kalengnya impor. Tetapi tembakaunya bisa saja milik
lokal. Hal ini membuktikan Indonesia masih bertahan dalam ekspor barang mentah.
Indonesia masih kalah dengan Asing.
Slop rokok itu menumpuk.
Sulit membedakan rokok impor atau lokal. Semua terlihat sama. Slop paling bawah
tertulis “Made in Malaysia” dan “Made in Hongkong”. Di bawah rokok terdapat kotak-kotak
cerutu “Made in Yogyakarta”. Sebelahnya
terdapat pembersih pipa, filter rokok dan kertas linting yang terbungkus rapi.
Inilah tempat yang biasa disebut perkampungan “teman tembakau”. Kampung
diketuai oleh Ritam.
Ritam, 48 tahun. Akhirnya
duduk bersantai di bangku merah miliknya. Waktu yang pas. Saya ikut duduk di sebelahnya. Laki-laki dengan baju motif garis abu-abu ini akhirnya
menjelaskan bahwa harga barang yang dijualnya bervariasi. Untuk satu slop rokok
baik barang impor atau lokal berisi dua belas bungkus, harga berkisar Rp.250.000,00 sampai Rp500.000,00. Untuk pipa
tembakau, panjang pipa tidak sama dengan pipa lainnya. Ada yang 7 cm – 8cm.
Mangkuk pipa nya juga memiliki motif berbeda satu sama lain. Bahannya lebih
banyak dari kayu.
“Pipa tembakau yang
saya jual ini pipa lokal dari Ambarawa, Cirebon dan Tangerang. Harganya ada
yang Rp.150.000,00 sampai Rp.200.000,00 tergantung berat dan panjang pipanya.”
tutur Ritam.
Ritam pun mencontohkan
gaya memakai pipa tembakau. Kawan saya menawari untuk memotretnya. Saya hanya
tersenyum sekilas.
Di ujung lorong ini memang
bukan Ritam saja yang menjual rokok dan pipa tembakau. Saya melirik sekilas ke
seberang lapak milik Ritam. Selagi Ritam
asyik memakai pipa tembakau. Saya mendekati seorang pedagang teman tembakau lainnya.
Udin, 47 tahun,
laki-laki itu menyebut namanya dengan pelan. Saya bertanya lebih kepada tembakau pipa yang dijualnya.
“Kaleng ini isinya
tembakau lokal, harganya yah sekitar Rp.165.000,00, tergantung banyak isi
tembakaunya, kalau yang ini harganya Rp.300.000,00”, ucap Udin sambil
menunjukan bentuk kaleng yang lebih lebar.
Ritam mendengar
percakapan saya dengan Udin. Dia menambahkan penjelasan untuk pemula yang bisa membeli paket berisi tembakau kaleng, Pipa tembakau dan
pembersih pipa,
“Kalau ada yang mau beli paket, bisa kita
kasih harga Rp.400.000,00, isinya sudah ada tembakau kaleng, pipa dan pembersih
pipa-nya”, tambah Ritam.
Baik Ritam dan Udin
memiliki penghasilan yang relatif dari menjual barang dagangannya. “Sehari saya
bisa mendapat Rp.800.000,00 – Rp.1000.000,00 tetapi itu kalau lagi laku saja,
paling ramai hari sabtu-minggu” lugas Udin.
Saya mencoba berhitung,
bila pendapatan sehari bisa mencapai satu juta rupiah, maka omset yang dicapai
Ritam dalam sebulan berkisar dua puluh juta sampai tiga puluh juta rupiah.
Ternyata saya salah.
Berjualan segala macam teman tembakau belum tentu memiliki pendapatan yang sama
dalam setiap harinya. Ritam lalu menjawab santai,
“Adakala omset sebulan
mencapai Rp.5000.000,00 – Rp.10.000.000 bisa kurang dan bisa lebih, tergantung sehar-hari
nya kalau lagi banyak yang beli.” Sahut Ritam sambil mencontohkan gaya
“Nyabar”- istilah menikmati tembakau yang dibakar lewat pipa tembakau.
Merintis
Usaha Dalam Waktu
Pasar Glodok tempat
Ritam dan Udin berdagang pada awalnya adalah tempat berdagang rempah-rempah,
kuliner hingga obat-obatan. Pada tahun 1980-awal Pasar Glodok menjadi lebih
dikenal sebagai surga peralatan dan barang-barang elektronik. Hal ini disebabkan
banyaknya pendatang yang berdagang barang elektronik. Barang-barang elektronik
ini rata-rata diimpor dari Negara Singapura, Tiongkok, Jepang, sampai Eropa dan
Amerika.
Namun, pedagang
rempah-rempah, kuliner dan obat-obatan masih banyak yang bertahan di kawasan
tersebut. Ritam ternyata salah-satunya. Ritam mengakui ia merantau dari Kebumen
ke Jakarta untuk meneruskan usaha Orang tua nya di Pasar Glodok.
“Saya dari Kebumen
pergi ke sini sejak tahun 1986, meneruskan usaha Bapak saya yang sudah lama
jadi Pedagang kaki lima tembakau di Pasar Glodok. Saya dulu di Kebumen menanam
tembakau, namun semenjak tanah dijual, saya akhirnya berdagang disini.” kenang
Ritam sambil menyalakan korek gas kembali di pipa tembakau miliknya.
Siang menjelang, Pasar
Glodok semakin ramai. Bajaj meraung, terdengar, mencari penumpang di Pasar.
Orang-orang semakin banyak berlalu-lalang di lorong jalan. Mampir untuk melihat ataupun
membeli barang yang sedang dicari. Tidak ada Rumah makan ataupun Restoran yang sepi.
Orang-orang sudah mengantri untuk memesan makanan.
Seorang pembeli yang
terbiasa datang mencari tembakau, ternyata tidak perlu memarkir kendaraan terlalu
jauh dari lokasi tersebut. Tidak harus memasuki lorong jalan, pembeli itu
langsung memarkirkan motor di depan
lapak milik Ritam. Pembeli
tersebut bingung memilih sambil menimbang barang yang akan dibelinya. Bila
merasa tidak cocok, dia akan berpindah ke lapak sebelahnya.
(Kredit foto:
Moh. Jumri)
Edrik, 29 tahun, laki-laki
yang bekerja sebagai Supervisor ini baru saja membeli sebuah cerutu bermerek
dari Yogyakarta. Dia memiliki alasan membeli sebuah teman tembakau di Pasar
Glodok.
“Saya biasa menggunakan
cerutu saat santai. Saya biasa datang ke sini untuk mencarinya. Hanya untuk
menikmati tembakau yang saya beli. Alasannya, harga juga masih murah.” lugas
Edrik, sambil bergegas menyalakan
motornya untuk pergi.
Asa
Di Tengah Larangan
Tembakau merupakan
tanaman yang menghidupi jutaan rakyat Indonesia. Sebab kehidupan petani
tembakau, petani cengkeh, buruh linting kretek, sampai ribuan pengecer dan
pedagang asongan bergantung dari tanaman
tembakau. Namun dengan adanya PP 109 Tahun 2012, sebuah Peraturan dari Pemerintah
mengenai pengamanan zat adiktif dari tembakau bagi kesehatan. Jelas memiliki
dampak pada pembatasan konsumsi bahan olahan tanaman Tembakau. Hal ini ikut mempengaruhi kelanjutan nasib mereka.
Celakanya lagi, Peraturan tersebut merupakan turunan dari WHO & FCTC (Framing Convention on Tobacco) , sebuah Rezim Internasional yang berfungsi mengontrol hal-hal terkait produksi tembakau. Dengan adanya FCTC, tembakau, rokok dan “teman-temannya” sudah dianggap problem dari kesehatan, alih-alih menjawab berbagai problem di bidang ekonomi, perdagangan dan sosial.
Celakanya lagi, Peraturan tersebut merupakan turunan dari WHO & FCTC (Framing Convention on Tobacco) , sebuah Rezim Internasional yang berfungsi mengontrol hal-hal terkait produksi tembakau. Dengan adanya FCTC, tembakau, rokok dan “teman-temannya” sudah dianggap problem dari kesehatan, alih-alih menjawab berbagai problem di bidang ekonomi, perdagangan dan sosial.
Sudah banyak lahan yang
tidak ditanami tembakau. Selain mempengaruhi kehidupan petani, juga menyebabkan jumlah produksi Industri kretek yang menurun.
Hal ini juga berdampak pada berkurangnya jumlah buruh linting. Bahkan ribuan
Pedagang asongan dan Pengecer lokal pun terancam kehilangan mata pencaharian
untuk berusaha.
Ritam dan Udin adalah pedagang kaki lima yang beruntung, sebab masih
bertahan di tengah gempuran peraturan yang tidak memihaknya. Tembakau saja jelas tidak cukup menjadi
barang yang satu-satunya dijual. Alasan Ini yang buat mereka butuh teman tembakau.
Ritam pun mengakui
bahwa berjualan disini bersama pedagang kaki lima lainnya bergantung pada
kebaikan pengelola Pasar Glodok.
“Lapaknya memang punya kami, tetapi harus
membayar uang kebersihan Rp.90.000,00 perbulan pada pengelola,
rinciannya Rp.3000,00 perhari.” ucap Ritam yang mengakui mampu “Nyabar” lima
belas kali dalam sehari.
Matahari semakin
meninggi. Sinarnya berusaha menembus sorot mata Ritam yang menerawang lurus ke
depan. Senyumnya sekilas mengembang. Ada yang sedang dipikirkan. Bertahan hidup
hanya dengan “teman tembakau“ merupakan sesuatu yang sudah disyukurinya.
“Kami punya harapan ingin bertahan. Jangan lagi ada peraturan yang
merugikan pedagang dan konsumen. Syukur suatu saat sudah memiliki toko sendiri untuk berjualan. Agar
tidak cemas kalau sewaktu-waktu digusur. Bagaimanapun tanah ini memang bukan
punya kami”, tegas Ritam yang mengakui lapak miliknya buka setiap hari pada jam
09.00 pagi – jam 17.00 sore.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar