Selasa, 26 Januari 2016

JANGAN PANGGIL AKU GAY



Persoalan LGBT? Ah tulisan ini saya coba untuk repost lagi. Sebelumnya tulisan ini saya buat di tahun 2012 sebagai inisiatif lanjutan tulisan yang ditulis oleh kawan saya sendiri, nama nya Andi Tama mengenai kajian “transgender”, dengan dua judul tulisannya yang berjudul “Waria” dan “transgender dua”. Kalau mau lihat tulisan Andi Tama, silahkan berteman dulu dengan akun facebooknya.

Entah menjadi saran ataupun kritik yang membangun, untuk lanjutan tulisan kawan Andi dari pengalaman orang yang memilih jalan hidupnya “sama” namun dari perspektif yang berbeda.

Hasil tulisan ini merupakan dialog singkat empat tahun yang lalu dengan kawan lama bernama Ucil alias Yasin. Dia seorang pria yang mengakui “penyuka sesama jenis”.

Seperti biasa, daripada berlama-lama nasi-basi nya, sebaiknya mari kita baca.



                                                               (Sumber: www. Suarakita.org)

Oleh: Rozi Hariansyah

Minggu pagi tepatnya 4 maret 2012 di daerah Bekasi, seperti biasa ada beberapa lubang di jalan raya yang belum diperbaiki, namun mobil pejabat terpilih selalu minta diganti keluaran terkini. Pada saat itu aku melamun sejenak di kursi yang memang disiapkan berbaris rapih dibawah tenda untuk para tamu undangan yang hadir nantinya.

“Hei, apa kabar Ji? Udah gede aja loh..”

Sontak aku terkejut, Dia lah Yasin, orang yang ingin kita bicarakan dalam tulisan ini, meski saya tahu, dosa hukumnya membicarakan orang lain.

 ‘Hei Ji, udah tujuh tahun gak kesini, terakhir w liat, masih kecil ,sekarang udah gede, mana jelek lagi.’ Lanjut Yasin.

Saya hanya membalas senyuman kecut nan siap melakukan pembalasan atas ledekannya itu. Yasin, yang saya kenal tidak berubah:  berwajah sangar dan senyumannya mirip “Udin Sedunia” pada waktu itu. Saya pun menyapa Yasin.

‘Sin, apa kabar ? ah masih kayak dulu lau Sin, muka coklat, hati stroberi, hehehe’.

Yasin pun membalas,

 ‘Ji, sekarang kuliah atau kerja? kuliah yah ? banyak dong teman-teman cowoknya?’

Saya pun kaget, namun saya paham, ingatanku kembali ke tujuh tahun yang lalu.

Saat itu, Yasin bersama teman-temannya yang lebih mirip berandalan terlihat cool seperti anak-anak muda yang hobinya gangguin orang lewat. Tak peduli laki-laki ataupun perempuan, Yasin, yang biasa dipanggil Ucil , mantan tukang sate kikil dan ucus seratus-dua ratus rupiah yang sering diserbu anak-anak kecil termasuk saya waktu itu, dan sekedar jajan pada zaman itu….

IDENTITASKU YANG SUNYI

Basa-basi saya hentikan. Kini dengan obrolan santai kami berbincang ringan. Saya ketahui Yasin masih dengan rajinnya membantu warga sekitar di daerah sini, ataupun membantu saudaraku bila ada kegiatan atau acara. Entah memasak, mencuci piring, ataupun hal yang biasa dilakukan. Membantu tetangga mengecat pagar, membantu mencukur rambut di salon, tempat tongkrongannya bersama kawan-kawannya waktu itu.

‘Zi, kamu punya banyak temen cowok kan? Kenalin dong?’.tanya Yasin.

‘Yah Sin, saya punya nya temen cewek semua. Nih ada nomor handphone nya, mau ga ?‘  (dengan nada bercanda tentunya)

‘Yah, zi, saya kan mau nya ama cowok. Oh iya zi, kamu jurusan apa kuliahnya? kata mama, ilmu politik yah? Ih, zi, jangan jadi yang kayak di tv itu, si Anas atau siapa lagi tuh Angelina sendok eh sondak yang korupsi.’ Lanjut Yasin lagi.

Yasin  masih peka terhadap situasi pemberitaan media mengenai dunia politik di tahun itu, walaupun sekedar pengalihan isu dari isu utama (kemiskinan dan kesejahteraan) ataupun pencitraan.
Mungkin menurut hemat saya, sudah tentu isu-isu politik yang menuju pembusukan menjadi pemberitaan menarik di mata Yasin. Ada dua hal yang saya tangkap disini :

1. Yasin selalu berusaha tahu berita ter-update
2. Kepekaan sosial seorang Yasin- orang biasa, mau diajak berbicara politik selanjutnya (politik untuk perjuangan bkan kekuasaan)

Selanjutnya, obrolan kami terasa mengalir. Dimulai dari lingkungan sosial. Buat orang kebanyakan,sepertinya hidup adalah pilihan.
Tapi pilihan bukan persoalan yang harus dirayakan berlebihan menurut Yasin. Dia ternyata mengetahui banyak persoalan kaum buruh bekasi, anak jalanan daerah blok m yang mayoritas kawan-kawan sama sepertinya. Yasin bersimpati manakala waktu itu terjadi kasus-kasus pembantaian petani di Mesuji, Bima, dsb.Malah Yasin sangat antusias mendengar cerita tentang buruh migran yang dihukum mati raja arab Saudi di tahun 2012.

Semua orang tahu kondisi sebenarnya Yasin, sifat dia, pilihan hidup dia, namun Yasin membuktikan dirinya masih bisa diterima di lingkungannya, dengan selalu "ikut berpatisipasi aktif setiap kegiatan di sekitar perumahan ini.

SOLIDARITAS SOSIAL, KONTRIBUSI IDENTITAS

Yasin sangat senang saya ajak berbicara mengenai masalah sosial politik. Bukan maksud  meng-agitasinya waktu itu. Dia yang justru membutuhkan obrolan dan pengetahuan saya yang mungkin sedikit.

Saya kembali mengalir bercerita tentang realitas sosial dan yang paling utama kebutuhan sosial nya bukan kebutuhan identitasnya.

Sin, bagimana, sudah mendapat pekerjaan tetap? Saya memulai obrolan kembali.

‘Ah ji, aku cuma lulusan Sd, Smp saja gak lulus. Pendidikan mahal zi, kita kayak dimiskinkan. Kenapa yah yang ga bisa sekolah pasti orang yang miskin ? orang yang sudah punya kerja kadang hidup masih susah, gimana saya zi. Buat saya zi, yang penting bisa makan hari ini, mau kerja apa aja deh, asal jangan jadi LENJE , manja, pemalas, selalu menggerutu, apapun bisa kita lakukan zi. Contohnya, aku dahulu jualan sate, dituduh pake daging tikus, aku gak nyerah, berhenti cari usaha lagi, aku sadar zi, aku hidup sendirian bukan berarti menyendiri, kemarin aku baru saja nolongin banci yang dikejar-kejar orang. Mau dirazia kali, mereka kan pengen cari kerja halal kan yah. Kita jangan jauh-jauh ngomong banci, siapapun yang jadi pengecut bisa jadi banci. Yah gitu zi, banyak yang normal pengen jadi banci, dan yang banci seperti saya, berusaha normal-normal saja. Jadi tak perlu lagi dipertanyakan.’ Jawab Yasin.

Saya pun hanya terdiam mendengar ucapan bijaknya.

‘zi, walau kondisi saya seperti ini, tetap zi, kita manusia, ga bisa hidup sendiri-sendiri, saya paham zi, saya dan kawan2 yang sama  menjadi begini gak muncul dengan tiba-tiba. Ada yang dulunya maniak sama perempuan, jadi banci karena gak direstui oleh orang tuanya, ketika telah menemukan pasangan yang cocok. Ada juga yang sejak kecil dipukuli secara kasar oleh ibu nya, hingga beranggapan semua perempuan jahat. Atau ada juga temenku zi, jadi seperti saya karena keluarganya broken home, atau didikan orang tua dan lingkungannya yang melabelling secara paksa dia dididik jadi perempuan. Padahal ia sama kayak kamu kencingnya berdiri.. hehehe’  ucap Yasin dengan mata berkaca-kaca.

Saya sepakat dengan ucapan Yasin tentang hubungan manusia dengan lingkungan sosial, yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Bahkan seorang Yasin mengakui, mau laki atau perempuan kita sama, bukan kodrat yang memisahkan dan menjadi alasan membatasi hak kita. Tetapi usaha kita memahami realitas sosial yang senantiasa berubah ini.

Akhirnya, Yasin pun tersenyum sekilas dan berjalan menuju sebuah organ tunggal untuk menghibur tamu-tamu yang sudah mulai berdatangan. Dengan cekatan diambilnya microphone, dan Yasin mulai bernyanyi.

 Yasin, kau benar, kita tak perlu mempertanyakan siapa kita, karena yang orang tahu adalah usaha dan apa yang kita lakukan detik ini, bukan identitas kita.

Lalu setelah kegaduhan soal LGBT kembali terjadi, saya mencoba membaca tulisan saya sendiri di tahun 2012 mengenai Yasin. Tidak lupa saya pun menengok akun facebook nya.

Yasin telah berubah. Mungkin dia tidak lagi seorang pria yang mengakui “penyuka sesama jenis”.*


                                                        (Dari akun facebook Yasin)


*Tulisan ini diedit ulang dari tulisan yang pernah penulis buat di tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar